December 30, 2009

Si Dede Ketemu H.Tile - Senengnya Bukan Maen, Jeh!

Anak kami yang kedua, si Dede, sejak umur sekitar 3 tahun sudah suka sekali melihat iklan susu yang ada penari ballet-nya. Jadi ketika dia minta les ballet tak berapa lama kemudian, mama-nya ijinkan dan rajin antar jemput ke tempat kursus yang tidak seberapa jauh dari rumah kami di Jelambar, Jakarta barat.

Karena di tempat kursus ballet itu si Dede merupakan anggota terkecil, jadilah selalu dia terpilih sebagai pemeran yang perlu diangkat-angkat 'terbang' ke atas oleh seniornya, dalam lakon
Swan Lake atau apa-apa saja.

Berbagai lomba antar sekolah diikutinya, mamahnya selalu rajin menjadi chaperon, ikut pentas ke mana-mana saja.

Yang paling sering tentulah pentas di perkawinan, menjadi pembuka jalan bagi pengantin masuk 'kamar bola' aka ball room untuk malam resepsi. Kadang-kadang saya ikut menghadirinya, kalau ada lumba di gedung kesenian, misalnya. Kalau di pernikahan sih, saya suka merasa sungkan sendiri: takut dikira memanfaatkan makan gratis-nya.

Nampak sekali si Dede menikmati masa-masa ketika dia kursus ballet.

Waktu masih TK dan SD kelas 1-2, kalau ditanya kelak besar ingin jadi apa, jawabnya selalu tegas: jadi miss! Miss adalah istilah untuk instruktur, guru ballet. Kalau saja dia tidak mendapat beasiswa ketika naik ke kelas 3 SMP (di Singapura dia kelas 2 lagi), dan tidak sekolah ke Singapura, mungkin sekarang sudah menjadi miss. Waktu itu saja, dia sudah menjadi asisten miss, mengajar adik-adik kelasnya yang masih SD dan TK. Panggilan 'miss' dari adik-adik kelasnya nampak membuatnya senang sekali - cita-cita-nya sih ya.

Pernah sekali waktu pulang dari pentas untuk keperluan shooting video pengantin di satu hotel, sampai di rumah si Dede teriak-teriak mencari saya. Katanya tadi dia ketemu H. Tile (alm), yakni aktor gaek yang berperan menjadi mertua Bang Ben dalam serial si Doel di TV.

Si Dede bangganya bukan maen, tentu saja, sebab kami semua waktu itu, termasuk kedua mertua saya, dan adik-adik ipar saya penggemar serial tsb. Tak habis-habisnya dia cerita ttg ketemu H. Tile (dia ndak menyebut 'H'nya sebagai [haji], tapi teuteup [ha] doang) sampai sekitar seminggu, dia ceritakan kepada teman-temannya, teman-teman koko-nya, dan semua saudara-saudara kami.

Saya sendiri pernah diundang RCTI untuk marketing gathering, ikut nonton acara apa itu ttg Mbak Endang kalau tak salah, lalu akan dimunculkan Tarzan dan Pak Bendot (Srimulat) sebagai tamu yang akan diwawancara, acaranya tentu saja yang berhubungan masalah perranjangan.

Mbak Endang itu, kalau tak salah saingan berat Mak Erot - konsultan alternatip ttg masalah alat kelamin. Tentu saja nama Mbak Endang lebih mencorong, jelas, sebab namanya masih menyandang 'mbak', sementara 'mak' Erot tentu terasa lebih inferior. Lha, jelas ajah 'mak' vs 'mbak', walau cuma beda-beda tipis, cuma satu huruf 'b' kecil saja, tapi tentu saja beda banget persepsi-nya, juga market acceptance-nya, jeh!

Saya ndak tahu bagaimana akhirnya kiprah kedua pakar pengobatan alternatip yang laris pada masanya itu, yang jelas, konsultan komunikasi pemasaran mBak Endang layak mendapat jempol, lha, walau sudah lewat 20 tahun, mBak Endang teuteup saja menyandang gelar 'mbak', sementara Mak Erot? 20 tahun kemudian? Anda bayangkan sendiri ajah ya!

Tapi, jangan keburu berpikir cerita akan menuju ke masalah esek-esek ya.

Saya cuma mau lanjut cerita ttg selebriti Pak Bendot (alm) dan Bung Tarzan itu. Jadi, pas saya tiba di studio RCTI, mereka berdua belum mesti naek panggung. Sebagai pendramatisiran, kedua-duanya diminta memakai dasi.

Tentu saja Pak Bendot (kelihatan tidak biasa memakai dasi) kesulitan memakai dasi-nya. Bagian properti dan make up pada buru-buru mendekati stage untuk mendengar dan melihat mbak Endang yang memang kesohor pada waktu itu.

Kebetulan saya berdiri dekat situ, melihatnya kesulitan memakai dasi, tentu saja saya spontan mendekati Pak Bendot dan membantunya. Tak lama, Bung Tarzan masuk sudah dengan dasi di leher.

Ketika selesai saya pasang dasi Pak Bendot, spontan ajah saya nyeletuk:

"Wah, keren juga ya, Pak" - ini line dialog tentu saja saya tujukan ke Pak Bendot.

Pas saya nyeletuk begitu, pas Bung Tarzan mendekati Pak Bendot. Dan, agaknya beliau mendengar dan spontan saja beliau bilang (dengan nada ketus):

"Memangnya kami, pelawak gak boleh pakai dasi apa ya?"

Lha, koq begitu sih ya?




PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

You Got The Wrong Bitch - Reminds You of Who?

Ini kiriman jokes dari oom Michael Pan. Lumayan juga sebagai selingan pengobat stress di akhir tahun. Yang mau tahu basa indonesia-nya, sila cek di google - mesin penerjemah basa.



WRONG BITCH


The train was quite crowded, and a US Marine walked the entire length looking for a seat.

There seemed to be one next to a well-dressed

middle-aged French woman, but when he got there he saw it was taken by the woman's poodle.

The war-weary Marine asked, "Ma'am, may I have that seat?"

The French woman sniffed and said to no one in particular, "Americans are so rude.. My little Fifi is using that seat."

The Marine walked the entire train again, but the only seat available was under that dog.. "Please, Ma'am.
May I sit down? I'm very tired."


She snorted, "Not only are you Americans rude,
you are also arrogant!"


This time the Marine didn't say a word; he just picked up the little dog, tossed it out the train window and sat down.

The woman shrieked, "Someone must defend my honor! Put this American in his place!"

An English gentleman sitting nearby spoke up:
"Sir, you Americans seem
to have a penchant
for doing the wrong thing.
You hold the fork in the
wrong hand.
You drive your autos on the wrong side of the road.
And
now, sir, you seem to have thrown the wrong bitch
out the window.."

----------------------


PS: Gambar diambil dari MS OFiice ClipArt media file.

Daripada Dibajakin Mulu, Mendingan Kita Ngebajak Aza, Yuk?

Hehehe.... tahun 2009 sudah sisa 1 hari 14 jam lagi, apa yang sudah anda lakukan selama ini? Sudahkan karya anda dibajak? Sebab pembajakan atas karya anda merupakan 'komplimen' - pujian, suatu bentuk penghargaan yang secara jelas-jelasan, gamblang-gamblangan dan terang-terangan memuji karya anda yang bagus itu.

Mana ada sih orang yang membajak karya yang jelek 'kan?

Sudahkan anda dimusuhi orang juga? Digunjingin, dikerahin massa - baik secara literal, kasat mata maupun diam-diam di belakang layar? Itu juga pertanda anda layak dan patut diacungin jempol, sebab, kata mods di milis sebelah, mereka cuma menyasar orang-orang seperti anda yang menonjol saja. Yang layak dijadikan sasaran iri, disirikin, sebab mereka tak mampu. Hehehe...... iya begitu tah? Mana mau mereka menyasar saya yang bukan siapa-siapa ini toh?

Jadi, daripada kita dibajakin terus, digosipin terus, digunjingin terus,
dimusuhin terus, mari kita ngebajak aza, yuk!

Sambel bajak, saya kenal namanya pertama kali ketika masih 'jaman' susah tinggal di asrama dulu. Waktu itu, saya kuliah di Yogya, tinggal di asrama. Namanya asrama, uang asramanya sekitar Rp 500 per bulan (kalau tak salah, sebab kayaknya saya dapat kiriman wesel per bulan Rp 2.000, uang kuliah Rp 800 per bulan) sekitar abad 1974-an, tentu saja makannya ala kadarnya, walau sehari disediakan 3 kali makan, nasi refill - all you can eat (sekul-ipun mawon nggih!), dengan sayur-mayur (paling sering: kangkung, bayem dan kol) dicah polos atau berkuah, tahu-tempe nyemek dengan bacem berbumbu tipis-tipis (kalau digoreng itu sudah termasuk luxury) dan lauk oseng-oseng kikil atawa tetelan berkulit ganemo aka tangkil atawa melinjo aka belinjo(?), sesekali daging berurat alot. Atau, kalau anda cukup beruntung, dapat extra kolesterol berupa baceman 'selang' (iso 1974 aka us-us) atawa 'handuk' (babat tanpa wingko).

Handuk? Hahaha.... mengingatkan saya ttg orang (yang penasaran dan suka ngintip note yang sudah disimpen dalam peti es di MP itu) yang heboh gak kebagian handuk nih.

Oke, back to perkara bajak-membajak lagi ya, sebelum jadi melenceng jauh dari pakem semula saya ngepost di akhir tahun ini.

Jadi, kalau anda punya ibu yang baik (dan bener?), ketika anda mudik liburan atau lama gak balik, mungkin saja anda mendapat paket dari rumah atau dioleh-olehi oleh-oleh berupa makanan kegemaran anda di rumah. Namanya makanan kegemaran, tentu berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya. Berbeda-beda makanannya, tapi satu tujuan jua: menjadi selingan yang sungguh nikmat sangat tuh, jeh!

Saya kebetulan cukup beruntung punya saudara di Solo, saya ber'cifu' kepadanya, dia adalah suami-nya alm. 'kakak setengah' (half sister) saya. Jarak Solo-Yogya waktu sih bisa bisa ditempuh dalam waktu sekitar 60 menit, naik 'travel' colt yang jaman itu dipasangi alarm yang akan terus-terusan bunyi kalau anda injak gas yang menyebabkan kendaraan lari lebih dari 100 km/jam. Maksudnya tentu supaya sang supir melambatkan laju mobilnya, ndak boleh ngebut. Tapi tentu saja orang kita pandai-pandai, jadi cuma sebentar ajah tu alarm keselamatan diri sang pilot beserta para penumpangnya itu sudah tak berfungsi lagi, cep-klakep meneng bae, jeh!

Jadi, kalau saya 'dolan' ke Solo, pulangnya saya suka dioleh-olehi abon Varia
(belum ngetop seperti sekarang, tanpa label pula!) yang belinya di Coyudan(?) ndak perlu lewat pintu belakang atau mesen ama kangmas tukang becak di sekitar situ saking takut gak kebagian itu.

Yang ngoleh-olehi saya ini kakak angkat saya
(isteri baru cifu saya), dan tak lupa sebotol bekas NDC - Non Dairy Creamer merek Carnation, ukuran kecil itu, yang diisi........ sambel Lampung (begitu istilahnya dulu, belum branded) yakni sambel yang sekarang dikasih label (branded) merek Dua Burung BeliBis (dasar iseng tuh burung, gak bisa nyetir ajah beli bis, buat apa ya coba?).

Kalau pas tiba di asrama, tu sambel dan abon termasuk luxury juga, ya tentu
saja, dibandingkan selang atawa handuk toh? Jadi, saya mesti eman-eman tu 2 jenis makanan andalan saya, dicukup-cukupkan untuk bisa cukup seminggu. Cuma dibawa secukupnya saja ke ruang makan, untuk dibagi ke teman makan kanan dan kiri di meja makan (kami makan di ruang makan aka refter, ruang besar dengan banyak meja makan yang berisi 10 kursi per meja) - atau paling banter yang semeja ber-10, stock logistik pribadi selalu disimpan di lemari dalam kamar - di lantai dua kompleks asrama.

Saya biasanya bawa sebotol kecil cukup sekali makan. Pernah sekali waktu saya bawa ke meja makan untuk sarapan, lantas kelupaan gak bawa balik botol induk (ex Carnation NDC itu) yang masih berisi separuh sambelnya, ditinggal kuliah, siang-siang pulang sudah tinggal botolnya doang.


Nah, satu teman saya yang Kera Ngalam, aslinya dari Malang, Jatim, kalau habis mudik, mesti bawa setoples besar (beling, belum jeman plastik masuk pada era tsb.) berisi..... sambel bajak!

Sambel bajak buatan ibu teman saya ini bener-bener istimewa sekali.

Bukan sembarang sambel bajak yang seperti biasanya, cuma terdiri dari cabe lombok + racikan aneka rupa rempah dan bumbu dan terasi(?) lantas digoreng dengan minyak cukup berlimpah sebagai esktra asupan lemak, just FYI - For Your Information ajah, di asrama minyak itu termasuk barang langka: semua bahan diolah secara 'sehat' tanpa minyak: dikukus, dicah, direbus atau dibikin sup berkuah banyak, encer.

Jadi, sambel bajak-nya macam mana?

Ibu teman saya, seorang single mom kalau sekarang biasa disebut ya, sangat
sayang kepada anak-nya yang paling barep atau ragil (bungsu?) ini, kawan saya itu tentu maksudnya, jadi karena anak-nya lapuran bahwa di asrama-nya kekurangan gizi yang baik dan bener, so there were a little extra added to the pirate chili paste she made for her beloved son - tumpuan harapan masa depan sang ibunda: keratan daging sapi has dalam yang empak-empuk, dengan potongan dadu yang mayan gede, sekitar 20 mm x 20 mm x 20 mm (namanya dadu toh?).

Saya inget sampai sekarang, sebab
saya pertama kali dikasih icip-icip, boleh nyomot langsung dari toplesnya, satu kerat daging itu sekitar seruas jempol tangan saya, dengan ukuran segitulah. Kalau ternyata jaman itu ukuran seruas jempol saya tidak selebar 20 mm, ya bukan salah bunda mengandung dwong, dweh, jweh ya!

Oke. Selama ini saya sudah terkondisikan dengan baik dan benar, bahwa yang namanya sambel bajak itu, pakemnya ya tentu ada keratan daging tak berlemak (lemak sapi akan menggumnpal pada suhu ruang toh?) yang cukup berlimpah disisipkan ke dalam sambelnya. Jadi kalau tanpa daging, saya anggap itu sih cuma sekedar sambelbajak-sambelbajakan doang ya?

Lha, kalau bukan HP, katanya pan cuma
printer biasa sih, tuh!

Pertanyaan saya, khususnya kepada para Kera Ngalam atawa sesiapa saja di mari yang faham benar pakemnya 'sambel bajak', sebenernya pakem standar-nya pigimana sih? Lha, saya pernah gembira mendapati sebotol kecil sambel bajak branded di rak supermarket, tapi koq isine mung sambel lombok thok tanpo daging blasssh?

Begitu pun pernah ada teman kantor yang katanya ibunya jago masak
sambel bajak, ketika saya special request minta dibuatin, dibikinin di rumahnya dan dibawa sebotol ke kantor, isine ya mung sambel lombok abang thok.

So, daripada mikirin tukang bajak (dan biang gusip yang memang sukanya mbakar api dalam sekam), mari kita mbajak cerita sambel bajak ajah, kumnplit pake resepnya supaya lebih afdol, juga fotone sisan, ben kalau resep sambel bajak enak ni mau dibajak, tu pembajak-nya tinggal copy paste aza. Yuk, yuk, yuk.........!

Mangga, monggo, sila.....




PS: Foto nasi goreng istimewa pake abon Solo itu, dibajak dari sini.

December 28, 2009

My Very First Camping - Makan Bubur Berkuah Sayur Asem.

Baca status di FB, ada satu teman yang cerita ttg anaknya yang camping, pulang-nya banyak sekali ceritanya. Saya jadi ingat jaman pertama kali ikut camping, pelajaran pramuka waktu masih SMP, sekitar tahun 1968-an. Camping ground-nya tidak begitu jauh, dekat perumahan penduduk, di satu alun-alun di daerah pinggiran kota, sekitaran kaki Gunung Ciremai [mana ada gunung lain di Cirebon ya].

Jadi, sebelum berangkat, regu kami - kalau tak salah enam orang, cowok semua bagi tugas. Siapa yang mendirikan tenda, siapa yang belanja sayur di pasar. Saya kebagian tugas logistik aka menyiapkan nasi dan lauk + sayurnya.

Jaman itu, belum musim sayur RTC - Ready to Cook seperti yang sekarang disediakan di supermarket dalam kantong plastik itu, sudah kumplit bahan dan bumbunya, tinggal cemplang-cemplung ajah gitu. Lha, waktu itu 'kan supermarket-nya ajah belum terpikirkan kapan mau dibangun sih, jeh!

Saya sudah belajar masak sayur asem, menanak nasi dan nguleg sambel, hasil kursus kilat kepada si mbok - asisten dapur di rumah kami.

Beres dah pokok-na mah, euy!

Pas tiba di tempat camping, tenda sudah berdiri. Saya mulai menanak nasi, pakai sistemn-nya liwet ajah, masak di panci, dituangi air-nya sampai satu ruas jari permukaan airnya - begitu instruksi yang sata catat di buku memo.

Panci berisi beras sudah tarok di tungku batu-bata, sayur asem sudah mulai diracik, sesuai petunjuk, bumbu sebagian diuleg, sebagian cemplang-cemplung tanpa takaran (jadi kebiasaan sampai sekarang tuh!), lalu goreng asinan cumi kering dan gesek (ikan asin kering aka gereh), sambel diuleg, beres semua.

Seorang teman saya ikut bantu menjaga nasi ditanak dalam panci, dia lihat airnya sudah mulai mengering, maka saya minta dia tambahi airnya lagi sedikit. Tadi dia sudah kasih air setinggi seruas jarinya waktu mulai masak.

Pas waktu makan, ada satu guru kami yang ikut ngariung di kelasa (tiker) di depan tenda kami, dengan penuh yakin dan pede, kami bagikan sayur asem dalam panci ke mangkuk-mangku yang sudah kami bawa. Iwak gesek goreng + cumi asin goreng tarok di piring saji, tarok di tengah, sambel + lalaban mentah juga tarok di tengah.

Kalau semuanya lancar, ya gak usah diceritakan toh?

Nah, giliran mau ambil nasi dari panci, lemes dah saya....... tuh nasi kebanyakan banyu (air) jadi benyek persis bubur! Tentu saja airnya kebanyakan, lha temen saya yang ngukur itu orangnya tinggi, dan jari tangannya tentu lebih panjang dari ukuran rata-rata. Waktu dibandingkan, benar saja, ruas jari dia sama dengan 1,5 kali ruas jari saya.

Ya sudah, makan malam kami jadinya bukan 'Bursop' (Bubur Sop Ayam) tapi Bursem - Bubur Sayur Asem.

Anda mau tah?




December 27, 2009

Breakfast@Hotel - Buffet or � la Carte, Anyone?

Masih berkaitan dengan product launching merek Sustagen Junior di Singapore. Yang membuat saya Pertama-X (pertama kali) going abroad. Heboh dah waktu itu, bayangkan, saya membawa 2 lembar acrylic sheet tebal 2 mm utuh, ukuran 120 cm x 240 cm yang digambari merek Sustagen HP dan Sustagen Junior, meniru bentuk kaleng aslinya, dengan ukuran 10 kali lipatnya!

Ini cerita tentang pagi hari pertama, sarapan di hotel.

Satu boss langsung saya [istilah resmi basa Inggrisnya "immediate manager", agak 'aneh', mengapa bukan "direct manager"], tidak ikut dalam rombongan, dia menyusul dan menginap di hotel lain. Tapi, paginya dia bergabung dengan kami, rombongan yang menginap di Holiday Inn - Orchard, pas jam-nya sarapan pagi. Iya-lah, sarapan tentu saja pagi, gak ada dong sarapan siang atau sore, apalagi malam, jeh!

Karena kami berrombongan, mestinya dia ikut makan pun petugas hotel tidak akan mengetahuinya. Satu di antara 100, meski tahu pun tentu tidak akan ditegur, hitung-hitung 'extra bonus' 1% ajah toh?

Tapi, karena kami tidak mau memalukan nama bangsa, tentu saja kami jujur. Jadi waktu boss menghampiri meja saya dan ikut duduk, langsung saya lapor kepada waiter captain-nya yang berdiri di dekat meja kami, dan nampaknya dia sudah was-was, kuatir boss saya mau nyelip makan gak lapor [ini benernya the main reason why saya milih lapor, soalnya sudah diamati sejak boss saya masuk tuh!].

Dan ketika waiter tanya mau buffet or a la carte
, boss saya pilih yang kedua. Katanya, saya makan cuma sedikit, paling secangkir kupi dan egg + toast. Padahal, kalau mau buffet, ada banyak pilihan: mulai dari aneka jus (masih asli, jaman 1989-an, SGD 1 = Rp 1.000-an doang, jeh!), aneka susis, bacon, ham, cheese, egg (poach, scrambled atau sunny side up), bakmi, bubur, nasi goreng, steamed salmon, toast & bread, muffin, kupi or teh, you name it pokok-na mah!

Ya sudah, karena dia mau a la carte, jadi waiter mengambil menu-nya untuk dipilih. Boss saya langsung nyebut pesanannya tanpa melihat lagi daftar menu, sementara sang waiter perempuan yang ceking ramping khas Singapore girl [ kalau sampai OW - over Weight mesti lari keliling satu [utaran di alun-alun tuh!], senyum-senyum penuh arti sambil mencatat pesanan boss saya.

Iseng saya lihat daftar menunya dan perhatikan.

Ternyata, setelah dijumlahkan harga secangkir kupi, setangkep toast + jam + butter + cheese, dan 2 butir telur pilihan anda, harganya sekitar SGD 18
,00 ++ Sedangkan buffet all you can eat dengan aneka pilihan, termasuk kupi or teh, cream + sugar, toast, dan egg, bandrolnya cuma SGD12,00 ++ per pax (per orang). Persisnya berapa saya lupa lagi sih, tapi yang saya ingat harga buffet lebih murah dari a la carte.

Setelah menuliskan pesanan di bill dan selipkan di tempatnya di meja, sang waiter berlalu untuk persiapkan pesanan boss saya. Immediately saya tunjukkan kepada my immediate boss harga yang harus dibayar untuk pesanannya dibandingkan harga untuk buffet.
Immediately juga dia memanggil waiter dan tanya: "Will it take a longer time to prepare my order?", ketika waiter menjawab: Yes. Boss saya bilang: "On the second thought, I am in a hurry. So I'll take the buffet. Is it okay?"

Sebagai waiter yang tunduk pada anjuran, himbauan STPB - Singapore Tourist Promotion Board, tentu saja sang waiter tidak berani bilang "No" kepada kami, wisman - wisatawan mancanegara . Dia cuma senyum lebar saja dan bilang, "It's okay!" sambil mengambil kembali bill yang tadi dia selipkan dan berlalu. Boss saya langsung menuju tempat jus, kupi dan toast, di hadapannya langsung muncul fresh segelas orange juice, secangkir black coffee, sepiring ham & cheese dan bacon goreng garing, scrambled egg + mushroom, dan semangkuk sereal + cold milk.

So, do you care for buffet or
a la carte
?











PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

December 26, 2009

Katanya Singapore Is A Tourist Friendly Country?

My very first time going abroad was to Singapore.

Gak jauh-jauh amat ya? Tapi, itu adalah kebanggaan banget buat saya. Orang udik, kerja di kantor biro adpertensi, seumur-umur, kerja sekitar 12 tahun, baru kali itulah pergi naek montor mabur pake paspor. Ceritanya sih mau launching produk baru, ngumpulin para dealer dan distributor, marketing gathering istilah kerennya sih ya.

Yang paling saya ingat tentulah karena saya tiba di Changi airport pas tanggal 25 Januari 1989. Acara cukup padat, Desember 1988 acara yang sama di Bali, Januari 1989-nya langsung ke Singapura.

Begitu selesai bikin 'pernyataan' - declaration bahwa saya gak bawa barang-barang haram semisal narkoba (mana ada yang berani terang-terangan declare toh kalau pun bawa ya?), saya antri di barisan pemeriksaan paspor - pabean atawa costume, eh custom itu.

Seperti biasa, ndak ada kejadian apa-apa, saya antri, queue istilah di sono.

Satu per satu (ya-iyalah, masak satu per dua, 'kan namanya jadi setengah) orang di depan saya maju, petugas perempuan membaca paspor-nya, melihat orang-nya, dicocokkan antara foto dengan orangnya, siapa tahu salah pasang foto anak-nya toh.

Pas giliran saya, si petugas melihat dari atas kepala saya sampai ke tengah badan saya, sebatas dada, lha, 'kan dibatasi meja cukup tinggi. Dia banding-bandingkan foto saya dengan orang aslinya. Dibaca-bacanya data saya pada paspor, dibalik-balikkannya lembaran paspor saya. Beres. Lalu dia stempel paspor saya.

Saya menunggu dengan sabar, dia lihat muka saya - saya pasang senyum manis, teliti paspor saya - saya perhatikan saja, baca data yang tertera - saya tunggu reaksinya, lihat lagi muka saya - senyum lagi. Lantas dia kembalikan paspor saya setelah dicap, dogh...dogh...dogh!

"Next!" katanya.

Sudah? Begitu sajah tah?

Iya. Mau apa lagi? Next!

Lha, katanya your country is a tourist friendly country, koq cuma begitu ajah sih, jeh?

Ya, lantas mau apa lagi dwong?

Gak baca data saya tah?

Baca.

Nama: Ophoeng. Status: (mesti update dulu di FB). Kebangsaan: Indonesia. Paspornya masih blank. Baru pertama kali ke LN - luar negeri. Apa lagi?

Udah? Begitu ajah?

Ya. Apa lagi dwong?

Hari ini tanggal berapa?

January 25, 1989.

Coba cek kapan saya lahir?

Hehehe......... it's your birthday toh rupanya ya?

Sorry.

Next.

Okay.




So, when and where was your very first time going abroad?

December 25, 2009

Mari Berantem Dengan Baik dan Bener: (5) Jangan Menghimpun Massa, Ah!

Anda sudah tahu sekarang, kalau mau berantem, ya cukup satu masalah saja untuk setiap kali. Jangan bawa-bawa masalah lama yang sudah pernah didiskusikan. Jangan juga menabung masalah. Juga pilih setting waktu dan tempat yang baik.

Sekarang, mungkin ada baiknya anda baca pedoman berikutnya:

Trick ke-5: Jangan Mencari Bantuan.

Ya. Kalau anda berantem ama teman (atau teman hidup) anda, tentu saja mending dibicarakan berdua ajah. Lha, yang tahu masalahnya cuma anda berdua sih, jeh! Ngapain juga anda 'curhat' ke tetangga, temen FB, kontak MP, TTM - Temen Temen Milis. Atau minta bala bantuan dari saudara, rekan kerja di kantor, tetangga kelompok arisan, tukang ojek langganan anda, tukang bakso atau bakmi ayam langganan anda, tukang ayam langganan di pasar, dan entah sesiapa lagi yang menurut anda mau berdiri di sisi anda -0 ikut mengeroyok do'i.

Mereka ndak tahu masalahnya, apa lagi kalau itu teman yang sama dengan teman-teman do'i juga. Anda sudah memberikan pilihan yang tak nyaman bagi mereka: mesti pro anda atau pro do'i dong? Pilihannya sulit toh? Lagipula, mereka cenderung membela anda kalau anda duluan yang curhat, apalagi kalau anda bisa mendramatisir masalah menjadi seolah-olah anda di pihak yang didzolimi, anda emosi, anda membuat do'i seolah pihak yang semena-mena, melecehkan anda.

Walau tentu saja anda bisa saja menemukan teman sejati, yang alih-alih membela anda, berdiri di sisi anda, dia justru memberi anda nasehat untuk lebih bijak, tidak emosi semata. Dia berusaha berdiri di tengah-tengah antara dna vs do'i. Tapi, tentu saja anda yang sedang emosi bisa menganggapnya sebagai 'berpihak' kepada do'i.

Ibarat slogan di kalangan politikus yang bunyinya begini: either you are with me, or against me. Kalau anda tidak pro sini, berarti anda pro sana. Padahal mah pertengkaran anda dengan do'i bukan masalah politik toh?

Buat mereka, kalau tahu anda sedang berantem dengan do'i, mereka seolah sedang melihat dua petarung, misal tinju, di arena. Mereka senang sekali ada tontonan. Tontonan mesti seru, jadi mereka pasti akan bersorak, menyemangati anda dan 'lawan' anda. Makin seru tontonan, makin enak ditonton toh?

Jadi, anda pun makin panas. Makin gencar anda mencari bantuan, semua teman-teman anda di FB, MP, twitter, flickr, dan entah social networking apa-apa lagi di i-net dikirimi japri, YM, atau PM: eh, awas, hati-hati ama do'i ya. Do'i ini begini-begitu, dalam arti seluas-luasnya yang pada pokoknya sih do'i is the bad guy. Kill the bad guy!

Emang anda mau 'membunuh' do'i tah?






PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

December 21, 2009

Gelas-gelas Retak - Enaknya Diapakan Ya?

Beberapa hari yang lalu, saya makan di satu Resto Seafood yang terkenal dengan semboyannya: "Berharga K-5 tapi (katanya) berkualitas B-5". Bintang lima, maksude.

Ya, jelas ajah harganya harga K-5, maksude murah, lha porsinya mung timbang pas buat 1,5 orang. Maksude, dimakan seorang dhewe agak lebih, tapi dimakan ber-dua koq ya kurang. Lha, kalau kasih yang golongan ekoran, misalnya, alih-alih kasih 2 atau 4 ekor, ini sih kasihnya yang ganjil: 3 atau 5 ekor.

Wis, saya gak mau ngomongin soal makanannya.

Yang saya mau omongin itu soal piring sajinya itu, lho. Terakhir saya makan di situ berdua teman saya, masak dikasih piring saji-nya yang gompel? Katanya kualitas B-5, tapi kayaknya SOP - Stnadrd of Penyajian resto B-5 sih kagak pake piring saji gompel gitu ya?

Nenek saya buta huruf, gak sekolah tentu. Jaman dulu yang penting perempuan bisa masak, bisa jahit dan bisa ngurus rumah tangga, jadi gak perlu sekolah, jeh!

Walau gak bisa baca, gak sekolah, nenek saya tahu kalau menyajikan sesuatu untuk suguhan tamu, pantang memakai pinggan (begitu beliau selalu menyebut piring saji) yang sudah gompel atau retak. Gelas yang 'sumbing' itu pamali disuguhkan ke tamu, katanya. Pinggan gompel, atau retak, kalau dilihat tamu 'kan kelihatan sekali betapa miskinnya kita? Gelas sumbing (ujungnya pecah sedikit) itu malah berbahaya, bisa saja terkoyak bibir oleh gelas sumbing yang tajam itu toh?

Jadi, pinggan dan gelas begitu mesti diapkir, masih bagus nasibnya kalau masih dipakai sebagai wadah minyak lentik jelantah, yang biasa dipakai nenek saya untuk melumuri kaki-nya supaya ndak busikan (bersisik). Atau paling jadi tempat sabun cuci untuk isah-isah (cuci) piring.

Gelas-gelas retak, pernah ada judul novel atau lagunya ya?

Kayaknya sih itu judul cuma kiasan ajah. Merujuk ke hubungan teman, suami-isteri yang 'cacad'. Ibarat gelas-gelas retak dan pinggan gompel, memang susah kalau hubungan anda dengan teman, pasangan anda jadi 'retak' atau 'sumbing' ya.

Memang gelas retak bisa dilem lagi. Hanya saja, sekarang pan ada becandaan di kalangan teman-teman: kalau retak, di 'lem biru' atau 'lem kuning' ajah.

Maksudnya?

Lem biru = Lempar, Beli (yang) Baru dan Lem Kuning = Lempar, Tuku Maning. Maksudnya, kalau sudah retak atau gompel, gelas-gelas dan pinggan itu ya dibuang sajah. Daripada sepet mata melihat tumpukan gelas-gelas retak dan pinggan gompel toh?

Makanya, jagalah baik-baik perabotan di rumah anda, pinggan dan gelas jangan sampai retak. Jaga baik-baik hubungan anda. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga (kata pepatah, emang susu siapa yang segede belanga ya?), sayang sekali kalau sampai gelas-gelas yang semula cantik dan bening tak bernoda, akhirnya mesti diapkir karena retak walau cuma setipis rambut dibelah tujuh ya.

Atau ditukar abu gosok ajah tah?

Mari Berantem Dengan Baik dan Bener: (4) Pilih Setting Yang Pas, Dong!

Sekarang anda sudah tahu bagaimana mulai berantem - dengan baik dan bener. Anda merasa ada masalah, satu masalah, anda ajak teman hidup anda untuk membicarakannya. Satu masalah untuk satu pertemuan. Tidak ada tabungan masalah. Tapi, tetep ajah kita mesti masuk ke langkah selanjutnya ini.

Trick ke-4: Pilih Setting Waktu dan Tempat.

Ya iya-lah, bagai camer - calon mertua yang meverifikasi calon mantu, dicek bibit, bebet dan bobotnya, bagai sutradara drama atau filem yang mengatur setting lokasi, begitu juga kalau anda hendak berantem dengan baik dan bener.

Pilih waktu yang baik dan 'enak' untuk berantem.


Pantang mengajak partner anda berantem di tempat umum, di jalan, di bus, di mall, di kereta api, pesawa terbang, di kantor, di halte, terminal, stasiun KA, bandara, pokoknya yang ada orang-orang lain di dekat-dekat anda berdua. Juga pantang berantem di depan teman-teman anda, teman-temannya, boss-nya, orangtua anda, saudara-saudara anda atau orangtuanya, saudara-saudaranya. Urusan anda berdua ya selesaikan saja berdua. Ndak usah sengaja di depan umum supaya ada 'saksi'. Kecuali kalau memang anda lagi shooting pilem, jeh!

Pilih juga waktu yang baik. Jangan pas anda sibuk, atau dia sibuk dengan urusan pekerjaannya, atau mengerjakan hobi-nya.

Masak anda mau berantem ketika anda sedang 'tanggung' memanggang brownies kiju atau mengadoni bahan-bahan cheese cake kesukaan anda berdua - sayang cake-nya, kalau sampai anda lempar ke muka dia 'kan? Atau ketika dia sedang membersihkan bedil-nya untuk berburu celeng - bahaya sangat tuh, salah-salah anda bisa kena dor!

Sesudah makan malam, ketika anda berdua saja, mungkin bisa anda 'undang' dia untuk membicarakan masalah yang menjadi ganjalan anda. Atau buatlah janji dengannya. Sarana telekomunikasi sudah begitu canggih, anda bisa tulis pesan lewat SMS, atau PM, atau BBM?

All the gadget is already there for you to utilize.

Jadi, kapan mau berantem nih?







PS: gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

Mari Berantem Dengan Baik dan Benar: (3) Bang, Bing, Bung, Yuk Jangan Nabung!

Di "Mari Berantem Dengan Baik dan Bener (1)", ada teman kita, Ibu Tio kasih komentar begini:

"kadang orang berantem sebetulnya karena masalah terpendam lama....jadi sambel terasi cuma jadi pemicunya saja...masalah sebenarnya bukan di sambal terasi, tapi karena sambel terasi bikin mood tambah jelek, jadi berantem deh :D"

Jadi mari kita masuk ke......

Trick ke-3: Jangan Sesekali Nabung Kekesalan.

Ada lagu lama "Bang, Bing, Bung... Mari Nabung!" yang menghimbau kita menabung (uang) di bank. Waktu jaman deposito berbunga tinggi pasca Krismon - Krisis Moneter 1998 (disusul HHN - hura-hura nasional), bunga bank bisa menawarkan 100% per tahun, mungkin bagus bagi anda yang boleh menerima bunga bank sebagai side income.

Kalau uang ditabung, berbunga atau pun tidak, is oke for you. Buat cadangan pas perlu uang toh. Tapi, kalau anda 'menabung' masalah, menabung kekesalan, menabung kemarahan, kayaknya sih sangat tidak baik dan tidak sehat sekali bagi anda - dan bagi teman hidup anda.

Begitu ada pemicunya, seperti kata Bu Tio, 'cuma' gara-gara sambel kurang sedep terasinya, atau gara-gara terlupakan ndak kebagian handuk promosi, yang mestinya sih bukan hal besar-besar sangat, tapi karena sudah banyak menimbun kekesalan, kemarahan, maka meledaklah anda tiba-tiba.

Boooom! Just like that!

Ada masalah, kekesalan, kemarahan ttg satu hal, bicarakan saja satu hal itu saja, seperti sudah disebutkan di Trick ke-1. Lalu, setelah selesai dibicarakan, sama-sama merasa puas, lihat Trick ke-2. Jangan sesekali menabung - menunda membicarakan masalah anda dengannya, apalagi menimbunnya - bisa beranak-pinak nanti!

Akibatnya? Anda bisa meledakkan diri dan teman anda. Kalau sudah meledak, yang rugi, hancur-lebur tentu diri anda sendiri dan.... orang yang dekat dengan anda.

Kayak bom bunuh diri ajah gitu, jeh!

December 18, 2009

Waktu Hamil, Anda Ngidam Apa Ya?

Baca berita gembira ttg teman kita, Anne di sini, saya langsung ingat waktu pertama kali nyonyah hamil dan mengidam.

Kata pakar perngidaman (ada ilmunya tersendiri ya?), mestinya ada korelasi antara wanita hamil yang ngidam makan sesuatu, dengan kebutuhan jabang bayi bagi pertumbuhannya di dalam kandungan.

Misal, kalau jabang bayi membutuhkan zat kalsium, kapur, tentu saja dia gak bisa bilang terus terang kepada ibunya: Bu, minta tablet kalk atau yang kudu dicemplungin ke dalam air jadi bersoda itu. Jadi melalui 'mind reader' di bawah sadar si ibu, maka dikirimlah sinyal-sinyal khusus ke CPU - Central Processing Unit ibunya di kepala, dan si ibu lantas tiba-tiba saja pengen makan..... kapur tembok!

Itu sekedar contoh saja, kalau butuhnya zat besi, apa lantas sang ibu jadi pengen makan paku ya? Hehehe...... kalau paku hutan aka pakis sih masih mayan, enak tuh dicah pakai belacan juga.

Nah, waktu nyonyah saya hamil anak pertama kami, sekitar Januari 1985, Jakarta jaman-nya masih serba sederhana. Lalu lintas belumlah secanggih macetnya seperti sekarang. Belum ada busway, belum musim banjir entah 3 tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan. Paling banjir lokal di langganan lama di kawasan Deplu - Pondok Pinang dan kompleks IKPN - Bintaro itu, saya ingat persis sebab ada (alm) boss saya yang rumahnya di Kompleks IKPN, suatu hari siang-siang bolong panas terik, tiba-tiba saja di telepon dari rumahnya yang mengabarkan bahwa rumahnya kebanjiran tuh!

Jajanan juga belumlah seramai sekarang, di mana-mana bisa ditemui food court dengan aneka makanan, baik dari mancanegara model fried chicken ataupun makanan daerah seperti bebek goreng, pecel lele begitu. Yang jual gado-gado juga tidaklah sebanyak dan sengayah sekarang bertebaran di mana-mana saja.

Entah ada zat apa yang diperlukan calon anak pertama kami, tapi nyonyah tiba-tiba sajah sore-sore pengin makan gado-gado, yang dijual abang-abang itu.

Kalau pas hari biasa, pagi, mungkin tidak masalah dia minta gado-gado ya. Tapi ini menjelang sore, hari Minggu pula. Ke mana saya mesti mencari gado-gadonya? Anda tahu toh kalau gado-gado di Jakarta pan makanan pagi sampai siang ajah.

Jadi saya keliling seluruh Jelambar, Jakarta barat, naek Daihatsu Charade inventaris kantor. Masuk-keluar jalan kecil, yang disinyalir merupakan tempat mangkal tukang gado-gado. Tapi, tidak ada tuh! Semua orang yang ditanya, tukang-tukang becak - belum dilarang beroperasi waktu itu, juga tidak ada yang tahu. Ada satu dua tempat memang menjadi tempat mangkal tukang gado-gado, tapi sudah tutup sejak siang sekitar pukul 13:00

Cilaka dah! Masak anak pertama kami nanti mesti ngences terus ya?

Akhirnya saya putar-putar lagi, sampai ketemu di satu jalan kecil entah di kompleks perumahan apa, masih dekat-dekat Jelambar situ, masih ada satu ibu-ibu yang buka kedai gado-gado di rumahnya. Tanpa banyak cingcong langsung saya pesan seporsi dan bawa pulang dengan senangnya.

Nyonyah sudah agak-agak manyun menunggu kurirnya mencari gado-gado. Syukurlah dia tersenyum sumringah melihat saya turun dari mobil bawa satu bungkusan dari daun pisang, jaman itu belum begitu musim gado-gado dibungkus kertas berplastik sih.

Begitu dibuka, dia langsung makan sesuap, lontong + sayur yang berbumbu kacang itu. Sesuap? Ya, hanya sesuap dan......... selesai sudah!

Sudah? Iya. Sudah. Cuma kepengen cium baunya dan rasakan sedikit rasanya saja, jeh!

Ya sudah. Akhirnya saya juga yang mesti menjadi recycle bin menghabiskan gado-gado yang biasa-biasa saja rasanya itu. Dalam hati sih rasanya bagaimana gitu, tapi biarlah dari pada anak saya kelak ngences (berliuran) toh? Baguslah ternyata kemudian si Koko tidak ngences.

Jadi, waktu hamil dulu, anda ngidam apa ya?





PS: Gambar ibu hamil diambil dari MS Office ClipArt media file.

Mari Berantem Dengan Baik dan Bener: (2) Sekali Berarti - Sudah Itu Mati.

Judulnya minjam sebait syair siapa itu ya, sorry, lupa lagi: "Sekali Berarti, Sudah Itu Mati!" Ibarat lilin yang memang dibuat untuk mengurbankan diri, sekali berarti (menyala) sudah itu mati (habis - menguap bersama udara).

Trick ke-2: Sekali Diributkan, Lantas Selesai Sudah.

Ya. Ibarat lilin yang habis terbakar, begitu juga dengan kemarahan anda. Anda kesal karena dia membuat sambal terasa cemplang, kurang sedep, keasinan, ndak gurih kecapnya, gak pedes. Ya keluarkan semua kekesalan anda ttg sambal itu. Boleh saja anda rame berantem dengan do'i. walau mungkin cuma masalah sepele, biarkan saja keluar semua uneg-uneg anda. Kekesalan anda, berdua saja. Jangan ada orang lain, pihak ketiga atau sesiapa saja.

Biarkan juga dia menampung kekesalan anda, biarkan dia jelaskan mengapa beli terasi-nya bukan yang di langganan yang biasa beli (anda kurang kasih uang belanja?), mengapa sendok garam yang kecil itu diganti yang besar (sudah berkarat 'kali?) dan kecapnya koq ganti yang kenthel manis doang gak gurih (supply Cap Matahari belum tiba dari Cirebon), juga koq cabenya gak pedes (musim penghujan jadi kurang SHU - Standard Heat Unit-nya, larut bersama air hujan).

Kalau sudah dikeluarkan semua, dan anda selesai dengan kemarahan anda, kekesalan anda, ya sudah. Kalau besok ada hal yang ingin anda jadikan 'topik' bertengkar, ya carilah topik baru. Tentang sambel gak usah diungkit-ungkit lagi, selama-lamanya.

Persis kayak adegan yang sering anda lihat di film-film barat itu, adegan pernikahan di depan altar gereja, sebelum resmi menjadikan sepasang suami isteri, sang pastur atau pendeta akan bertanya kepada hadirin: adakah di antara anda yang keberatan atas pernikahan ini? Kalau tidak ada ya sudah, janganlah hendaknya ada yang protes di kelak kemudian hari.

Case Closed, EOD - end of discussion about this silly chili paste. Let's discuss about some other brand new topics, once at a time, one step at a time.

So, let's discuss - not to argue, apa lagi kalau just an argue like horse cart chauffeur - itu lho, debat kusir, yang katanya cuma mau menang dhewe. Jadi kalau anda bilang sambel buatan dia gak enak, anda mesti tahu dong unsur-unsur apa yang bikin gak enak, jelaskan, diskusikan untuk perbaikan selanjutnya.

Anda toh mesti hidup berdampingan dengan dia terus, entah sebagai teman kerja, TTM - teman-teman milis, teman hidup. Jadi, kalau anda sudah mendiskusikan dengannya, dia punya kesempatan ke-2 untuk memperbaikinya dong.

Cukup fair toh? Anda kesal karena sambalnya gak enak, anda kasih tahu dia, dia mendapat kesempatan ke-2 untuk memperbaikinya, menguleg lagi sambal yang lebih sedep, lebih enak. Anda puas sudah mengeluarkan uneg-uneg anda langsung kepadanya (jangan curhat ke sembarangan orang!), dan dia pun puas karena tahu kesalahannya di mana, dan....... yang paling penting: bisa memperbaikinya.

Win-win solution, mungkin begitu istilahnya ya?







PS: Gambar diambil dari MS office ClipArt media file.

Mari Berantem Dengan Baik dan Bener: (1) Jangan OOT Ya!

Waktu akhirnya saya memutuskan berhenti kuliah setelah tiga tahun (anggarannya cuma timbang pas untuk 3 tahun), dapat gelar sarjana muda - supaya teuteup muda terus sampai tuwa sekalipun, saya coba-coba jadi penerjemah artikel, free lance - biar bebas merdeka toh?

Mulanya sih iseng ajah. Pas dapat langganan gratisan majalah ttg remaja dan keluarga dari Filipina (lupa judul majalahnya), jaman itu, belum banyak majalah gratisan, jadi rasanya koq gimana gitu, bangga kerana terpilih jadi pelanggannya (cuma beberapa yang dapat majalah itu di kampus) dan senang karena gratisnya itu, terutama ya!

Ada satu artikel menarik di satu edisi majalah tsb, lupa lagi judulnya, tapi sekilas ingat isinya.

Sebab saya berhasil mengirimkan terjemahan artikel itu ke majalah Femina dan Gadis, tapi berhasil dimuatnya cuma di Gadis. Sampai sekarang saya ingat dapat honornya Rp 5.000 yang waktu itu sih ya lumayan besar juga - ayam goreng Ny. Suharti, seekor kayaknya baru sekitar Rp 1.750, gaji saya pertama kali kerja ajah, 1977, baru Rp 50.000 - cuma seharga sepasang sepatu Bally doang tuh, jeh!

Intinya sih ttg berantem - yang baik dan bener.

Pedoman berantem yang baik dan bener di antara pasangan remaja yang masih tahap pdkt dan kelak kalau sudah menikah - makanya saya heran koq cuma dimuat di Gadis ajah ya?

Jadi, ada 10 Tips & Tricks Berantem, bagaimana anda bisa berantem dengan pacar atau pasangan anda, berantem yang bukan untuk lantas patah arang dan bubar balik kanan jalan, tapi berantem yang sehat, yang baik dan benar supaya hubungan anda tetap baik, bahkan lebih baik sesudahnya.

Kenapa si penulis bilang dan bahkan menganjurkan anda untuk berantem?

Sebab katanya berantem dalam kehidupan itu tidak bisa dihindari. Baik antara sesama pasangan yang dalam tahap pdkt (pendekatan), sudah menikah, bahkan juga antara dua orang kawan - yang bukan mengarah ke perkawinan sekalipun.

Berantem itu proses untuk menuju hubungan yang lebih baik, dan lebih sehat. Sebab berantem itu sebenernya tanda-tanda care, perhatian, sayang, bahkan... cinta, jeh!

Anda toh tak mungkin berantem dengan teman seperjalanan atau cuma kenal selintas kilas di pertemuan bisnis misalnya, bukan?

Yang saya ingat, antara lain:

(1) Fokus Pada Satu Topik atau Inti Masalah
.

Jangan OOT - out of topic. Kayak di milis ajah, kalau OOT 'kan anda bisa kena banned.

Maksudnya, kalau anda kesel dan pengen berantem gara-gara soal sambel yang diuleg pasangan anda, ya berantemlah pada topik ini saja, one step at a time, selangkah demi selangkah, satu topik saja untuk satu sesi berantem. Jangan merembet-rembet ke topik lain.

Misalnya, bilang dong bahwa terasinya kurang sedep, cabenya gak pedes, garemnya kebanyakan, gulanya lebih enak pake gula Jawa, kecapnya juga enakan pake Cap Matahari.

Jadi pasangan anda juga fokus ke masalah sambel ajah, dia bisa mempertahankan 'disertasi'nya cukup ttg sambel ajah - bikin PR-nya juga lebih gampang toh. Lantas, setelah sesi berantem selesai, dia bisa mengoreksi cara dia menguleg sambel yang lebih enak, ada perbaikan ke arah yang lebih sedep, yang lebih pas di lidah anda. Hasilnya 'kan jadi baik bagi anda berdua tuh, jeh!

Jangan anda marah dan kesel soal sambel, tapi lalu anda merembet ke masalah lain, misal karena anda ndak kebagian matoa gara-gara dia cuma bawa 5 bungkus untuk 5 orang teman, dan gak nyangka akan bertemu anda waktu kopdaran kemaren.

Di samping itu sangat 'lucu' - sangat OOT toh, lha anda gak kebagian bukan berarti dia gak perhatian ama anda lho, semata memang gak nyangka bakal ketemu anda di antara teman-temannya, lha emang dia dan anda gak janjian ketemu toh?

Juga, kan kasihan dia kalau anda marahnya gara-gara sambel, tapi koq tiba-tiba anda bilang: kenapa gua gak dibagi matoanya? Berarti kagak care ya? Lha, apa hubungannya dong, sambel ama matoa? Kan dia lagi mempertahankan 'disertasi' ttg sambel yang menurut anda gak enak. Gak enaknya kenapa, dia sudah siap-siap kasih jawaban dan siap mencatat 'kritik' anda toh.

Jadi, anda kesel soal sambel atau matoa sih?






PS: saya akan lanjut kalau dah ingat lagi topik berikutnya ya. Moga-moga saya ingat semua kesepuluh topik itu.

December 17, 2009

Rujak Bebek van Soekaboemi, Anyone?

Baca posting teman kita, Bung Cahyo W. (Sony?) di sini, ttg 'jajamal' - jajan-jajan malam di Sukabumi (jaman hwa-hwee tahun 1970-an, kalau anda mimpi ke Sukabumi, atau ada hubungan dengan orang mati yang 'suka bumi', anda mesti pasang nomernya 70 dan 07, sebab itulah 'terjemahan' arti mimpinya), saya jadi ingat ketika jaman jalan tol Jagorawi masih sepi, sekitar tahun 1980-an.

Moga-moga ajah anda sudah pada lahir ya, jadi bisa membayangkan cerita ini dengan lebih intens.

Jadi ketika itu ada temen sekantor yang lagi pdkt ama anak Bogor (rela tekor asal kesohor?), jadi suka minta saya menemani untuk ngapelin dan ajak lanjut rekreasi ke.... Taman (Bebek) Angsa di Sukabumi. Yah... gak persis di Sukabumi-nya sih, tapi deket-deket situlah, sebelum masuk perbatasan resmi kota Sukabumi-nya situ-lah.

Sepanjang jalan itu banyak sekali yang jualan........ rujak bebek! Selang beberapa ratus meter, dari sekitaran Taman Angsa, sebelumnya dan sesudahnya, arah ke kota Sukabumi itu, ada saja barang satu-dua pintu warung yang pasang signboard cukup mencolok: Sedia Rujak Bebek.

Waktu anak-anak kami dah lahir dan mulai masuk TK dan PG - sekitar 1990-an, ada satu engku (paklik, oom, paman - adik lelaki mama) saya yang mukim di Sukabumi, jadi saya suka ajak nyonyah dan anak-anaknya bertandang ke sono, entah menginap barang semalam dua, atau pulang hari, dan selalu melewati warung-warung Rujak Bebek itu sepanjang jalan, masih sajah berjualan di situh!

Dan, warung-warung Rujak Bebek di sepanjang jalan Bogor-Sukabumi itu, sudah lama buka, jauh-jauh sekali sebelum trend musim makan "bego" - bebek goreng yang konon diperkenalkan oleh arek Serbejeh (seperti halnya juga pecel lele) di jakarta, sebelum kedai-kedai 'bego' pada buka di mana-mana, berlumba-lumba menarik perhatian prospek pelanggan, sampai-sampai muncul isyu miring bahwa agar supaya bebek-nya empuk dan gak bau prengus (kayak wedhus tah ambune, koq prengus to?), mereka merebusnya pake obat pusing kepala yang biasa diposisikan untuk dimakan manusia. Koq? Tapi, mestinya emang bener sih, tu bebek pasti pada mabok pusing kepalanya, lha mana enak sih jadi bebek yang disembeleh, lalu dipotong-potong, dikuliti, dibumbui, lalu direbus mentah-mentah, jeh!

Jadi, sekali waktu saya penasaran, mampir mau nyobain tu Rujak Bebek rasanya kayak apa. Saya selama ini tahu-nya rujak kalau di Cirebon ada macam-macam: rujak janganan, rujak uleg, rujak manis, rujak donggala, rujak sambel asyem, rujak pace (mengkudu), baca ajah di sini (belum disambung link-nya, sorry).

Tapi yang namanya Rujak Bebek ya baru kali itu tahu. Dan saya yakin anda juga baru sekali ini baca cerita di blog Multiply di internet ttg Rujak Bebek, ta iye?

Nah, anda tahu Rujak Bebek itu kayak apa?







PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

December 16, 2009

Naek Mobil Mini Van di Negeri Jiran.

Karena kemaren cerita ttg Pertama-X abroad going, saya jadi ingat insiden kecil ketika mau ke hotel dari bandara Canggih, eh, Changi.

Ceritanya kami rombongan, diatur oleh satu travel agent dari Jakarta yang kerjasama ama travel agent di Singapore.


Dapat kendaraan-nya mini van ala APV kalau sekarang mah, atau Toyota Bastards, eh, Alphard gitulah kalau yang keyen-nya sih ya. Pokoke sing iso muat uakeh, muat banyak gitu sekali angkut. Biasanya TDP - Tempat Duduk Penumpang terdiri dari: 1 di sebelah supir (paling top, buat eksekutip top), 3 di baris tengah, dan 3 di baris belakang - kudu narik sandaran dan tempat duduk kursi deket pintu di baris kedua, untuk jalan masuk ke baris belakang itu.

Jadi, rombongan kami 5 orang, terdiri dari klien saya, boss bule + nyonyah, boss lokal, dan boss saya + saya, dan koper-koper + properti lain-lain untuk keperluan launching produk baru.

Setelah meeting kilat, pengaturan tempat duduk jadinya saya dapat di belakang sendiri + koper dan properti aneka macam. Jadi saya segera saja buka pintu mau naik masuk ke baris belakang. Eh, tapi nyonyah boss bule spontan mau masuk begitu saya bukakan pintu. Jadi kami hampir seolah berebutan mau masuk mobil. Akhirnya beliau mengalah memberi saya kesempatan masuk mobil duluan.


Saya jadi tengsin (malu, isin) sendiri.

Lha, emang sih manner-nya pan di kalangan bule begitu: bukakan pintu buat perempuan duluan - entah di mobil atau pintu masuk di mana saja, lift misalnya, ladies first.

Tapi, saya pikir karena saya dapat jatah kursinya di baris belakang, ya saya mau masuk dulu. Kalau beliau yang duduk di baris tengah masuk dulu, bukankah justru akan merepotkan beliau karena mesti bangkit lagi dulu untuk memberi saya jalan?


Halah, kejadian dah lama, baru ingat lagi sekarang ya?

December 13, 2009

Kerana "A [ei] B [bi] C [si] D [di]", maka "J [ji] K [ki] L [el] M [em]"?

Huruf Latin A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z. Hurufnya sama, tapi kenapa rang Inggris dan Amrik mbacanya beda:

A [ei] B [bi] C [si] D[di] E[i] F [ef] G [ji] H [eits] I [ai] J [jei]
K [kei] L [el] M [em] N [en] O [ou] P [pi] Q [kiu] R [ar] S [es]
T [ti] U [yu] V [vi] W [dobel yu] X [eiks] Y [wai] Z [zi].

Padahal di kita bacanya ya 'biasa' ajah:

A [a] B [be] C [ce D[de] E[e] F [ef] G [ge] H [ha] I [i] J [je]
K [ka] L [el] M [em] N [en] O [o] P [pe] Q [ki] R [r] S [es]
T [te] U [u] V [ve] W [we] X [eks] Y [ye] Z [zet].

Jadi, kalau kita perhatikan bunyi-bunyi yang ini:

B [bi] C [si] D[di] P [pi] T [ti] V [vi] Z [zi],

dibandingkan dengan bunyi cara basa Indonesia:

B [be] C [ce D[de] P [pe] T [te] V [ve] Z [zet],

maka bisa saja lantas muncul common mistake membunyikan huruf basa Inggris oleh orang kita. It's just common as those common mistakes.

Biasa, jamak ajah kalau lantas muncul salah ucap begitu sih ya.

Contohnya, karena common mistakes terjadi pada lafal, pengucapan, maka yang saya dengar tentu di radio:

(1) Radio Delta FM, penyiar-nya Bu Yati Asvan Lubis (sudah tidak lagi) pernah populer pada 2005-an, menyiarkan kemacetan lalu lintas di sore hari di Jakarta. Beliau pernah beberapa kali menyebut nama JDC - Jakarta Design Center (gedung yang berlokasi di bunderan Slipi) dengan pengucapan J [ji] D [di] C [si]. Dan ini bukan cuma beliau saja, tapi banyak orang yang saya dengar juga sama mengucapkannya begitu. Karena kita tahunya J[je] dan yang D[de] jadi [di] T[te] - [ti], V[ve] - [vi], maka tak sadar kita analogikan J[je] menjadi [ji].

Karena radio di mobil saya waktu itu dipanteng ke Delta FM setiap hari, maka saya hapal nomor teleponnya dan saya hubungi, kebetulan terhubung ya saya sampaikan bahwa itu salah. Dan langsung Bu Yati meralat kesalahannya. Tapi, mestinya anda pernah juga dengar salah ucap pada JDC ini terjadi di lingkungan anda. Gak percaya? Coba cek ajah ama teman-teman anda, tanya ajah apa nama gedung di bunderan Slipi itu apa.

(2) Radio Trijaya FM, baru saja, pada Jumat, 11 Desember 2009, sore sekitar pukul 17:00 EIB menyiarkan program "Talk to CEO" dengan seorang penyiar perempuan (ndak tahu namanya) menghadirkan Bapak Fabian Gelael atau Fadian Gelael (kurang jelas pengucapan huruf D atau B) yang tentu saja anak pemilik KFC. Dan, tentu saja bicara seputar KFC yang rupanya dalam rangka HUT KFC ke-30 baru-baru ini.

KFC kalau dibaca secara basa Indonesia, tentu saja bunyinya K [ka] F [ef] C [ce], tapi karena ini singkatan dalam basa Inggris, wajar saja kalau sang penyiar bacanya secara Inggris: K[ki] F [ef] C [si]. Eh, bener gak sih? K[ki]? Dan sang penyiar berulang-ulang menyebutnya K[ki] F [ef] C [si] dan saya tidak mendengar sang CEO KFC meralat pengucapan tsb. Jadi mestinya itu bener tah? Lha, ya jelas salah, wong K [ka] dalam basa Inggris itu bukan [ki] tapi [kei], jeh!

Oleh karena saya jarang mendengar Radio Trijaya yang ditargetkan bagi eksekutip muda, sebab saya toh bukan eksekutip, juga tidak lagi muda, maka saya ndak tahu nomor teleponnya, juga ndak ingat siapa nama penyiarnya itu.

Kalau-kalau anda kenal nama penyiarnya, atau sang CEO [si-i-ou] dari KFC [kei-ef-si] itu, tolong sampaikan bahwa sudah terjadi kesalahan ucap di HUT KFC [ka-ef-ce] yang ke-30 itu.

Salam dan sukses selalu KFC!

December 12, 2009

EPPP - Efisiensi Prosedur Pelaporan Pajak.

Tahun kemaren, KPP - Kantor Pelayanan Pajak menggalakkan kampanye (bukan 'kampanye'nya yang digalakkan atuh ya) untuk menyadarkan masyarakat agar mau memiliki NPWP - Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan iming-iming bebas fiskal bagi yang hendak bepergian ke luar negeri, kalau sudah memiliki NPWP.

Memiliki NPWP, bukan berarti sekedar punya kartu NPWP-nya ajah, tapi tentu saja diharapkan masyarakat mau taat dan sadar membayar pajak.

Nampaknya kampanye ini berhasil.

WP - Wajib Pajak, ternyata katanya bertambah banyak secara signifikan. Artinya bertambah banyak orang yang mau bayar pajak.

Hanya saja, nampaknya kesiapan di lapangan untuk menampung ketaatan para WP kurang diantisipasi dengan baik. Akibatnya bank-bank penerima setoran pajak setiap bulan selalu penuh membludak. Dari sisi bank, tentu saja ini merupakan pekerjaan tambahan. Mereka mesti menyelesaikan administrasi setoran pajak pada pukul 12:00 - mungkin ini deadline yang diberikan oleh Kantor Pajak untuk menyelesaikan setoran hari itu.

Saya perhatikan, formulir setoran pajak, SSP - Surat Setoran Pajak terdiri dari 5 lembar, ukuran 210 x 280 mm, dicetak rapi, dengan kertas berkarbon (anda tulis paling atas, semua lembar akan ikut tertulis) sebagai berikut:

Lembar ke-1 - untuk Arsip WP (asli).
Lembar ke-2 - untuk KPP melalui KPKN.
Lembar ke-3 - untuk dilaporkan oleh WP ke KPP.
Lembar ke-4 - untuk Bank Persepsi/Kantor Pos & Giro.
Lembar ke-5 - untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain.

Resminya kantor pos bisa menerima setoran pajak, begitu juga bank besar dan bank daerah, tapi pada prakteknya, tidak semua kantor pos atau cabang bank bisa menerima. Sebab ada kebijakan dari kantor pos pusat atau bank besar untuk itu.

Formulir SSP bisa anda minta di KPP gratis, setiap orang boleh minta 2 set setiap kali memintanya. Jadi, kalau anda mau setor untuk setahun yang 12 bulan, paling tidak anda mesti 6 kali datang ke KPP untuk mengambil formulirnya. Petugas KPP akan dengan senang hati memberitahu anda pedoman menghitung pajak penghasilan anda.

Cara mengisi formulir sudah disederhanakan dan sangat mudah dimengerti dan diisi. Anda tinggal isi NPWP anda, centang bulannya, beritahu pajak apa yang hendak anda setor, lalu serahkan ke bank. Waktu anda setor ke bank, petugas bank akan mengambil 2 lembar (lembar ke-2 dan ke-4) setelah diberi cap dan tanggal bahwa setoran anda sudah diterima oleh bank tsb.

Cuma, antrian-nya di bank itu lho yang selalu penuh.

Saya jadi teringat ketika saya pertama kali ke luar negeri, 25 Januari 1989. Setting lokasinya adalah.... Singapura. Gak jauh-jauh amat sih. Ya. Itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah orang. Kalau Tim-tim boleh dihitung sebagai 'negara' luar, tentu saya pernah ke sana pada 1977, tapi waktu itu 'kan Timtim masih baru saja menjadi bagian dari wilayah NKRI.

Event-nya adalah launching produk baru klien kami, Sustagen Junior.

Pertama kali tiba di negeri orang, saya cukup norak juga. Apa-apa saja saya baca. Segala macam brosur dan peta yang disediakan gratis dari STPB - Singapore Tourist promotion Board saya ambil, saya baca dan bahkan saya bawa pulang tuh! Banyak sekali brosur berbentuk booklet yang cantik-cantik, termasuk tawaran sekolah di Singapura. Mungkin inilah yang memicu anak saya, si Dede, untuk berusaha bisa bersekolah di Singapura ya?

Nah, ada yang saya ingat. Waktu itu saya baca (kayaknya dari agenda kecil promosi dari satu perusahaan, hotel atau apa gitu) tabel pajak penghasilan yang mesti dibayarkan penduduk Singapura. Dengan sederhana dan jelas sekali di situ dicantumkan daftar penghasilan yang dibagi berdasarkan jenis pekerjaan (karyawan, pengusaha, atau apa saja), jumlah penghasilan dan besaran pajak (dalam persentase) yang jelas. Setiap orang yang baca akan mudah mengerti berapa mesti dia setor untuk diri sendiri. Saya lupa prosedur setornya ke mana.

KPP di Indonesia juga mestinya punya daftar seperti itu.

Hanya saja, mereka nampaknya 'belum sempat' membuat tabelnya secara sederhana. Anda mesti tanya kepada petugas KPP dan mereka akan memberi penjelasan kepada anda. Kalau saja KPP mau membuat tabel seperti itu, mungkin petugas KPP tidak perlu setiap kali menjelaskan kepada WP yang datang ke KPP dan bertanya.

Pada prinsipnya, setoran pajak penghasilan anda dihitung untuk setahun.

Anda bisa menghitung sendiri, semua penghasilan anda dijumlahkan dalam 12 bulan, setelah dikurangi PTKP - Penghasilan Tidak Kena Pajak, sisanya itu yang dikenai pajak. Mestinya ini cukup sederhana toh? Dan anda setor setiap bulan untuk jumlah pajak tsb dibagi 12. Dan, pada akhir tahun fiskal, kalau ternyata penghasilan anda lebih besar dari yang diperhitungkan semula, berarti anda masih kurang setor, anda diharapkan menambah setoran pajak itu untuk menggenapinya, lalu anda membuat laporan SPT - Setoran Pajak Tahunan.

Untuk anda yang menjadi karyawan perusahaan besar dan mapan, anda tidak usah dipusingkan oleh prosedur perpajakan. Bagian kepegawaian dan bagian keuangan perusahan tsb. sudah membantu anda mengurusnya. Anda tinggal minta bukti pemotongan pajak setiap bulan, lalu melaporkannya ke KPP sebagai SPT anda.

Tapi bagi profesional dan pengusaha swasta, besar atau kecil, tentu saja mesti mengurusnya sendiri atau melalui... 'konsultan' aka konsulen pajak. Ada biaya lagi untuk itu, tentu. Apa sih yang gratis sekarang? Lha, wong pipis di WC umum sekarang mesti bayar Rp 1.000, jeh! Kalau mau urus sendiri mestinya bisa, hanya saja mesti membuang waktu dan pikiran, mesti antri di bank dan seterusnya.

Kalau saja KPP mau bekerjasama dengan bank lebih intensip, misal dengan menyederhanakan prosedur setoran pajak per bulan dengan cara seperti pembayaran listrik, langsung ke ATM, transfer dari rekening anda, dan slip transfer itu sebagai bukti setoran pajak. NPWP anda dianggap sebagai 'rekening' pajak anda. Di database bank sudah tercantum NPWP anda, dan dengan sendirinya setoran anda dari mana saja akan tercatat di dalam 'rekening' pajak anda tsb.

Pada akhir tahun, kalau ada kekurangan, maka anda akan mesti menambah setoran pajak tsb. Sebaliknya, kalau ada kelebihan, maka akan diperhitungkan untuk tahun fiskal berikutnya. Seperti kalau anda membayar rekening kartu kredit, kalau ada kelebihan pembayaran pada bulan ini, ya tentu saja akan diperhitungkan pada bulan berikutnya.

Mestinya itu akan membantu mempermudah WP untuk menyetor pajaknya. Tidak 'trauma' kalau dengar dan berurusan dengan 'pajak'. Mestinya akan lebih banyak lagi yang dengan kesadaran sendiri membayar pajak penghasilannya. Kalau sudah sederhana begitu, mestinya banyak hal bisa lebih efisien. Misalnya, tidak perlu lagi mencetak SSP.

Hanya saja, kalau sudah bicara efisien, mungkin terpaksa ada pos-pos pekerjaan yang dibubarkan, seperti konsulen pajak, petugas penerangan, pemeriksa awal(?) SSP di KPP, dan lain-lain.

Atau, mungkin justru hal ini yang menjadi beban pikiran para elite di KPP sana, sehingga terpaksa seolah-olah masih saja berlaku slogan: kalau bisa dipersulit, mengapa mesti dipermudah?

Kalau masih begitu, apa kata dunia ya?




IT'S WORLD TIME: