February 15, 2011

Nomenklatur - Kuwih Mangkuk aka Cup Cakes.

Nomenklatur kuwih mangkuk, seperti umumnya nomenklatur - sistem penamaan kuwih-muwih atau pun sayur mayur oleh para 'pencipta'nya jaman dahulu kala, mestilah sederhana saja. Bentuknya bulat dibuat dari bahan daging, ya namanya bakwan - bak = daging, wan = bola, bulatan, aka meat ball kalau cara udiknya sih ya.

Jadi, karena dicitaknya memakai mangkuk, ya sebut ajah kuwih mangkuk. Beres toh?

Tapi, nanti dulu, kalau anda lihat dedegan aka penampakan kuwih mangkuk,
mestilah ukurannya kecil-kecil, padahal yang namanya mangkuk, mestilah lebih besar, walau gak besar-besar amat macam mangkuk saji atau mangkuk mie ayam or bakso yang bercap ayam jago itu, setidaknya tidaklah sekecil kuwih mangkuk gitulah, jeh!

Dalam basa 'udik'nya, kuwih mangkuk itu ya sama ajah, mereka mencitaknya pake cup instaed of bowl (kegedean kalau pake bowl toh?), maka mereka membuat nomenklaturnya sebagai 'cup cakes'.

Nah, kuwih mangkuk kita, dengan ukuran yang sekecil itu (dibanding dengan
mangkuk) mestinya disebut sebagai kuwih cawan (ingat chawan munshi?), sebab cha-wan itu tak lain adalah 'mangkuk' (wan) atawa cangkir teh (cha) ala fine china (bukan orang Tionghoa yang baik, tapi china = porselen), sebab memang asal mulanya mereka memakai cha-wan (ada berbagai ukuran, biasa untuk minum teh atau arak beras ketan) ini sebagai citakan kuwih mangkuk itu.

So, now you know already about the nomenclature for the Chinese cup cakes, maukah anda mengganti nama kuwih mangkuk itu dengan 'kuwih cawan' tah?

Hehehe.... tapi, gak usah radikal begitu sak-kal kontan ganti namanya, sebab di desa Cukanggalih, Tangerang yang nampaknya peradaban berhenti berputar, mereka masih memegang teguh adat-istiadat lama, ternyata ada yang masih membuat kuwih mangkuk, dengan citakan secara harafiah dari mangkuk nasi yang mayan besar itu. Sebagai tradisi sesembahan menghormati leluhurnya di awal musim semi yang baru - Tahun Baru Imlek kemaren.

Anda mau coba kuwih mangkuk-nya tah?



February 14, 2011

Sambel Delan Aneka Guna, Euy!

Kemaren dulu rada banget, saya nemu buku resep Aneka Sambel Nusantara, isinya ya tentu sajah aneka resep untuk membikin sambel dari berbagai daerah di Nusantara, walau tentu tidak mewakili semuanya, tapi lumayanlah.

Ada sambel rujak, sambel bajak, sambel terasi......

SAMBEL DELAN

Saya jadi inga sambel delan buatan alm. nenek saya. Nenek saya orang udik, asli daerah Luragung, Kuningan, Jabar, deket kali Cisanggarung(?), buta huruf, namun bisa membedakan nilai nominal uang, tidak peduli seri uang berganti-ganti.

Delan itu bahasa Sunda di kawasan Kuningan situ (agak berbeda dengan Sunda sekitar Parahiangan-Bandung). juga Banten(?) dan Lampung(?) yang artinya adalah tak lain.... terasi!

Nenek saya kalau bikin sambel delan lebih suka dadak nguleg. Pake cobek yang agak besar, ulegan juga besar, dan begitu jadi, langsung ajah sroooggg.... diletakkan di atas meja makan, pas di tengah-tengah meja bunder sebagai 'center piece' hidangan maksibar kami sekeluarga tiga generasi.

Bahannya sederhana ajah: cabe merah, cabe rawit, gula Jawa, garem, dan... delan, tentu!

Hasil ulegan sambel buatan nenek saya agak kasar, jaman itu belum ada blender toh! Juga tidak digoreng seperti sambel untuk ayam goreng Kalasan itu. Walau kadang nenek suka menambahkan sedikit minyak lentik jelantah, bekas goreng ikan asin ke dalam ramuan sambel delan-nya.

SAMBEL COCOLAN

Sambelnya sih mestinya sih biasa ajah, tapi yang unik itu adalah makanan yang dicocolkannya itu, jeh!

Kalau pas makan dengan nasi, paling juga lalapan kulub (rebusan/kukusan) aneka sayur seperti kacang panjang, kol, bonteng aka timun, kangkung, dan...... peteuy, uey!

Tapi dua alm. kakek saya abang-adek (engkong dan twa-pek-kong) suka iseng pas tea-time sore hari, roti sumbu (singkong rebus) sukaan dicocolkeun ka sambel sisa makan siang yang gak habis hendak dibuang sayang.

Dan tentu saja si incu-na (cucu) yang deket ama mereka (= saya) pun sukalah ikut-ikutan kerana dikasih teladan ama generasi tua aka lo-cianpwee, nyocol singkong rebus berikut kulitnya itu dengan sambel, dan.... eh, ternyata memang enak juga, jeh!

SAMBEL ANTISEPTIK

Kakek saya tukang kayu otodidak, jadi halaman rumahnya dibikin jadi bengkel tukang kayu, membuat aneka perabotan rumah.

Kalau pas libur, saya suka ikut-ikutan bantu kakek untuk sekedar menggergaji atau mengebor papan. Ceritanya mau alih teknologi, meneruskan tradisi menjadi tukang kayu seperti nenek moyang kami sejak djeman dahoeloe kala pisyan.

Suatu kali, bor kayu yang model rebab itu terpeleset, sementara kaki saya 'memegang' papan yang mau dibor, maka nancaplah dengan enteng dan tak berkedip sebelah mata pun itu si mata bor di kaki saya deket jempol.

Sakitnya bukan alang kepalang sudah barang tamtu.... nenek di dapur mendengar jeritan saya, pas beliau baru selesai nguleg sambel delan-nya. Maka buru-buru nenek keluar, sambil masih bawa ulegan penuh belepotan sambel.....

Melihat saya kesakitan, nenek mengomeli kakek sebab tidak hati-hati mengawasi incu kesayangannya yang main bor. Tanpa pikir panjang, luka saya diborehinya dengan...... sambel delan!

Wadaoooo...daooo....daoooo...... (echo mode on), perihnya tentu saja tak terperihkan rasane, bo! Tapi, ajaibnya, luka itu tidak lama langsung sembuh, jeh!

Eh, ternyata capsaicin dalam capsicum yang terkandung dalam cabe memang bersifat antiseptik tuh, euy!

CIKAL BAKAL PENYET

Kakek saya juga gemar memancing, kalau pas hari Minggu saya suka diajak ke pelabuhan Cirebon, mancing di sana. Yang suka didapat paling juga ikan sembilang (masih berkerabat bersodara ama lele, tapi entah mengapa sukanya hidup di laut). Hasil tangkapan ikan sembilang ini, lantas digaremi dan diladai, digoreng oleh nenek, dan diuleg sekalian ajah, biar praktis, di..... cobek berisi sambel delan.

Mungkin inilah cikal bakal dari pecel (pecak) lele ya? Siapa tahu toh? Jaman itu toh belum ada peternakan besar-besaran mengembang-biakkan lele-lele dumbo ning kontet, jeh!

Ditaruh di tengah meja, nasinya nasi dari beras merah, masih mengepul uapnya, sayurnya sambel godhog + rebung, ikannya dicubit rame-rame, lalapnya peteuy beuleum dibubui, wah, sungguh syoor nian, bo!

IMPROVISASI

Kemaren itu, pas di kulkas ada tersisa beberapa keping roti tawar, sore-sore sehabis turun hujan gede saya merasa agak lapar. Saya bakar ajah tu roti pake oven toaster. Eh, tapi koq ndak ada temennya, jam sudah habis, keju belum beli..

Yang ada juga cuma sepiring kecil sambel terasi di meja. Saya jadi iseng menyobek secuil roti, dicocolkan ke sambel, dan dimakanlah....Eh, ternyata enak juga tuh!

Gak percaya? Coba ajah dah! :D)










PS-1: Copy paste dari posting saya di milis sebelah, Sabtu, 9 Juni 2007, pukul 22:18 WIB.

PS-2: Foto adalah sambel 'ganja' dari RMA - Rumah Makan Aceh "Selera Kita", Jl. Ir. H.Juanda 1, Statsiun KA Juanda, Jakarta Pusat.

February 06, 2011

Buryam + Sop = Khas Cerebonan, Jeh!

Bubur ayam, walau dengan sedikit nasi, tapi teuteup berayam, walau sekedar basa-basi dan disuwiri doang. Ayam utuh seekor, setelah direbus dan diambil airnya untuk campuran bubur, entah bisa untuk ditarok berapa porsi bubur dalam mangkuk tuh ya?

Entah mengapa, kayaknya banyak saudagar bubur ayam di kawasan BSD memakai trade mark-nya Cirebon, seperti halnya ketoprak dan es buah yang selalu menjamur di masa puasa, mereka pada buka menjelang buka. Maksud mereka, apakah itu makanan-nya yang khas Cirebon, atau cuma sekedar merujuk bahwa peraciknya berasal dari Cirebon. Saya duga yang kedua. Sebab bubur ayam(?), ketorak dan es buah, bukanlah makanan khas Cirebon tuh, jeh!

Khas Cerebon, benernya di selera yang serba 'tapran' - low class te-a, non daging: tahu tek-tek (ketoprak), sega lengko, rujak (lotek, gado-gado Jakarta) , tahu gejrot, tahu kupat, docang. Supaya bisa terjangkau harganya oleh rahayat semesta.

Jadi bubur ayam masih mendingan, pake ayam walau sesuwir-dua saja sekalipun.

Nah, di Cirebon ada lagi makanan yang unik khas Cirebon yang cukup 'high' end punya: bursop, aka bubur sop ayam. Jadi, buburnya disiram kuah sop - bumbu-rempah-nya kumplit persis plek ama sop: ada cengkih dan biji kepala, eh, pala, pake keratan bortel, tomat, kentang, walau sekedar basa-basi, dan juga... suwiran ayam. Topping-nya tentu saja brambang goreng, boleh tambahkan sambel sesuka dan tingkat acceptability atas SHU - Scoville Heat Unit masih-masing ajah atuh, euy!

Jaman dulu belum terkontaminasi MSG (message atau massage?) aka mono sodium glutamati, terpaksa mereka kudu pakai ayam buat kaldu penggurihnya. Nah, daripada ayam bekas direbus itu dagingnya dibuang sayang, ya mangga disuwir-suwir dan dibagikan kepada para pendoyannya ajah.

Kali lain anda ke Cirebon, sila cari Bursop Ayam, sebab anda tak akan menemukan makanan model begitu di tempat lain. Semangkuk bursop panas dinikmati saat-saat udara dingin-dingin barusan diguyur hujan deres, wah...... nikmatnya, oooiiii!

Ojo lali, ulah poho, jangan lupa ya!

February 04, 2011

Desktop vs Laptop.

Pertama kali punya perangkat kompi, sekitar tahun 1990-an, masih pake sistem Dos. Monitornya juga masih monochrome. Dirakit oleh seorang supplier yang memasok kompi di kantor, harganya sekitar Rp 10 juta, diangsur 10 kali cukup membantu.

Kemudian, sekitar tahun 1987-an, sebelum hura-hura nasional itu, kompi sudah beralih ke sistem Windows. Prosesornya sudah Pentium. Lupa lagi Pentium berapa, kayaknya sih P-4, harganya sama Rp 10 juta per unit. Pas waktu itu usaha mayan lancar, jadi outsource beberapa bank, ada budget buat beli kompi bagi kedua anak kami masing-masing 1 unit, monitornya sudah berwarna.

Dan, sekitar tahun Pas Dede masuk NJC - National Junior College di Sin, sudah mesti punya laptop. Pas keadaan cukup prihatin, pasca hura-hura, banyak perusahaan mesti menghemat budget, jadi pekerjaan pun berkurang banyak.

Dede mesti beli laptop, sementara budget belum tersedia. Jadi dia tanya, apakah kompinya yang dibeli semasa SMP bisa dijual atau tukar tambah dengan laptop. Di sekolahnya ada program beli laptop HP murah, subsidi dari sekolahnya.

Saya cuma tersenyum kecut, sebab desktop yang dibeli sebelum 1998 itu, sudah tidak ada lagi harganya. Sudah ketinggalan jaman. Saya minta dia bersabar sebentar, menunggu ada lagi pekerjaan yang datang kepada saya. Mungkin terpaksa tidak bisa mengikuti program subsidi beli laptop HP di sekolahnya.

Benar saja, sekitar 2 atau 3 bulan sesudah tenggat waktu di sekolahnya, saya mendapat sedikit rejeki agak berlebih, bisa beli laptop di Jakarta, dari seorang pemasok lain yang selama ini saya berlangganan, harganya sekitar Rp 10 juta juga. Diangsur 3 kali.

Menu Wajib Samseng dan Tiga Menu 'Wajib' Sembahyangan ala Benteng.

Kemaren-nya (Rabu) saya diberkahi kesempatan, diajak Bung Andipo dan seorang anak muda fotografer NGI, maen-maen bertandang ke kampung Cukanggalih, ke rumah keluarga Oen dan satu lagi (lupa) dari sisa-sisa warga Cinbeng - Cina Benteng yang masih bertahan di sana. Sudah banyak warga yang tergusur karena lahannya dipakai untuk real estate.

Di kampung Pondok Jagung, Rawa Kutuk masih tersisa beberapa keluarga juga sih. Kemaren itu kerana kesorean cuma sebentar saja mampir di keluarga Loa di Pondok Jagung. Dan, pas Imlek-nya siang saya dibagi dodol keranjang oleh seorang kerabat nyonyah yang boleh beli di satu keluarga Cinbeng di Rawa Kutuk - tetangga Alam Sutera, masih memakai daun pisang sebagai pembungkusnya.

Kemaren dalam menyambut Imlek mereka bersembahyang menyajikan masakan bagi arwah leluhur dan yang mendahului mereka.

Menu wajib untuk sembahyang ini adalah: sam-seng, tiga hewan domestik yang mewakili darat, laut dan udara. Darat diwakili oleh babai, sekerat daging bagian samcian, aka samcan, seekor ayam bekakak utuh berikut darah marusnya yang ditarok di atas punggungnya, dan seekor ikan bandeng. Ketiganya cuma dikukus atau ditim, dengan sedikit garem sahaja.

Kabarnya, di kalangan yang mampu, suka ada yang memakai babai utuh seekor ditim polos begitu sebagai wakil 'angkatan' darat, hanya saja diperlukan meja altar yang lebih besar lagi. Apalagi kalau mereka mau memakai bekakak kalkun atau burung unta sebagai wakil 'pasukan' udaranya, dan untuk angkatan laut-nya memakai ikan lele super jumbo-dumbo raksasa dari sungai Mekkong.


Kata samseng, menurut Babah William Gwee dari Singapore, berasal dari kata sam = tiga, seng = hewan (xing). 2006 William Gwee Thian Hock A Baba Malay Dictionary 173 sam-seng [...] Baba-prayer sacrificial offering of a blanched pork, a whole duck and chicken].

Entah mengapa, kata 'samseng' koq lantas menjadi kata lain untuk 'preman' aka 'ganster', khususnya di Malaysia. Yang lantas disetarakan dengan Mafia Mob di Italia dan AS, dan Yakuza di Jepang.




Selain tiga menu wajib samseng tsb., mereka mempersembahkan juga nasi dan lauk-pauk kegemaran mereka yang sudah mendahului berangkat ke 'daerah timur'(?) akherat sono. Jumlah mangkuk atau piring nasi disesuaikan dengan jumlah keluarga yang sudah mendahuli itu. Juga, sirih pinang lengkap bako + kapurnya (buat ema, makco) dan rokok kelobot dan kawung (buat engkong, kongco) disajikan, juga arak beras putih dalam botol.

Lauk-pauknya apa saja?

Sebagaimana lauk-pauk yang biasa dimakan sehari-hari: ada bakmi goreng, bakso sup dengan sayuran, ayam goreng, lodeh santen kental (dengan terubuk tebu), babai-cin (masak kecap), ayam masak kecap, pindang bandeng, dan lain-lain.

Dari 3 keluarga yang kami datangi, ketiganya sama-sama menyajikan pula tiga menu 'wajib' yang nampaknya ala Cinbeng punya: pare isi (daging cincang ala bakso, mirip siomai), bakciang (keratan kentang + daging + pete masak kecap) dan.... ayam kelowak.

Ayam kelowak atau keluwak, itu memakai bahan rempah yang sama: biji kelowak aka keluwek sebagai bahan rempah utama, seperti yang dipakai untuk masak Rawon (Jatim) dan Gayus, eh Gabus Pucung (Betawi). Sama, berkuah juga, dengan penampakan keruh soklat-tua-kekuningan, hanya saja tidak begitu berminyak seperti pada rawon daging sapi itu, jeh!

Di Singapura, menu ayam keluwak ini sudah dianggap sebagai makanan khas otentik asli Peranakan Singapura - belum lama ini ada satu episode dalam program TV di TLC - Travel & Living Channel yang menampilkan Bobby Chin sang PA-nya ketika dijamu seorang nonyah Singapore masak ayam keluwak, beli biji keluwak-nya di pasar. Mereka gak tahu ajah bahwa sisa-sisa Cinbeng di Cukanggalih sudah sejak berratus tahun lalu memasaknya sebagai menu 'wajib' untuk persembahan Imlekan, dan mereka gak pernah klaim bahwa itu menu otentik khas Cinbeng, jeh!

Juga buah-buahan seperti pisang, rambutan (sesuai musim), jeruk Bali, apel, pear, dan tidak lupa... dodol keranjang yang ditumpuk dari ukuran garis tengah besar sekitar 25 cm, makin mengecil, mengerucut, yang diberi hiasan, ada yang dari kertas warna crepe merah muda, atau dari mote-mote berwarna merah-tua dan merah-muda yang dibuat khusus untuk keperluan itu, membungkus dodol keranjang satu demi satu, setelah disusun akan membentuk piramid bundar dengan puncak berronce, sekilas mirip pohon Natal mini.

Di samping dodol keranjang, juga dodol Tangerang (Ny. Lauw gak mau produk dodolnya disebut dodol Betawi), kuwih muwih yang wajib tentu saja kuwih mangkuk (ada yang memang dicitak pake mangkuk nasi, besar) dan ada yang mestinya sih lebih pas disebut kue cawan aka cup cake kerana dicitak pake cawan (cangkir teh) yang berukuran besar dan kecil. Ukuran ini katanya untuk membedakan persembahan diberikan kepada siapa, tergantung tingkat 'hirarki' leluhur mereka. Gula yang mereka pakai adalah gula Jawa yang warnanya kesoklatan - sehingga warna kue mangkoknya tentu saja soklat, bukan gula pasir yang diberi sumbo (pewarna) pink itu.

Yang punya lumbung padi, menyajikan pula sesajen dalam tampah bambu dengan alas daun pisang, isinya sirih-rokok kretek dan kawung, sekerat dua dodol Tangerang, dodol keranjang dan kue mangkuk kecil, tumpengan nasi mini (ukurannya), dan lauknya kepala dan kaki ayam goreng, juga bakso + sayur-mayur. Digantung di bawah atap sudut kiri lumbung. Ketika ditanya oleh Bung Dipo, mengapa mesti digantung - apakah ada makna khusus untuk itu, jawabnya sederhana saja: lha, kalau ditarok di tanah sih, atuh ya diembat ama ayam dan anjing yang berkeliaran di kebon, euy!

Sincun kionghi, thiamhok thiamsui!


IT'S WORLD TIME: