December 30, 2010

Mau Bersopan-sopan Tapi Justru Menyesatkan?

Ini kasus, eh, cerita lama. Tentang sesuatu yang berhubungan dengan, apalagi kalau bukan........makanan, jeh!

Entah dari mana asal-usulnya, yang jelas banyak (gak tahu berapa, jelas lebih dari 100 - kalau dihitung dari jumlah penjajanya) orang Solo yang doyan makan, sorry, daging anjing. Dimasak dengan gaya Solo-nan: tongseng dan sate, kemudian muncul menu baru; rica-rica ala Manado, bung!

Anda tahu 'kan bahwa anjing adalah the next men's best friend, kata wong Amrik sih. Dan di sana - di negara bagian tertentu, konon kabarnya menyembelih, memasak, menjajakan dan/atau memakan hewan bernama K-9 itu termasuk pelanggaran hukum yang bisa dikenakan hukuman bui.

Jadi, begitulah pula di Solo, nampaknya. Orang masih malu-malu menjajakannya, dan peminatnya masih malu-malu juga menikmatinya. Beda misalnya dengan umumnya orang Manado di Sulawesi sono yang terang-terangan menikmatinya, atau sebagian orang Tapanuli di Sumatera itu.

Wong Solo terkenal halus budi-basanya. Jadi, mereka lantas menawarkan menu berdaging anjing itu dengan sebutan 'Sate & Tongseng Jamu'. Bertahun-tahun mereka merasa lumrah saja dengan kehadiran warten - warung tenda dengan label 'jamu' tsb., suka-tak-suka, mau-tak-mau, mereka bertoleransi menerima kehadirannya.

Mengapa disebut 'jamu' sebagai ganti kata 'anjing'nya?

Gak tahu persis, mungkin karena daging anjing konon katanya bersifat 'hot', jadi dianggap sebagai 'jamu' afrodisiak penambah perkasa kaum lelaki - walau hanya beberapa saat ketika malem-malem dingin sehabis diguyur UDKP - Udan Deres Kekepan Penak?

Yang jelas, ketika masyarakat makin terbuka dan demokratis, sesudah orde bau tumbang akibat repotmasih, maka muncul protes dari sebagian masyarakat yang tidak nge-fans atau nge-like (ada 'fans page' yang disalinnama menjadi 'like page' di FB- Facebook tuh!) dengan pemakaian istilah 'jamu' ini.

Sebab, katanya ada banyak yang 'tersesat' mengira itu bener-bener jamu, sehingga ada yang lantas pengin mencoba keampuhan sang 'jamu' pemerkosa, eh, pemerkasa lelaki, padahal ajaran agamanya tidak membolehkannya menikmati daging hewan tsb. Protes berseliweran di seantero kota, termasuk di FB, twitter, MP - pokokna mah rame pisan, euy!

Sebagai pamong praja yang baik dan bener, lantas bupati(?) menanggapi protes tsb. dengan mengeluarkan peraturan resmi-tak-resmi, agar supaya sudi apalah kiranya para saudagar yang umumnya mayan guren dengan resto tenda K-5 yang menjuwal menu hewan bernama lain K-9 tapi padahal benernya cuma K-4 saja itu, mengganti nama menunya. Dilarang keras menggunakan nama 'jamu' - sebab menyesatkan, juga merusak citra jamu tradisionil sesungguhnya yang lagi naek daun itu.

Apa dong gantinya? Bagaimana kalau...gukguk ajah?

Hehehe.... ada benernya, cukup merujuk langsung ke 'mahluk'nya, sebab memang tu hewan malang biasa diterjemahkan suaranya ke dalam basa Indonesia dengan 'guk-guk-guk' - ingat lagu 'Heli'?

Kupunya anjing kecil, kuberi nama Heli. Heli...guk-guk-guk...

Ya sudah, daripada 'menyesatkan' masyarakat awam dengan nama 'jamu', maka digantilah namanya menjadi 'gukguk'.

Ada gukguk guling?

December 26, 2010

Rame-rame (Nonton) Pertandingan Pake Emosi.

Anti klimaks: 3-0, positip untuk Mal.

Setelah rame-rame eforia kemenangan sesaat lalu, media dan (hampir) semuanya mendukung tim yang dadak jadi seleb. Semuanya pada komen yang bernada yakin sangat sampe terkesan OD, eh, OE - Over Estimate tuh, jeh!

Lalu, bacalah status dan twitter dan media jarsos - jaringan sosial lain malam ini, mestilah komentar-nya sudah bisa anda duga - gak perlu ditebar-luaskan lagi di mari ya.

Saya cuma jadi ingat jaman masih culun di tanah tumpah darah saya di (mana lagi).... Cerebon, euy!

Cerebon is a small city ajah sih. Jadi kalau ada pertandingan tenis, ya palingan juga di lapangan tenis di Pertatean itu. Para jawara tenis nasional, regional atau internasional yang asal Cerebon, mestilah pernah berlatih dan menang di sana - kalau gak menang, tentu saja gak bisa menyandang gelar jawara dwong, dweh, jweh!

Saya pernah diajak nonton tanding tenis di lapangan tenis (tentu) yang the one and only itu. Oleh seorang temen kakak kelas, tetanggaan rumahnya di kawasan Pasar Pagi (lagi). Padahal saya mah waktu kecil cuma seneng maen badminton doang yang lebih merahayat jelata - tenis mah pan maenan para menak elite tuh, jeh!

Asyik nonton, tentu saja mau-tak-mau, suka-tak-suka, anda mestilah terbawa suasana, emosi dan eforia penonton yang ada di lapangan. Melihat ada yang berhasil memasukkan bola, tentu saja saya ikut bersorak. Saya gak memihak sesiapa pun, sebentar yang kanan masuk, saya tepuk tangan. Yang kiri giliran masuk, ya tepuk tangan juga.

Lagi kesenangan ikut bersorak, tiba-tiba saja saya dipoke , di'handuk' (towel), dijawil teman saya - bagus dia juga cowok, kalau saja dia cewek, mungkin saya merasa dilecehkan tuh!

Saya menoleh, dia berbisik: mending meneng bae, aja melu-melu keprok. Maksudnya, sebaiknya saya jangan ikut bersorak.

Mengapa?

Sebab ada yang panas - maksudna ada bandar atau petaruh yang ketar-ketir berdebar-debar menanti hasil akhir. Teman saya kuatir kalau nanti mereka kalah, lantas cari kambing item - bisa-bisa mereka menyasar ke saya.

Tadi saya baca status satu temen saya, Rainsy M. - katanya dia dimaki-maki dan kemudian diblock oleh satu temen kontak-nya di FB - Facebook, gara-gara dia menjagoi lawan main yang ternyata menang malam ini.

Tadi anda pasang taruhan ke pihak mana?

PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

Makan-makan Enak Masa Kecil di Udik - A: Ayam Goreng.

Udik saya tentu saja Cirebon, wong saya lahir dan besar di Cerebon sih, jeh!

Ayam goreng, tentu saja anda kenal dengan baik. Ada banyak rupa dan warna ayam goreng. Ayam goreng favorit kami, anak-anak Cerebon, jaman saya kecil, tentu saja 'Ayam Goreng Bahagia'.

Lokasinya di sekitar Jl. Bahagia, makanya secara gampang disebut saja AGB - Ayam Goreng Bahagia. Karena ada banyak warung penjaja AGB, berjejer di sepotong jalan itu, kayaknya semuanya tanpa nama.

Kami punya favorit, langganan masing-masing, sesuai selera tentu saja. Favorit saya adalah yang ke-5 dari kiri, dan ke-5 dari kanan - hehehe.... benernya mah poho deui, lupa lagi. Karena hampir semuanya terasa sama saja. Lha, ayam goreng bumbu kuning, dengan bumbu yang sama, dan nampaknya mereka masih bersodara semua.

Yang menjadi favroti saya punya sambel cocolannya yang khas (segera ditiru oleh semuanya) yakni sambel uleg yang dikasih terasi, dicampur gerusan kacang tanah agak kasar, baru kemudian ditumis dengan minyak agak banyak. Biasanya kami masih mencampurnya lagi dengan kecap, dan mereknya tentu saja Tjap Matahari atau Oedangsari, dong!

AGB termasuk yang sering kami santap. Apapun acaranya, makan di luar mestilah milih AGB - belum musim 'fried chicken' soal-e.

Saya dan teman-teman lebih suka mendatangi warung AGB pas pagi-pagi benar, sekitar pukul 05:00. Dan, side order favorit saya adalah: jantung goreng. Jantungnya ndak disate macam yang anda biasa temui di warung buryam, tapi dionggokkan begitu saja di piring kecil, lha jantungnya juga kecil-kecil - belum musim ayam broiler yang gede-gede jantungnya dan brutunya, jeh!

Sepiring kecil jantung yang dikumpulkan dari ayam-ayam stock hari itu, dimakan dengan nasi hangat, cocol dulu pake sambel kacangnya, di pagi hari yang dingin, sementara sepotong paha masih menunggu giliran dicubiti dagingnya. Wah..... pokok-na mah itulah kenikmatan dunia pada masa itu dah, euy!

Anda mau nyomot jantungnya?

Marketing - Konsep BBMA - Bagi Balon Mancing Anak.

Kalau ingat promo resto, saya suka ingat ama Mr. Manny - seorang expat yang dikirim dari pusat, California, USA, untuk menangani resto fast food CFC dulu di Jakarta.

Sebagai pemain baru, sesudah KFC dan TFC, kami mengadakan promo, sebagai kegiatan untuk lebih mendekatkan diri dengan konsumen, dengan cara membagi-bagikan balon bertangkai, berlogo dan nama CFC, kepada anak-anak yang datang bersama orangtuanya. Jurus yang efektip, mengingat anak-anak mestilah ditemani orangtuanya, dan umumnya mereka akhirnya makan di tempat juga. Tentu saja anak-anak suka sekali, waktu itu, sekitar tahun 1985-an, belum musim games elektronik, apalagi internet tuh, jeh!

Karena membagikannya pas hari libur dan hari Minggu, Mr. Manny yang mesti keliling mengecek dapur resto - dia memang bagian dapur, merasa repot sekali mesti membagi tugas kepada anak buahnya, sebagian kasir diperbantukan untuk membagikan balon. Padahal pelanggan banyak berdatangan, antri untuk bayar, dan anak-anak mereka pada ribut minta balon-nya.

Mabok dia menghadapi hal itu, antrian jadi panjang, membludak keluar dari area antri di dalam resto, waktu itu baru buka cabang di GMP - Gajah Mada Plaza, yang sekarang tempatnya jadi McD kalau gak salah - atau sudah jadi si TJ tuh? Mengalahkan KFC yang berlokasi di lantai 2 atau 3 GMP juga.

Jadi, pas meeting mingguan, Mr. Manny komplain keras di depan forum, terutama ngadu ke boss bahwa bagian promosi dan marketing - waktu itu saya yang jaga pos itu, bisanya cuma merepotkan saja. Hari Minggu sudah rame pengunjung, ngapain mesti bagi-bagi balon lagi? Merepotkan saja tuh!

Si boss dan saya cuma senyum, kebetulan saya memang koordinasi dengan boss langsung untuk masalah promo. Dengan enteng saya tanya balik: kalau pas sepi, balon-nya mau diberikan kepada siapa?

Mr. Manny mau berdebat lagi, tapi keburu seluruh forum tertawa, sebab analisanya sungguh mencerminkan ketidak-mengertian-nya akan arti promo. Jadi, cep-klakep meneng bae-lah dia, diam sejuta kata seribu basa. Walau tak mengerti basa-nya, dia juga mafhum bahwa mereka semua mentertawakan dirinya atuh, euy!

Belakangan, saya baru tahu - berdasarkan konsep ADD -Analisa Duga-Dugaan.

Ternyata, kebanyakan (tidak semua lho!) expat yang dikirim ke Indonesia, adalah mereka yang baru 'lulus' atau hendak diuji ulang kelaikannya. Banyakan sih mereka lebih memilih mengirim yang masih culun bin blo'on. Sebab yang pinter-pinter sih tentu sayang di'buang' ke Jakarta. Mending juga dimanfaatkan di negara sendiri, mencari profit lebih gede lagi toh?

Lagipula, yang pinter mah mana mau dikirim ke negara entah-berantah di mana lokasinya (di mata mereka) ini. Kalau pun mau, mestilah 'berat di ongkos' - minta fasilitas dan gaji lebih gede, sebagai kompensasi 'dibuang' ke negeri nun sangat jauh di mato 'kan?

Beberapa kali bekerja bagi perusahaan yang mesti menggaji expat, entah Amrik, Oz atau pun Nihon-jin, Filipino, or Singaporean, baru saya bisa menarik kesimpulan asal-asalan berdasarkan konsep ADD ini - perlu studi lebih lanjut, tentunya, kalau mau memperoleh data yang lebih sahih dan bikin feasibility study dalam bidang ini sih ya.

Anda mau sponsorin 'studi banding' macam gini tah?

Nostalgia - Teman Saya Hilang di RRT (3) - Parfum.

Tahun 1966 itu si Imyang mestinya masih umur 15-16 tahun, kelas 3 SMA THHK. Cirebon itu termasuk kota 'udik', kecil - masih ingusan, walau gak dekil. Kalau anda mau ke luar negeri, pilihannya jaman itu atau naik kapal laut, atau naik kapal terbang. Mesti ke Jakarta dulu, yang ada pelabuhan udara dan pelabuhan lautnya yang besar, buat sandar kapal laut besar, jeh!

Nah, buat kami, anak-anak sekitaran Pasar Pagi, Cirebon, Jakarta itu boleh dibilang nun jauh di mato. Gak tahu di mano letaknyo tu, oiiii!

Siapa tah yang mampu ke Jakarta? Ongkosnya masih mahal. Hanya beberapa orang saja yang memang berbisnis mesti kulakan, baru bisa dan mampu pergi ke Jakarta pada jaman itu. Naeknya spoor langsam kelas ekonomi, atau paling juga kereta Gaya baru yang lebih cepat larinya, atau suburban - travel antar kota yang pake mobilnya Chevrolet, travel satu-satunya jaman itu yang melayani trayek Cirebon-Jakarta pp cuma satu: Damai (masih ada sampai sekarang, usaha angkutan saja kalau gak salah).

Jadi, ketika akhirnya sekolah kami, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, ditutup paksa oleh pemerintah orde bau, gedung sekolahnya disita dan dijadikan STON atau STMN - gara-gara masalah politik waktu itu. Papahnya Imyang memutuskan untuk mengirimnya melanjutkan bersekolah, di mana lagi kalau bukan di ......... RRT!

Karena mesti naek pesawat, Imyang mengemas barang bawaannya memakai koper kulit yang besar. Bukan koper kaleng atau rotan seperti yang biasa dibawa mereka yang naek kapal laut. Kami tidak mengadakan pesta perpisahan, belum musim waktu itu. Juga tidak mengantarnya ke Jakarta, berat di ongkos atuh, euy!

Imyang berangkat sendiri ke Jakarta, ada saudaranya yang menunggu di sana dan mengurusnya di bandara Kemayoran. Naek pesawatnya kalau gak salah Thai Airways.

Lama kemudian, barulah kami terima kabar darinya. Via snail-nail par avion yang amplopnya dikasih garis patah-patah warna biru-merah, tentu, belum musim e-mail sih, jeh!

Isi suratnya panjang lebar. Yang saya ingat cuma ini:

"....enak pisan numpak pesawat, gratis mangan-nginum jus jeruk murni asli (biasa kami minum 'jus' encer dalam botol yang dijajakan pedagang keliling). Pramugari-ye ayu-ayu kabeh. Basa Inggris-e blesak (jelek), masak waktu transit ning HK dan nunggu di dalam pesawat, lawang-e dibuka, si pramugari ngomong-e: It's hok outside. Maksud-e sih [hot] tuh. Tapi, parfumnya..... nyegrak (mencolok) pisan, dari jarak 500 meter sajah kecium wanginya tuh!"

Ya. Itu saja yang masih saya ingat.

Sejak itu si Imyang tidak pernah berkirim kabar lagi. Terlebih setelah di RRT muncul demam dahsyat RK - Revolusi Kebudayaan. Komunikasi terputus, kami tak tahu lagi dia mukim di kota mana, sekolah di mana.

Hilang begitu saja, tak berbekas, bagai ditelan bumi yang merekah - bak kubur si Sam Pek yang merekah terbelah - agar si Eng Thay bisa masuk, manjing, larut menjadi satu, berpadu dalam satu liang lahat, sebab kasih mereka tak sampai tuh......

Anda tahu dia ada di mana?

Nostalgia - Teman Saya Hilang di RRT (2) - Mangga.

Masih ingat mangga gedong (gincu) manis yang ada di meja makan rumah Imyang? Yang saya dikasih satu untuk digerogoti sambil menemani dia mandi itu?

Nah, sekali waktu Imyang membual bahwa mangga itu tidak dibelinya dari pasar. Metik di pohon? Bukan. Punya pohon sendiri? Bukan juga. Dikasih sodaranya? Bukan pula. Barter dengan pesawat - kayak barteran ama Thailand dengan beras ketan dulu itu, lho? Tentu saja bukan, jeh!

Jadi, dari mana tuh mangga kalau bukan dibeli?

Kecepatan tangan!

Itu jawabnya. Yang dimaksud kecepatan tangan adalah..... ambil tanpa diketahui penjajanya, jadi gak usah bayar toh?

Ya. Bener. Anda menebak tepat sekali. Dia mencuri mangga dari penjaja di pasar yang los-nya bersebelahan dengan los beras mamahnya.

Saya penasaran. Dia lantas membuktikannya. Saya diajak menyeberang jalan menuju pasar. Sambil jalan menuju los beras yang agak dalam letaknya, kami mesti melwati los buah-buahan, Imyang disapa para penjaja buah-buahan yang los-nya terletak di bagian depan pasar, karena para saudagar buah itu kenal dengan mamahnya.

Sambil menyapa begitu, tangannya menyentuh tumpukan demi tumpukan mangga gedong yang menjulang tinggi, merah-merah, ranum-ranum itu. Tiba di toko beras mamahnya, dia tunjukkan yang ada di tangannya: sebuah mangga merah ranum dan matang.

Benar. Ternyata dia memang punya ilmu kecepatan tangan. Tadi saya perhatikan, dia hanya menyentuh tumpukan mangga di bakul buah besar, cuma menyentuh saja lho. Eh, ternyata ada satu buah yang 'ikut' nempel di genggaman tangannya tuh, euy!

Jadi, si Imyang ternyata pencuri?

Hehehe..... jangan praduga tak bersalah. Benernya sih tu mangga dibeli mamahnya. Setiap kali si Imyang mempraktekkan kebolehannya dengan kecepatan tangan, si pedagang buah akan melapor ke mamahnya, dan menagih pembayarannya. Hanya saja, dia gak tahu bahwa si pedagang itu tahu, begitu pun mamahnya - hanya saja mereka tak mau memberitahu si Imyang.

Mangga gedong gincu itu ukurannya kecil, bisa 'ditilep' dalam genggaman tangan tanpa terlihat. Dengan sedikit latihan, anda bisa juga menirukan cara si Imyang - asal saja anda punya mamah yang jual beras di sebelah los buah. sebab si pedagang buah matanya jeli, gak mungkin terlewatkan olehnya secepat apa pun tangan anda menilep tu dagangannya atuh!

Di samping ukuran buahnya kecil, pelok (biji)nya besar, banyak seratnya pula, mana kulitnya tebal. Paling enak makan mangga gedong itu dibejek-bejek dulu sampai gembur, lalu dilubangi sedikit kulitnya pada bagian ujung, baru kemudian dihisap-hisap jusnya dari lubang kecil itu.

Kayak minum jus langsung dari buahnya ya - jaman itu blender belum ditemukan sih, setidaknya di toko di Cirebon gak ada yang jual tuh. Sesudah jus-nya habis, barulah kulitnya dikupas dan sisa-sisa daging buahnya yang masih menempel di serat-nya yang melekat erat di peloknya itu, digerogoti dan dihisap-hisap....rasanya asam-asam manis-manis dan seger-megerrrr......

Anda mau ikut menggerogoti tah?

December 22, 2010

Selamet Hari Ibu?

22 Desember, diperingati sebagai hari ibu di Indonesia. "Ibu" di sini merujuk ke siapa ya:

(a) ibu-ibu secara umum, mereka yang menjadi ibu bagi anaknya, atau

(b) ibu-ibu secara umum, sesiapa saja yang pantas dipanggil ibu - bisa jadi wanita usia lanjut (walau tak punya anak), atau

(c) ibu kandung anda.

Mungkin anda pernah dengar lelucon yang berbentuk dialog:

(A) Pak, apakabar?

(B) Bapak? Emang saya nikah dengan ibu kamu?

Kita dibiasakan memanggil 'orang lain' dengan 'bapak', sebagai ganti 'tuan' yang dianggap merendahkan, warisan kolonial, dan di rumah, anda biaya juga memanggil 'pak' atau 'bapak' kepada ayah kandung anda. Ibu anda sendiri (mungkin) memanggil 'bapak' kepadanya tuh, jeh!

Untuk perempuan, sebutannya menjadi 'ibu' menggantikan kata 'nyonya' yang juga dianggap warisan kolonial yang merendahkan, dan di rumah juga memanggil 'ibu' kepada ibu kandung anda.

Sekarang, kalau ada 'Hari Ibu' begini, yang dimaksud itu ibu sebagai ibu kandung (mother) atau ibu seperti panggilan kita kepada setiap perempuan dewasa, berumur, secara umum?

Padahal, kalau saja sebutan 'tuan' dan 'nyonya' plus 'nona' untuk yang masih bujangan tetap dipakai, mestinya anda ndak akan rancu lagi ya antara 'ibu' (sebutan) dengan 'ibu' (kandung).

Selamet hari ibu - ibunya siapa?

PS: Gambar di'pinjam' dari MS Office ClipArt media file.

December 12, 2010

Adat (Kuno?) Mengembalikan Rantang, Jeh!

Jaman kemasan kotak makanan berbahan plastik sekali pake belum musim, kalau mau berkirim makanan, kami selalu pakenya rantang aluminium yang bersusun-susun dan bertangkai penjepit itu. Kalau cuma satu, biasanya rantang dibungkus kain lap bersih. Nantinya rantang tsb. akan dikembalikan oleh penerima hantaran.

Dimensi waktunya sekitar tahun 1985-an, kemasan sekali buang kayaknya sudah mulai musim, cuma belum begitu populer sih. Jadi, waktu (alm) sohib saya suka 'langganan' minta masak babai hong, nyonyah saya membawakan serantang terbuat dari stainless steel. Tanpa lap pembungkus, sebab pengait tutup-nya fleksibel, bisa untuk 2 susun atau satu saja.

Nyonyah sohib saya termasuk orang 'kuno', jadi seperti sudah diajarkan oleh orangtua kami dahulu, mengembalikan rantang kosong itu dianggapnya pamali. Jadi, besoknya selalu sohib saya mengembalikan rantang itu ada isinya, jeh!

Isinya tentu saja bermacam-macam, yang sering sih pastel tutup, macaroni schotel dan aneka penganan Londo. Nyonyah sohib saya itu yang biasa dipanggilnya 'aling' itu lho.

Jadi, barter-nya cukup 'fair'. Sohib saya dapat makanan kesukaan-nya jaman sekolah di Taiwan, tapi nyonyahnya gak ikut makan, sementara 'kembalian'nya disukai oleh nyonyah saya tapi saya gak doyan.

Bagaimana adat menerima hantaran sekarang ya?

BT vs BB vs BM.

Di milis sebelah, ada TM (temen milis) yang curhat ttg gaya penjual rumah yang 'mencurigakan' dilanjut oleh TM lain yang merespon ttg broker yang (juga) mencurigakan. Jadi saya akhirnya terpancing buat ikut cuap-cuap nih....

Katanya, dalam dunia perbokeran, eh, perbrokeran, ada istilah BT - Broker Tradisionil, ini istilah yang dibuat oleh para 'property agent' yang pake PT - perseroan terbates, ada (papan) namanya, ada lisensinya, afiliasi ke properti agent nginternasional.

Jadi, semua yang tidak pake afiliasi, apalagi kagak punya PT - rekeningnya jadi pribadi, dianggap BT - coba ya, bete gak sih kalau anda dikasih predikat BT gitu ya? Jadi, kalau gitu, yang punya lisensi bolehlah kita kasih predikat BB - Broker Berlisensi(?).

Apa bedanya?

Yah..... secara prinsipil dan basically sih gak beda-beda amat dalam menjalankan bisnisnya, sama-sama broker oge tuh. Yakni menjadi broker (kalau disebut calo ntar pada marah pula tuh!) aka perantara antara penjual dengan pembeli.

Mana yang baik dan benar?

Tergantung pada cantolannya, eh, pada individu-nya masing-masing ajah sih. Juga tergantung keperawanan, eh, kepercayaan anda ajah. Kan hukumnya sudah jelas:kalau ragu ya just ignore or delete aza, jeh!

Yang BT gak punya PT bisa ajah bekerja dengan profesional, calon penjual dicek dulu surat-suratnya (kalau bodong ya dilupakan) diminta kelengkapan suratnya(IMB, SPJB, dll), dicek harganya ketinggian atau kerendahan, dicek fisik apa bener rumahnya, lokasinya, dll.

Calon pembeli diantar melihat-lihat rumahnya, dikasih tahu plus-minus lokasinya, keadaan rumahnya. Menjadi penengah antara pembeli vs penjual kalau-kalau ada dispute, dua-duanya sama-sama dilindungi kepentingannya. Kalau terjadi transaksi, dibantu urusan notarisnya, bahkan ada juga yang kasih ekstra servis mencarikan bank kalau anda perlu KPR.

Yang BB? Halah, namanya juga manusia, ada yang BB - baik & bener, ada juga yang GBS - gak baik & salah.

Ada BB yang menekan harga yang diminta pembeli, serendah mungkin, lalu kalau ada yang tertarik dan kasih tanda jadi (sudah positip toh), seolah dia yang beli - lantas dijual dengan harga tinggi-tinggi kepada prospeknya - bisa sajah kejadian, walau mungkin umumnya gak begitu ya. Tapi itu dulu, sekarang mah boro-boro mau buntung kalau begitu, bisa-bisa tekor mbayar pajak bulak-balik tuh!

Dari pengalaman saya beli-jual tanah dan rumah, pertama kali beli tanah, broker-nya belerot. Sampai bingung sebenernya tu tanah 'milik' siapa, istilahnya'milik' itu listing pertama pemilik kepada BB yang mana. Lha, akhirnya ada agent yang curhat, dia cuma kebagian sedikit sekali, padahal dia yang 'kenal' saya.

Katanya ada aturan khusus untuk broker berbagi fee (split commission) begitu, tapi, sorry, kalau BT gak masuk itungan, dikasih alakadarnya ajah sudah kudu kamsiah - thank you, euy!

Namanya 'listing' (waktu kita jadi penjual nih) ada ekskulsip dan non eksklusip- maunya BB sih eksklusip (aneh istilahnya: eks = keluar, terbuka, tapi mereka maunya 'tertutup', cuma dia seorang), teorinya sih canggih tenan: katanya nanti diiklankan (di kaca jendela kantornya), juga melalui media (mbayar dhewe), dilisting di buletinnya, tapi lantas bilang juga harganya koq ketinggian, ditakut-takuti bahwa SPJB bikin harga jadi rendah, pajak-nya mesti begini, begitu. Belum bayar PBB - wah... pembeli pasti gak mau dah. Ditunggu sampai 2 tahun gak payu-payu, setiap ditanya cuma bilang harganya kemahalan, sampai saya merasa 'minder' dhewe dan harga terus diturunkan tuh!

Lha, saya akhirnya jual dhewe via BT amatir (bukan profesi-nya) yang kenal ama calon pembeli, semuanya gak ada masalah, harga sesuai permintaan sejak awal. Semuanya bisa diatur, pembeli juga gak cek and ricek surat-surat, cuma cek fisik, akhirnya lancar-lancar ajah. Pembeli lihat, survei, minta second opinion ama anak-anak dan sodara-sodaranya, beres. PBB dan IPL dibayar belakangan, sesudah uang dibayarkan dan pembeli minta masuk rumah.

Sementara sebelumnya para agen BB datang dan pergi silih berganti, bawa'prospek' yang aneka macam: ada yang ngomel-ngomel kenapa tangganya dibikin begini, kenapa kamarnya di sini (aneh, tapi nyata ya?), ada juga yang cuma survei dan diakhiri dengan maksibar (pas jam-nya sih) rame-rame sekampung, ada teteh, bibi, paman, keponakan, ada backpacker kumplit dengan gandengan 'cewek eksotis'nya juga pernah dibawa lihat-lihat, bukannya under estimate ttg kemampuan finasialnya (back packer mau stay mapan - atau cuma mengharap 'test drive'doang?), kesannya koq tu broker asal bawa prospek ajah kejer target visit ya?

Ya sudah. Memang BSD begitu gede lahan-nya, katanya antara 6.000-8.000 hektar, jelas menarik sekali bagi prospek pembeli dan tentu saja para broker properti. Sampai-sampai ada 2-3 pemegang lisensi yang sama di radius seputaran BSD ajah, mereka jadi saling bersaing dhewe - tapi ya, tetep ajah kompak dalam hal komisi atawa fee mah atuh, euy!

Lha, BM itu apa?

O, itu lho, Broker Malu-malu (cenderung malu-maluin), yang ini istilah gawean saya dhewe. Yakni orang yang merasa gengsi jadi BT, jadi ngaku-nya pembeli biasa, gak mau anda tahu kalau do'i tuh BT, padahal mah dia teh BTP - broker tulen profesional sangat - nyari untung-na teh gede pisan, jeh!

Caranya, ya itu tadi, dia cari prospek serius, lalu bertindak serius jadi prospek pembeli ke anda, bawa orang sekampung sebagai alibi bahwa dia orang bener-bener seurius (nanti saling bilang, seolah sudah positip mau mbayar tanda jadi), datangnya deket-deket jam makan siang ajah, mayan kalau yang punya rumah ngajak maksibar toh?

Yah begitulah namanya bisnis, her name is also effort sih ya?

December 10, 2010

Hura-hura Nasional 98 (2) - Keberuntungan Pemula?

Masih lanjut cerita ttg ronda kampung ketika masih musim hura-hura nasional 1998 dulu itu. Menunggu subuh bakal bosyen-mosyen kalau cuma ngobrol dan ngupi dengan jaburan doang sih ya. Jadi kami pun iseng main kartu, dengan taruhan kecil-kecilan doang.

Mulanya saya cuma jadi penonton pasip, gak ngerti cara main-nya soal-e. Lama-kelamaan, saya jadi terpaksa 'belajar' dan ikutan main, sebab saya jadi mengerti caranya sih, jeh!

Permainan yang populer waktu itu adalah 'sam-gong', jelas ini istilah adaptasi dari dialek Hok-kian. Sam = tiga, gong (mungkin dari 'kong') = nol. Samgong = 30.

Cara mainnya gampang, kita pasang taruhan, bandar membagikan kartu remi yang dikocok dari 1 atau 2 set, tergantung jumlah pesertanya ajah. Masing-masing peserta, termasuk bandar mendapat 3 lembar kartu. Lalu kita lihat jumlah nilai kartu yang kita peroleh. Targetnya mencapai nilai 30. Kalau kurang, boleh minta tambah kartu. Tapi kalau lebih, dianggap void dan kalah. Lawannya tentu saja sang bandar.

Kalau anda beruntung, anda mendapat kartu raja 3 lembar sekaligus, tapi mungkin saja bandar juga memperoleh nilai 30, maka anda akan kalah. Lebih beruntung lagi kalau anda memperoleh 3 kartu pertama dengan nilai kecil, as, 2, 3, dan kalau anda meminta tambahan kartu, mendapat nilai kecil-kecil lagi, sampai anda memperoleh 10(?) lembar kartu dengan total nilai di bawah 30, maka anda menang - mengalahkan bandar yang mencapai nilai 30. Asal bandar tidak memperoleh nilai kecil dengan jumlah kartu yang sama.

Yang menang bergiliran jadi bandar, jadi ndak ada bandar tetap. Celakanya, karena saya menang terus, akhirnya saya lebih sering jadi bandar (hampir) tetap. Mungkin saja ini keberuntungan pemula ya?

Hasil kemenangan biasanya ludes lagi sih, sebab begitu subuh tiba, langsung kami ramai-ramai mencegat tukang lontong sayur yang lewat, sampai-sampai ada satu tukang lonsay yang mangkal dekat pos menunggu kami bubar.

Yang traktir? Siapa lagi kalau bukan pemenangnya dong.

December 07, 2010

Sotoi Soal Smoking Di Bioskop.

Baca cerita mBak Arie di sini. Tentang smoking di tempat umum, yang benernya sih sudah ada aturannya, tapi ya begitulah - katanya aturan dibuat untuk dilanggar toh, jeh!

Eh, saya jadi ingat pengalaman 'sotoi' (so tahu) saya ketika jadi turis kere di HK back in the year of 1991-1992. Lupa lagi persisnya. Tapi ingat persis ceritanya.

Saya pergi sendiri, dalam rangka 'tugas' kantor nyari sample barang-barang souvenir untuk promosi. Itu resminya, padahal mah cuma sekedar bonus jalan-jalan (MICE) kerana saya berhasil menggoalkan proposal budget iklan Rp 1 M (jaman US$ masih sekitar Rp 2.000-an ajah, kurs resmi jadi US$ 500.000 - nilai sekarang jadi Rp 4,5 M tuh!) untuk satu merek produk susu formula.

Jadi, karena iseng gak tahu mesti ngapain, malam hari saya nonton bioskop entah apa namanya yang lokasinya di pengkolan satu jalan di area Causeway Bay, di seberang Sogo (saya nginap di apartemen di atas Sogo), ada mini market di bawahnya, saya beli cemilan dan karcis, minta duduk di balkon - loteng.

Pas lampu dimatikan, pas saya duduk di barisan depan, eh, ada bule di belakang saya yang baru datang duduk langsung kebal-kebul menghembuskan napas terakhir, eh, asap rokok. Dia enak ajah smoking di ruang tertutup. padahal setahu saya ruang publik, apalagi tertutup mestinya dilarang merokok, tuh!

Jadi, saya so-toi menoleh ke arah si bule, saya bilang: Excuse me, can you stop smoking? Si bulenya mendekatkan kepalanya ke muka saya, lalu bilang: Sorry, but this balcony room is for smoking area, sambil menunjuk ke signage kecil menyala di tembok.

Hehehe..... giliran saya yang tengsin-nya bukan alang kepalang. Sambil nyengir, saya cuma bisa bilang: Ooops, Sorry.

Sorry, sorry.... sorry, Jack.....

PS: Foto diambil dari MS Office ClipArt media file.

November 20, 2010

Sapa (Suruh) Mau Jadi Babu?

DISCLAIMER: Walau mungkin posting saya kali ini 'berbeda', saya sih teuteup ikut prihatin kalau mendengar kabar buruk ttg nasib TKI yang merantau di tanah orang, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, bahkan dibunuh!



Jangan esmosi dan marah dulu, kalau sudah kadung baca judul, baca juga isinya ya.

Karena sudah sering terjadi, mestinya sih, secara teori komunikasi massa ini bukan berita (menarik) lagi - hampir bisa dikatakan berita basi, saking berulang-ulang terjadi lagi, dan lagi.....

Berita di media (lagi-lagi) yang sedang menghangat adalah perlakuan buruk yang diterima TKI di manca negara, kali ini di Arab Saudi(?), setelah beberapa waktu lalu terjadi juga di Malaysia dan Singapura.

Bahkan RI-1 dan RI-2,
Jumat siang, kabarnya sampai-sampai mendadak menggelar rapat kabinet terbatas bersama para menteri koordinator membahas permasalahan TKI di Kantor RI-1 kita tercinta. Baca beritanya di sini. Yang gak terdengar berita buruknya kayaknya baru di Hongkong dan Macau - kabarnya cukup banyak juga TKI di sana tuh, jeh!

Kalau menyebut TKI, biasanya bayangan kita mestilah ke... sorry, apalagi kalau bukan......... babu!

Anda boleh protes bahwa sebutan itu kasar, karena banyak pakar ahli bahasa sudah memberi kata pengganti yang dibuat halusinasi (penghalusan) yang nampaknya cuma sebatas angan-angan halusinansi - bayangan dalam pikiran saja: pramusiwi, pembantu rumah tangga, asisten rumah tangga dan entah basa canggih apa lagi yang beredar diam-diam dan memaksakan kehendak untuk supaya harus kudu mesti diterima!

Tapi, tetap saja mereka diperlakukan sebagaimana nenek moyang mereka dulu: babu!

Karena hanyalah cuma sekedar babu, sudah kadung konotasinya bak budak belian, maka sudahlah menjadi suratan nasib mereka (boleh?) diperlakukan semena-mena oleh majikannya.

Majikannya?

Ya. Karena mereka adalah babu, maka mereka sudah diperlakukan bagai budak belian, sapi perahan sejak awal mereka hendak mendaftarkan diri. Kabarnya, mereka mesti bayar sejumlah uang yang besar, kepada para 'calo'nya untuk mendapatkan posisi 'basah' dalam arti harafiah di dapur dan tempat cuci baju. Calo yang partikelir, tanpa nama, punya jaringan mayan canggih, atau pun resmi mengantungi ijin resmi dari pemerintah.

Lihat saja perlakuan petugas yang terkait dalam hal perbabuan ini, baik babu domestik maupun babu terbang. Mulai dari cara jemput bola perantara yang mendatangi rumah-rumah di kampung dan desa nun jauh di udik sono - dengan iming-iming janji yang muluk-muluk, lalu mengirim mereka bak paket titipan kargo, menampung mereka di 'gudang' penampungan, memotong upah mereka sebagai 'ganti transpor' dan akomodasi sebelum mendapatkan majikan. Belum lagi pungutan resmi-tak-resmi di bandara, penjemput 'resmi' berdiploma, yang memotong habis-habisan upah mereka yang ditabung di luar negeri.

Nah, kalau 'saudara' setanah air saja sudah begitu teganya memperlakukan mereka sebagai babu ala budak belian dan sapi perahan, jangan heran kalau para majikannya meneladani sikap mereka toh?

Belum lagi, kebanyakan babu itu rela mandah mau jadi babu karena terpaksa, tekanan himpitan ekonomi, jadi lebih sering tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk menjadi babu profesional. Mana ada sih orang yang ketika kecil ditanya cita-citanya mau jadi apa - jawabnya jadi babu toh? Belum lagi bicara ttg kesiapan mental mereka untuk bekerja di tanah rantau nun di seberang lautan.

Majikan yang kesal, sudah membayar mahal untuk mendapatkan babu, membayangkan mendapat babu yang terampil, meringankan pekerjaan rumah tangga, ternyata jauh panggang dari api - tentu saja membuat mereka kecewa berat. Salah sendiri, kenapa juga mengharap ya?

Jangan mengharap semua majikan bersikap santun, mengembalikan babu salah kirim secara baik-baik dan write off biaya yang sudah dikeluarkan.
Namanya orang kecewa, tentu saja sikapnya berbeda-beda namun satu tujuan jua: membebaskan rasa dongkolnya!

Belum lagi kalau menghadapi babu yang suka berpanjang tangan, entah cuma sekedar ikut menyomot makanan atau barang berharga yang tergeletak di meja - karena memang belum disiapkan secara mentalnya. Dan, sorry, mungkin saja ada juga babu yang termakan cerita dongeng cinderella berharap 'naik ranjang' jadi menantu atau pun ratu, jadi lantas mengeluarkan jurus memikat anak sang majikan, atau bahkan majikannya sendiri?

Kita semua cuma mendapat cerita dari satu sisi, tanpa bisa mendapatkan cerita versi para majikan toh?

Kalau saja anda mau merenung sejenak, membandingkan dengan keadaan 'babu' di rumah anda masing-masing, mestilah anda akan berpikir seperti saya juga: tidak semua babu itu bak malaikat yang ideal toh?

Buat media, berita babu dianiaya, tewas, dilecehkan, diperkosa, diseterika, gantung diri, mestinya jauh lebih 'menjual' (iklan maupun medianya sendiri) daripada cerita sukses beberapa babu di Hongkong atau Macau karena mereka membekali diri dengan keterampilan yang cukup dan pendidikan yang memadai dan sikap mental yang profesional - ada banyak yang punya akun MP dan blog tuh, jeh!

Mestinya, kalau memang jadi babu di negeri orang tidak enak, ya jangan ekspor babu atuh, euy! TKI itu 'kan kepanjangannya Tenaga Kerja Indonesia, emang yang dimaksud tenaga kerja itu cuma babu doang tah?

Jadi, sapa suruh datang Jakarta, eh, mau jadi babu ya?









PS: gambar dipinjam dari MS Office ClipArt media file.

November 17, 2010

Ibu Yang Bijak vs Ibu Yang Cerdas?

Jaman orang masih milih mantu dengan syarat mesti bisa macak (dandan), masak dan njahit, mesin jahit masih engkol tangan, kemudian beralih ke tenaga kaki (ada pedal di bagian bawah yang dialasi lempengan besi untuk tarok kaki) dan motor, mesin jahit mayan populer di kalangan ibu-ibu Indonesia.

Satu produsen mesin jahit merek terkenal berjudul 'penyanyi' (basa Inggris) - agak aneh juga sih: apa hubungannya antara 'penyanyi dengan mesin jahit tuh, kalau gak salah pernah bertahun-tahun menggunakan tag line iklan-nya berbunyi: Ibu Yang Bijaksana Pasti Memilih Mesin Ini, jeh!

Lalu, karena dirasa memang bagus dan tepat sasaran sekali, tag line iklan itu banyak dijadikan teladan dan ditiru dengan versi berbeda-beda, namun satu tujuan jua: Ibu Yang Bijak Pilih Merek Ini - banyak sekali produk konsumtip yang terutama menyasar ibu-ibu memakai tag line ini, termasuk detergent top waktu itu.

Sekarang, muncul tagline baru, dengan menyasar khalayak pasar (target market) yang sama - para ibu nan bijak bestari itu, dengan sebutan yang lebih moderen dan trendy lagi: Ibu Yang Cerdik atau Ibu Yang Cerdas -
terjemahan langsung untuk 'smart', jadi 'cerdik' atau 'cerdas' - padahal dulu mah cuma sang kancil dalam dongeng doang yang cerdik cendekia ya?

Jadi, kalau anda adalah 'ibu yang cerdik', smart mother, atau orangtua cerdas - smart parents, entah memang (merasa) smart atau ingin disebut smart, maka sebaiknyalah anda mengikuti 'arahan' para produsen yang beriklan dengan memakai tagline begitu. Belilah produk merek mereka itu ya. Termasuk kampanye penggunaan, eh, pemakaian produk swasembada - ASI. Sebab katanya cuma smart mother yang mau menyusui sendiri anak-anaknya, gak mau mengandalkan pada 'tin mother' aka ibu kaleng aka sufor - susu formula. Kalau anda tidak ikutan trend ini, maka anda bukanlah ibu yang smart tuh,jeh!

Mau-kah anda disebut 'ndak smart' gitu?

Hehehe...... memang bener-bener hebat tu tag line buatan copywriter aka penulis naskah ya, sebenernyalah mereka itulah yang bener-bener smart!

Pengaruhnya begitu dominan kepada para ibu kita. Sehingga banyak juga ibu kita yang yah..... manut ajah, mandah mau dipengaruhi iklan mereka. Sampai-sampai ada juga ibu-ibu yang merasa begitu inferior, minder, kalau gak memakai produk merek tsb. dan takut dianggap 'tidak bijaksana', 'tidak cerdik', 'tidak cerdas' sesuai trend di kalangan ibu-ibu di lingkungan mereka - entah di sekolah, arisan RT/RW, kantor atau di mana saja......

Jadi, anda termasuk mana: smart mother or wise guy, eh, wise mother nih?








PS-1: Gambar dipinjam dari MS Office ClipArt media file.
PS-2: Ini bonus cerita ttg "Ibu Yang Bijaksana".

November 10, 2010

Burung Aneh.

sudah sebulan ini kalau malem ada burung 'culik-culik...' yang selalu bersuara terus sepanjang malam sampai pagi, katanya itu pertanda kurang baik.

Tadi pulang sore sekitar pukul 15:00-an, di ujung jalan masuk ke rumah, pas di sudut (hoek) itu rumah seorang tokoh senior ramai sekali, ada ambulans segala - sementara di ujung jalan besar dekat Hero kayaknya ada bendera kuning.

Tapi, koq gak ada beritanya ya di media?

November 05, 2010

Sayang Perut or Sayang Makanan?

Orangtua jaman dulu, suka bilang jangan boros dan men-sia-sia-kan makanan di piring, khususnya nasi. Juga hargai petani yang sudah bersusah payah menanam padi untuk dibuat jadi beras dan kemudian jadi nasi bagi kita. Yang pada intinta sih, kalau sudah tarok nasi + lauk-pauk di piring anda, anda mestilah menghabiskan makanan tsb., tak bersisa, walau sekedar cuma hanyalah sebutir doang nasinya, jeh!

Mungkin anda pernah dengar juga bahwa sang nasi akan menangis kalau anda tidak habiskan mereka yang sudah terlanjur anda tarok di piring - ini juga trik orangtua untuk membiasakan kita menghabiskan makanan yang sudah ada di piring kita.

Benarkah 'prinsip' orangtua kita begitu?

Ada benernya. Karena anjuran seperti itu mendidik kita untuk tidak boros, tidak membuat sesuatu sia-sia. Kalau memang tidak bisa menghabiskan sepiring munjung nasi-nya, ya sejak semulajadi jangan ambil banyak-banyak nasi-nya dong ya.

Bagaimana kalau sudah terlanjur ada di piring? Ya, jangan dipaksakan atuh, euy!

Saya baru sadar akan hal ini, ketika pernah suatu kali anak saya yang perempuan bilang: sayang perut atau sayang nasi, ketika dia ditegur soal nasinya yang masih bersisa di piring ketika kami makan di satu resto - biasanya nasi sudah ditarok seporsi, bukan atas permintaan kita.

Benar. Kalau sudah 'kenyang', tentu tidak apa-apa kita menyisakan makanan - dengan sangat terpaksa. Daripada asupan makanan tsb menjadi 'ganjelan' bagi tubuh kita, perut kita. Mestinya lebih sayang perut (dan tubuh) kita dari sesuap dua nasi yang tidak lagi bisa kita habiskan toh?

Lagipula, terlalu banyak karbohidrat (kandungan utama nasi) ternyata sekarang terbukti tak biuk juga bagi tubuh kita. Terlebih lagi bagi para diabetasi aka penyandang diabetes.

Dan, kemudian lagi, diet sehat bagi sesiapa saja katanya juga menganjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat - tidak melulu nasi, tapi juga sumber karbohidrat lain seperti roti tawar putih, ubi-ubian dengan GI (Glicemic Index) tinggi, juga... gula!


Akan halnya bagi para diabetasi, ada juga yang lantas begitu 'phobia'nya ama karbohidrat, tapi tidak bisa makan tanpa nasi, sampai-sampai memaksakan diri berdiet makan nasi dengan aneka nasi yang susah dicari - beras basmati, misalnya.

Sebenernya sih, para diabetasi itu tetap saja memerlukan karbohidrat untuk tubuhnya. Hanya saja, karena ada 'gangguan teknis' yang menyebabkan tubuhnya tidak bisa mengontrol kadar gula darah, maka mesti dibantu dengan cara mengontrol asupan karbohidrat-nya. Bukan berarti lantas tidak makan nasi sama sekali, toh bisa saja anda makan lontong, ketupat sebagai gantinya - eh, sama ajah ya?

So, mari sayangi perut dan makanan kita, jeh!

November 02, 2010

Nostalgila - Menikmati Merapi Ketemu Kuncen(?)

Merapi meledug (lagi), wedhus gembel-nya kali ini makan kurban (lagi), bahkan kuncen-nya ikut di'kurban'kan. Peringatan dari petugas bagian pemantau gunung berapi nampaknya 'kalah wibawa' dibanding arahan sang kuncen, jadi kurban jiwa tak terelakkan lagi.

Relatip jumlah kurban-nya sih 'kecil' (36 jiwa) dibanding kurban tsunami di Mentawai (250-an), tapi, jiwa manusia bukanlah cuma sekedar angka toh? Belum lagi 250-an sapi perah yang konon kreditnya belum lunas ikut jadi kurban sia-sia, dan 3.000 ekor lagi menunggu ajal karena tidak ada makanan di atas sana.


Saya ndak tahu persis, apakah memang penduduk sudah mengabaikan peringatan dini dari pengawas (apa sih nama resminya ya?) yang rutin memantau dan sudah kasih kode: waspada, siaga, awas - disesuaikan dengan tingkat bahayanya, atau mereka tidak memahami maksud kode-kode tsb., atau memang mereka lebih manut dan percaya kepada sang kuncen?

Pokoknya, kalau sang kuncen masih bertahan di deket puncak-nya, dianggapnya aman-aman saja, sang Merapi tidak akan 'memakan' anak-anaknya sendiri, walau 'batuk-batuk'nya makin kenceng dan keras bergemuruh suaranya, diiringi uap panas yang dilunakkan oleh sebutan 'wedhus gembel' yang terkesang jinak-jinak merpati sangat. Coba ajah, wedhus = domba tak berdosa, tak ganas dan cumalah herbivora, dibanding macan lapar, misalnya, jeh!

Jangan-jangan, pemakaian bahasa yang dibuat halusinasi (perhalusan) itulah yang bikin 'misleading' penduduk, mereka merasa akrab dan dekat dengan sang Merapi - sang gunung cuma 'batuk'batuk' dan mengeluarkan 'wedhus gembe' yang tidak berbahaya samsek, sehingga ndak mungkin Merapi mau dan rela dan tega 'memakan' mereka dong!

Saya jadi ingat jaman kuliah dulu.

Pernah saya diajak bolos oleh 'dosen' boso Jowo saya. Di suatu pagi yang cerah, udara mayan sejuk di musim hujan yang masih teratur dulu itu, saya diajak naek angkutan bus ke Kaliurang, lalu diajak terus jalan menuju lereng Merapi.

Sambil jalan, sambil belajar boso Jowo. Jalan-jalan terus, ditimpa udara yang makin sejuk, ndak terasa tibalah kami di 'pelawangan' (dalam bsa urang Sunda: pengilon) - tempat di deket puncak Merapi untuk memandang ke arah puncaknya. Deket-nya tentu saja relatip, dibanding dengan jarak Jakarta-Yogyakarta, tentu saja 'spot' pelawangan itu sudah deket atuh, euy!

Tempat itu agak terbuka, mengarah langsung ke puncak gunung. Ada pepohonan cukup rimbun untuk kami duduk-duduk berteduh, sambil belajar bareng dan maksibar tentu, walau jaman itu belum musim istilah 'maksibar' (makan siang bareng), tapi ya pas jam makan siang, pas kami laper, ya makan siang bareng - bekel nasi gudeg bungkus godong gedang yang dibawa dari bawah.

Waktu asyik-asyiknya kami maksibar, nasi gudeg pake gending ayam dan telur pindang dan sambel goreng krecek - dengan cengek layu termasak warna merah-kuning-ijo yang gemuk, di bawah rerimbunan pohon, deket semak-semak di tepi jurang yang cukup landai, sunyi-sepi ditemani semilirnya angin gunung yang sejuk, cuma kami berdua saja, tiba-tiba saja, tanpa kami ketahui dari mana datangnya, muncullah seorang kakek tua (tentu, mana ada kakek muda toh?) yang agak kurus, berpeci, ning masih cukup sehat dan gagah jalannya, menyapa kami, dalam boso Jowo, tentu!

Dosen saya yang asli Yogya lantas berboso Jowo yang halus dengan sang kakek, entah apa yang dibicarakan. Yang jelas, rupanya dosen saya menawarkan maksibar - jadilah 2 porsi gudeg kami makan bertiga.

Selesai makan dan minum (bawa botol air, belum musim ADK - Air Dalam Kemasan), sang kakek pamit untuk meneruskan 'tugas'nya, katanya. Dan, seperti juga waktu datangnya tidak diketahui dari mana, begitu pun ketika beliau berlalu - begitu saja ndak tahu ke arah mana. Menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa suara.

Dosen saya bilang, beliau adalah 'penjaga' atawa sang kuncen gunung tsb. Saya ndak tahu persis siapa nama beliau, sebab dosen saya juga belum sempat bertanya, dan beliau makan cuma sekepal dua saja nasi gudeg yang kami berikan.

Baguslah waktu itu sang Merapi ndak sedang batuk-batuk ya?

October 25, 2010

Banjir Di Mana-mana Nih Ya?

Harini rencana mesti ke BSD, ngurus IMB untuk rumah baru. Berangkat dari rumah sesudah maksibar nyonyah dan babeh (mertua), lauknya bebek masak sawi asin, improvisasi nyonyah karena punya bebek panggang separuh belum dimakan-makan. Lalu ketak-ketik FB dan MP, sudah lewat pukul 13:00 - mendung mulai tebal.

Masuk tol Bintaro-BSD jalan mayan lancar, sebelumnya cuma tersendat di depan Gancit - Gandaria City. Lancar di tol, selepas GT Pondok Ranji, hujan mulai turun, langsung cukup deras. Sampai BSD hujan deras sekali, lalu berhenti menjadi rintik-rintik, waktu menunjukkan sekitar pukul 14:00-an. Mampir di pompa bensin deket pusat onderdil - cluster Puspita Loka, pelatarannya sudah tergenang air tempiasan, si mbak yang melayani bilang saya gak usah turun dari mobil. Saya tanya apakah hujan selalu yurun tiap hari, dia bilang iya, pagi sampai siang cuaca cerah, menjelang sore selepas makan siang mesti turun hujan.

Cilaka dah, kalau hujan turun terus, bagaimana saya bisa mulai bangun rumahnya ya?

Menuju kantor Property Management, hujan deras turun lagi. Langsung ketemu petugasnya, hujan turun dan berhenti tiap sebentar. Saya diberi pengantar untuk bayar ke loket untuk pembayaran deposit dan biaya IMB.

Sekitar pukul 16:00 selesai sudah saya bayar. Mampir ke ITC BSD, ke BCA untuk transfer dari rekening tabungan ke rekening koran, tadi bayar IMB pakai giro, hujan deras dan merintik silih berganti masih lanjut, angin cukup kencang bertiup.

Lalu saya naek ke lantai tiga isi pulsa HP, dan lanjut ganjel perut yang kelaperan kena hawa dingin di Bakso Lapangan Tembak - isi perut dengan semangkuk Bakso Campur. Semangkuk isi 3 bakso dan 1 tahu + sejumput mie + bihun, harganya 15.000 + 10%, gak mau pesen air - toh sudah ada kuah baksonya ya.

Selesai makan, saya baru ingat tadi nyonyah pesan saya beli air di kawasan ruko Golden Viena arah ke Taman Tekno. Dari ITC BSD ke arah Teko - Teras Kota masih lancar, hujan merintik terus. Tapi selepas jembatan di atas tol, saya terjebak macet pamer - padat merayap. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:45 - padahal tukang air langganan tutup pada pukul 17:00

Pas sekali saya tiba di tukang air, mereka baru saja mau tutup. Selesai isi, lalin di jalan raya masih macet sekali. Si engkoh-nya anjurkan saya lewat pintu tol yang dekat The Green, karena jalan di depan sekolah Stella Marris sudah tergenang air. ya sudah, saya ikut antrian yang hendak memotong jalan kemacetan jalan raya, ikut taksi yang searah.

Baguslah tak lama banyak motor yang memotong antrian di jalan raya, taksinya masuk, saya pun menempel terus di belakangnya. Lancar jaya masuk tol. gerimis mulai turun lagi....

Tiba di dekat KM 8, tiba-tiba jalan agak tersendat.

Ternyata di KM 8 mulai ada genangan air. Ada satu-dua mobil yang mogok sedang dibantu petugas tol diperbaiki. Air genangan masih sekitar mata kaki - gak diukur sih benernya, jeh!

Sampai GT Pondok Ranji, bayar dan keluar tol, lancar jaya, hujan turun deras dan rintik terus, keluar tol, tumben di Jalan Veteran, arah ke Tanah Kusir lengang, biasanya sore-sore begitu macet sehingga kita dipaksa belok kanan arah Haji Muhi.

Selepas kuburan Tanah Kusir, jalan diarahkan ke kiri, biasanya saya langsung bablas lewat jalan tikus, ketemu Jl. Ciputat Raya lagi, menghindari memutar lewat Bendi. Tadi ada mobil yang mundur balik lagi karena katanya di turunan jalan sudah tergenang air, ya sudah, akhirnya saya balik kanan jalan memutar lewat Bendi.

Ciputat Raya menuju Pasar Kebayuran Lama cukup lancar, tersendat menjelang Binus, hujan masih turun deras juga. Selepas Pertamina Learning Center, saya mampir di tukang pisang barangan - favorit mertua, beli pisang sesisir pilih yang matang 2-3 hari, lanjut jalan lagi menuju rumah - hujan masih merintik, makin kecil.

Sampai lampu merah ITC Permata Hijau, agak macet di jalan menuju Hero di ruko Permata hijau, lalu lancar jaya sampai di rumah - agak dekat pos, ada air genangan sekitar 10 cm., hansip-nya bilang memang kalau hujan mesti ada genangan air sebentar.

Sampai di rumah, sekitar pukul 18:00-an.

Lihat berita di TV, Kuningan dan jalan tol dalam kota macet di mana-mana. Adik nyonyah yang baru masuk tol BSD-Bintaro juga terjebak di dalam tol, karena banjir di KM 8 Pondok Ranji yang tadi saya lewati masih sekitar 10 cm, sudah naik 10 kali lipatnya. Macey cet tidak bisa jalan, akhirnya dia balik kanan menuju BSD, baru tiba di BSD lagi sekitar pukul 21:30 dan dia ndak bisa pulang ke KL, terpaksa numpang menginap di rumah temannya di BSD tuh.

Baca di milis, ternyata memang banjir di mana-mana di Jakarta, macet di mana-mana.

Saya masih bersyukur bisa sampai rumah tanpa terjebak macet. barusan listrik padam mulai 20:30 sampai 21:30-an, dibandingkan yang terjebak macet - tidak ada artinya pemadaman yang cuma sekitar 60 menit itu.

Bagaimana dengan anda?





PS: Barusan dapat kabar, katanya Padang dilanda gempa 7,2 SR.

October 24, 2010

REPOST: Case Study - Salah Baca, Salah Mengerti atau Buru-buru Asal Njeplak?

Hehehe..... ini kasus unik, sebelumnya saya sudah ngepost 'case study' yang satu ini, tapi tiba-tiba saja menghilang dari peredaran ketika ada beberapa respon yang sedang saya jawab. Di inbox masih ada terbaca judulnya, tapai gak bisa diakses: kalau diakses, mesin-nya bilang NOT FOUND. Di daftar blog entry di 'rumah' saya juga gak ada jejaknya, menghilang begitu saja.

Unik sekali ya?

Sorry, saya repost di bawah ini ajah ya:




Ceritanya ada satu temen MP yang ngeluh di blog MP-nya soal ibu-ibu yang merasa 'hebat' - merasa lebih baik dari ibu-ibu lain, semata karena mereka (yang merasa hebat) bisa memberikan ASI Eksklusip kepada anak-anak aka bayi-bayi mereka. Dan, memandang rendah mereka yang tidak (mau dan tidak bisa) memberikan ASI kepada bayi-bayinya.

Jadi, saya kasih komentar begini (bahan-bahan hasil saya baca-baca di i-net):

Saya gak pernah kasih ASI ke anak-anak saya, lha, jelas sekali dan gamblang: saya bukan ibu-nya anak-anak saya sih, jeh! ;D)

Tapi, kalau gak salah, secara alami semua mahluk yang menyusui (termasuk manusia dan hewan) akan secara alami memproduksi ASI buat anak-anaknya begitu mereka melahirkan anak-anaknya. Dan, katanya lagi, kalau tidak bisa (bukan tidak mau) memproduksi ASI (lagi), berarti memang tidak diperlukan lagi ASI bagi anak-anaknya ya?

Itu yang kalau gak salah disebut sebagai 'menyapih' anak-anaknya.

Dan, katanya sih mulainya masa menyapih (tidak perlu diberi ASI lagi) itu tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya - sangat individuil dan unik, tidak ada batasan anak disusui mesti sekian bulan, sekian tahun - yang 'menyesatkan' itu konsep ASI EKSKLUSIP yang katanya mesti minimal 12 bulan, padahal tiap pribadi ibu itu unik, tidak bisa disamaratakan semuanya mesti menyusui anak-anaknya selama 12 bulan. Perhatikan hewan menyusui anak-anaknya juga akan berhenti pada masanya, anak-anaknya akan di'usir' kalau masih saja terus minta menyusu kepada induknya.

Satu lagi salah kaprah: anak mesti dikasih susu sapi sebagai tambahan (baik segar maupun kalengan - bubuk), susu sapi memang sangat baik bagi anak-anak..... sapi! Anak orang ya gak usah dikasih susu sapi. Banyak yang pikirannya sudah dirasuki kampanye produsen susu sapi yang tentu saja selalu menganjurkan orang mengkonsumsi produknya - dari situlah mereka mendapat keuntungan besar.

Perhatikan: susu sapi dipacu lebih banyak diproduksi oleh 'pabrik'nya - induk sapi, dengan cara diberi hormon pertumbuhan tambahan, akibatnya, hormon tsb ikut larut dalam air susu sapi, yang kemudian masuk ke dalam tubuh anak-anak orang. Akibatnya, anak-anak orang jadi dipacu juga pertumbuhannya oleh hormon pertumbuhan yang diberikan kepada ibu, eh, induk sapi.

Makanya jangan heran kalau anak-anak manusia yang perempuan dan lelaki pada keluar tetek-nya pada umur yang relatip masih muda, sekitar 10 tahunan - coba cek ajah sendiri ya.

Yang dicari dari susu sapi untuk anak-anak itu apa? Kalsium dan protein dan lemak? Semuanya bisa diperoleh dari bahan makanan lain. Kalsium banyak juga terdapat di dalam kekacangan dan sesayuran, lemak dan protein juga bisa dicari di makanan lain. Sila cari sendiri ajah di i-net ya.

Sorry. Jadi panjang kayak posting sendiri ajah, jeh!

Lalu, ada seseorang entah siapa (ada nama tanpa headshot) yang kasih komentar sesudah komentar saya, entah ditujukan kepada siapa dia kasih komentarnya, saya ndak begitu yakin apakah itu ditujukan kepada komentar saya atau bukan.

Isinya begini:

pak.... maksudnya apa ya....???? yang jelas yg bisa ngerasain cuma para ibu....n saya yakin sekali para ibu di sini berarti yg udah usaha banget, tapi gak bisa....soalnya kalo gak usaha, pasti mereka ga pada sedih.....so....jangan disalahin lagi n diomongin lagi ya....

Pertanyaannya: coba anda baca komentar saya di atas, lalu anda simak, apakah ada nada ofensip kepada para ibu yang tidak bisa menyusui di dalam komentar saya, sehingga komentar seseorang itu (kalau benar ditujukan kepada komentar saya) sepertinya menganggap saya sudah ofensip kepada mereka.

Sila kasih komentar ya!

Terima kasih.





PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt Media file.

REPOST: Case Study - Salah Baca, Salah Mengerti atau Buru-buru Asal Njeplak?

Hehehe..... ini kasus unik, sebelumnya saya sudah ngepost 'case study' yang satu ini, tapi tiba-tiba saja menghilang dari peredaran ketika ada beberapa respon yang sedang saya jawab. Di inbox masih ada terbaca judulnya, tapai gak bisa diakses: kalau diakses, mesin-nya bilang NOT FOUND. Di daftar blog entry di 'rumah' saya juga gak ada jejaknya, menghilang begitu saja.

Unik sekali ya?

Sorry, saya repost di bawah ini ajah ya:




Ceritanya ada satu temen MP yang ngeluh di blog MP-nya soal ibu-ibu yang merasa 'hebat' - merasa lebih baik dari ibu-ibu lain, semata karena mereka (yang merasa hebat) bisa memberikan ASI Eksklusip kepada anak-anak aka bayi-bayi mereka. Dan, memandang rendah mereka yang tidak (mau dan tidak bisa) memberikan ASI kepada bayi-bayinya.

Jadi, saya kasih komentar begini (bahan-bahan hasil saya baca-baca di i-net):

Saya gak pernah kasih ASI ke anak-anak saya, lha, jelas sekali dan gamblang: saya bukan ibu-nya anak-anak saya sih, jeh! ;D)

Tapi, kalau gak salah, secara alami semua mahluk yang menyusui (termasuk manusia dan hewan) akan secara alami memproduksi ASI buat anak-anaknya begitu mereka melahirkan anak-anaknya. Dan, katanya lagi, kalau tidak bisa (bukan tidak mau) memproduksi ASI (lagi), berarti memang tidak diperlukan lagi ASI bagi anak-anaknya ya?

Itu yang kalau gak salah disebut sebagai 'menyapih' anak-anaknya.

Dan, katanya sih mulainya masa menyapih (tidak perlu diberi ASI lagi) itu tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya - sangat individuil dan unik, tidak ada batasan anak disusui mesti sekian bulan, sekian tahun - yang 'menyesatkan' itu konsep ASI EKSKLUSIP yang katanya mesti minimal 12 bulan, padahal tiap pribadi ibu itu unik, tidak bisa disamaratakan semuanya mesti menyusui anak-anaknya selama 12 bulan. Perhatikan hewan menyusui anak-anaknya juga akan berhenti pada masanya, anak-anaknya akan di'usir' kalau masih saja terus minta menyusu kepada induknya.

Satu lagi salah kaprah: anak mesti dikasih susu sapi sebagai tambahan (baik segar maupun kalengan - bubuk), susu sapi memang sangat baik bagi anak-anak..... sapi! Anak orang ya gak usah dikasih susu sapi. Banyak yang pikirannya sudah dirasuki kampanye produsen susu sapi yang tentu saja selalu menganjurkan orang mengkonsumsi produknya - dari situlah mereka mendapat keuntungan besar.

Perhatikan: susu sapi dipacu lebih banyak diproduksi oleh 'pabrik'nya - induk sapi, dengan cara diberi hormon pertumbuhan tambahan, akibatnya, hormon tsb ikut larut dalam air susu sapi, yang kemudian masuk ke dalam tubuh anak-anak orang. Akibatnya, anak-anak orang jadi dipacu juga pertumbuhannya oleh hormon pertumbuhan yang diberikan kepada ibu, eh, induk sapi.

Makanya jangan heran kalau anak-anak manusia yang perempuan dan lelaki pada keluar tetek-nya pada umur yang relatip masih muda, sekitar 10 tahunan - coba cek ajah sendiri ya.

Yang dicari dari susu sapi untuk anak-anak itu apa? Kalsium dan protein dan lemak? Semuanya bisa diperoleh dari bahan makanan lain. Kalsium banyak juga terdapat di dalam kekacangan dan sesayuran, lemak dan protein juga bisa dicari di makanan lain. Sila cari sendiri ajah di i-net ya.

Sorry. Jadi panjang kayak posting sendiri ajah, jeh!

Lalu, ada seseorang entah siapa (ada nama tanpa headshot) yang kasih komentar sesudah komentar saya, entah ditujukan kepada siapa dia kasih komentarnya, saya ndak begitu yakin apakah itu ditujukan kepada komentar saya atau bukan.

Isinya begini:

pak.... maksudnya apa ya....???? yang jelas yg bisa ngerasain cuma para ibu....n saya yakin sekali para ibu di sini berarti yg udah usaha banget, tapi gak bisa....soalnya kalo gak usaha, pasti mereka ga pada sedih.....so....jangan disalahin lagi n diomongin lagi ya....

Pertanyaannya: coba anda baca komentar saya di atas, lalu anda simak, apakah ada nada ofensip kepada para ibu yang tidak bisa menyusui di dalam komentar saya, sehingga komentar seseorang itu (kalau benar ditujukan kepada komentar saya) sepertinya menganggap saya sudah ofensip kepada mereka.

Sila kasih komentar ya!

Terima kasih.





PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt Media file.

Case Study: Salah Baca, Salah Mengerti atau Buru-buru Asal Njeplak?

Ceritanya ada satu temen MP yang ngeluh di blog MP-nya soal ibu-ibu yang merasa 'hebat' - merasa lebih baik dari ibu-ibu lain, semata karena mereka (yang merasa hebat) bisa memberikan ASI Eksklusip kepada anak-anak aka bayi-bayi mereka. Dan, memandang rendah mereka yang tidak (mau dan tidak bisa) memberikan ASI kepada bayi-bayinya.

Jadi, saya kasih komentar begini (bahan-bahan hasil saya baca-baca di i-net):

Saya gak pernah kasih ASI ke anak-anak saya, lha, jelas sekali dan gamblang: saya bukan ibu-nya anak-anak saya sih, jeh! ;D)

Tapi, kalau gak salah, secara alami semua mahluk yang menyusui (termasuk manusia dan hewan) akan secara alami memproduksi ASI buat anak-anaknya begitu mereka melahirkan anak-anaknya. Dan, katanya lagi, kalau tidak bisa (bukan tidak mau) memproduksi ASI (lagi), berarti memang tidak diperlukan lagi ASI bagi anak-anaknya ya?

Itu yang kalau gak salah disebut sebagai 'menyapih' anak-anaknya.

Dan, katanya sih mulainya masa menyapih (tidak perlu diberi ASI lagi) itu tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya - sangat individuil dan unik, tidak ada batasan anak disusui mesti sekian bulan, sekian tahun - yang 'menyesatkan' itu konsep ASI EKSKLUSIP yang katanya mesti minimal 12 bulan, padahal tiap pribadi ibu itu unik, tidak bisa disamaratakan semuanya mesti menyusui anak-anaknya selama 12 bulan. Perhatikan hewan menyusui anak-anaknya juga akan berhenti pada masanya, anak-anaknya akan di'usir' kalau masih saja terus minta menyusu kepada induknya.

Satu lagi salah kaprah: anak mesti dikasih susu sapi sebagai tambahan (baik segar maupun kalengan - bubuk), susu sapi memang sangat baik bagi anak-anak..... sapi! Anak orang ya gak usah dikasih susu sapi. Banyak yang pikirannya sudah dirasuki kampanye produsen susu sapi yang tentu saja selalu menganjurkan orang mengkonsumsi produknya - dari situlah mereka mendapat keuntungan besar.

Perhatikan: susu sapi dipacu lebih banyak diproduksi oleh 'pabrik'nya - induk sapi, dengan cara diberi hormon pertumbuhan tambahan, akibatnya, hormon tsb ikut larut dalam air susu sapi, yang kemudian masuk ke dalam tubuh anak-anak orang. Akibatnya, anak-anak orang jadi dipacu juga pertumbuhannya oleh hormon pertumbuhan yang diberikan kepada ibu, eh, induk sapi.

Makanya jangan heran kalau anak-anak manusia yang perempuan dan lelaki pada keluar tetek-nya pada umur yang relatip masih muda, sekitar 10 tahunan - coba cek ajah sendiri ya.

Yang dicari dari susu sapi untuk anak-anak itu apa? Kalsium dan protein dan lemak? Semuanya bisa diperoleh dari bahan makanan lain. Kalsium banyak juga terdapat di dalam kekacangan dan sesayuran, lemak dan protein juga bisa dicari di makanan lain. Sila cari sendiri ajah di i-net ya.

Sorry. Jadi panjang kayak posting sendiri ajah, jeh!

Lalu, ada seseorang entah siapa (ada nama tanpa headshot) yang kasih komentar sesudah komentar saya, entah ditujukan kepada siapa dia kasih komentarnya, saya ndak begitu yakin apakah itu ditujukan kepada komentar saya atau bukan.

Isinya begini:

pak.... maksudnya apa ya....???? yang jelas yg bisa ngerasain cuma para ibu....n saya yakin sekali para ibu di sini berarti yg udah usaha banget, tapi gak bisa....soalnya kalo gak usaha, pasti mereka ga pada sedih.....so....jangan disalahin lagi n diomongin lagi ya....

Pertanyaannya: coba anda baca komentar saya di atas, lalu anda simak, apakah ada nada ofensip kepada para ibu yang tidak bisa menyusui di dalam komentar saya, sehingga komentar seseorang itu (kalau benar ditujukan kepada komentar saya) sepertinya menganggap saya sudah ofensip kepada mereka.

Sila kasih komentar ya!

Terima kasih.





PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt Media file.

October 19, 2010

Bakso Solo Daging Sapi Asli?

Mungkin anda pernah baca nama warung bakso yang dikasih embel-embel 'bakso Solo daging sapi asli' begitu. Mungkin juga anda gak 'ngeh' ama itu slogan marketing yang mereka pasang ya. Kalau pun anda baca, anda juga gak peduli kenapa mereka pasang kalimat itu toh?

Kemaren Minggu, saya dan nyonyah dan anak saya si Dede yang lagi mudik sebentar buat hadir di pesta perkawinan teman-nya, iseng mampir ke Bakso Titoti di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta. Itu warung menyebut diri sebagai 'Gardoe Bakso', asalnya Wonogiri - yah, masih deket-deket Solo situ sih.

Di Bakso Titoti ini, selain protein hewani dari si bakso, juga lemak dari tetelan kikil sapi, anda bisa milih campuran 'karbohidrat'nya berupa mie, bihun atau...sohun!

Ya, sohun, yang terbuat dari aci (atau kacang ijo kalau versi upper end-nya sih), dengan aroma khas sohun yang agak-agak bau aci gitu.

Nah, sekarang bisa kita masuki her story, eh, his-story aka sejarahnya kenapa ada tagline 'Bakso Solo Daging Sapi Asli' itu.


Kalau anda baca tagline begitu, jangan lantas anda pikir di pasar beredar daging sapi palsu yang dibuat dari kertas - itu cuma hoax di i-net doang, jangan percaya, percayalah samah sayah ajah yah....

Bakso Titot, juga Bakso Botak di Jelambar, Bakso Mahkota di Grogol dan ... , juga bakso aliran Solo dan greater Solo, i termasuk bakso yang mempertahankan tradisi, dengan tetap menyediakan sohun sebagai campurannya.

Waktu masih jaman 'kegelapan' - bener-bener suka gelap, sebab seringnya oglangan, giliran pemadaman listrik karena pasokan dari PLN masih seret, bakso itu dijajakan dengan menggunakan pikulan, dengan dua rombong. Satu berisi dandang lurus tak berpinggang, dengan kompor minyak tanah, dan satu berupa laci-laci berisi perabotan dan bahan baku berupa bakso dan sohun dan di atasnya berupa preparation table, tempat meracik bakso pesenan anda plus wadah sambel, garem, lada, bawang goreng dan rajangan seledri.

Eh, saya gak nyebut MSG ya?

Hehehe.... jaman itu, sekitar tahun 1965-an, belum di'temu'kan MSG versi murah-meriah dikemas dalam sachet yang sekali pake gitu. Adanya juga dalam kemasan kaleng warna kuning emas, buatan Hongkong, berjudul Vetsin, harganya mahal, masih merupakan high end product yang cuma bisa mampu dibeli oleh kaum menak.

Jadi, jaman itu, untuk penggurihnya, mereka pakai tulang sapi dan tetelan + lemak gajih yang menempel. Anda bisa lihat tulang-belulang gede-gede di dasar dandang kuah bakso yang mereka panaskan terus itu, makin lama akan makin gurih tentu, jeh!

Nah, baksonya itu tentu saja berdaging sapi asli. Waktu itu mereka belum tersentuh oleh tangan-tangan 'teknologi pangan' aka food tech yang serba canggih dan complicated, sampai mereka bisa bikin apa saja dengan bahan pengganti, seperti kecap yang semula dibuat dari kedele difermentasi itu, sekarang mah bisa diganti pake gula tetes - sisa masakan gula tebu, atau saus sambel yang bahan pokoknya pake onggok, sisa ampas hasil pembuatan tepung tapioka aka aci, kedua bahan itu (tetes tebu dan onggok) semulajadi sih buat dijadikan pakan ternah tuh - thanks to para food technician yang harahebat dan smart itu ya.

Teknologi pembuatan bakso juga masih sederhana, maklum ajah, mereka baru belajar sedikit dari tauke yang bikin bakso ikan atau bakso babai, dan mereka pun dipaksa untuk menekan COGS - Cost of Goods Sold, lha market potential mereka toh para rahayat jelata yang masih ngikutin konsep P7: Pergi Pagi Pulang Petang Pendapatan Pas Pasan, yang cuma mampu jajan bakso keliling begitu.

Jadi, yang namanya bakso Solo jaman awal-awal kemerdekaan (para penjajanya merdeka dari tauke-nya) begitu, terbuat dari daging sapi alakadarnya saja, asal ada mambu prengus sapinya ajah, dengan campuran kanji aka aci, dan sedikit ajah tepung terigu, yang hasilnya sih ya secara fisik berbentuk bulatan daging aka meat ball, ning ya teksturnya agak-agak kenyal-kenyal kayak onde-onde wedang ronde gitulah, ada lapisan bening menyelimuti sekujur tubuh sang bakso, dengan rasa dominan pedes lada plus asin garem doang. Ning, mereka tetep jaga dagingnya ya dari daging sapi asli, walau mungkin bukan dari bagian yang terbaik-nya.

Kenapa mesti pake kata 'asli'?

Nah, jaman itu, jaman susah, anda punya uang belum tentu ada barang. Ketika bakso Solo yang keliling kampung door-to-door itu, ditawarkan dengan memukul-mukuli mangkuk beling (belum musim melamine) pake sendok bebeknya, makin lama makin populer, makin banyak penggemarnya, tidak saja dari kalangan lowest end di kampung-kampung belakang jejeran toko-toko di straat besar, tapi mulai merambah toko-toko di depannya juga, maka mulailah timbul kongkurensi aka persaingan dagang yang sengti.

Bagian daging yang gak gitu bagus dan murah sangat itu tentu saja jadi rebutan para pedagang bakso. Dan, harganya yang semula murah jadi makin mahal sesuai hukum pasar: supply kurang, demand besar - jadi harga boleh dinaikkan.

Jadi, ada pedagang yang gak kebagian daging murah ini, lantas berimprovisasi secara kreatip: mereka cari substitusi - bak anjuran para food technologist yang canggih itu, mengganti daging murah dari sapi itu dengan daging........ tikus!

Hehehe.... siapa yang bisa bedakan lagi kalau daging sudah dicincang halus dan dijadikan bola daging begitu toh? tentu saja isyu begitu cepet merebak, hati-hati, sekarang ada bakso yang pake daging tikus. Hal ini ditunjang juga dengan adanya berita santer bahwa di desa lagi banyak hama tikus, mereka pada menghabisi padi di sawah - sampai pemerintah menggalakkan kampanye pembasmian tikus swah itu, dengan iminmg-iming hadiah, sampai banyak sekali tikus ditangkap!

Saya gak tahu persis apakah benar ada yang curang pake daging tikus untuk campuran baksonya, mungkin juga cuma hoax - hanya saja jaman itu belum musim internet, jadi Hoax Slayer atau Snopes gak bisa ikut campur menjelaskan secara baik dan bener.

Saya cuma mau kasih tahu ajah, sejak itulah makanya muncul tagline: Bakso Solo Daging Sapi Asli - untuk membedakannya dengan daging sapi-sapian doang, jeh!

Ana pernah makan bakso Solo bukan daging sapi asli?



IT'S WORLD TIME: