February 28, 2010

Sego Kucing - Untuk Kucing, Tentunya, Jeh!

Sego kucing, katanya bukan sego untuk (makan) kucing. Tapi untuk makan yang pelihara kucing. Ini istilah populer di Yogya. Kota dengan penduduk yang relatip lebih kreatip. Selalu ada hal-hal kreatip yang baru muncul dari sono. Banyak kreasi seni ciamik-ciamik diproduksi dari sono tuh!

Jadi sego kucing itu sego (nasi) barang sekepel-dua, dikasih lauk iwak (bisa iwak ayam, iwak peda, iwak empal - arti harafiah iwak = ikan) serba sesuwir-dua, dikasih sambel terasi sedulit, dibungkus kecil-mungil supaya bikin gemes yang makan. Kalau kurang bisa tambo ciek-duo, kalau duwit pas-pasan ya gak usah tambo, apalagi nyomot ubo rampe-nya yang segambreng enak-enak kabeh ituh, jeh!

Kayaknya sego kucing itu bukan hal baru deh.

Mungkin saja mereka 'terilhami' oleh cara kami, saya dan adik-kakak saya, memberi makan kucing kami di rumah.

Jadi, ceritanya waktu kami kecil, kami semuanya 7 bersaudara dengan selisih usia sekitar 1-2 tahun sajah, pengin memelihara kucing seperti teman-teman tetangga sepermainan kami. Mereka semua hampir pada punya peliharaan, entah kucing atau anjing.

Kebetulan suatu pagi yang gerimis, ada seekor anak kucing yang terlantar ditinggal induknya di depan pintu rumah kami, ngeyang-ngeyong dengan memelas sekali. Padahal itu kucing telon - berwarna tiga bulu-nya, merah-kuning-ijo kayak lampu bangjo - lalu lintas gitu, katanya sahibul hikayat sih kucing pembawa hoki tuh.

Jadi, mamah kami - otoritas urusan dalam negeri di rumah, kasih nyala lampu hejo, boleh kami memelihara tu kucing, under one condition: asal kami mau bertanggungjawab dari sisi kebersihan-nya (membersihkan produk download-an dia, besar dan kecil) dan konsumsinya - memberi pakan.

Kami pun bersepakat dan bersetujuh (memang 7 bersodara sih 'kan?) untuk membagi tugas bergiliran untuk mengurus sang kucing yang dikasih nama si Betty - Beulang Tyga. Pas, bertujuh, bergiliran seorang sehari, jadi 24/7 - kayak Mc.D juga toh. Gak tahu apakah dia berjenis kelamin jantan atau betina, atau in between. Toh, sesama kucing sih ndak akan saling memperolok juga, walau ada yang berburuk rupa sampai takut bercermin, walau juga mungkin agak-agak aneh kalau dia jantan bernama Betty.

Jadi, mula-mula kami kasih makan dengan wadah piring kaleng rombeng. Porsinya gede, sesuai porsi kami makan. Tentu saja selalu gak habis. Lha, si Betty mulutnya kecil, begitu pun perutnya. Selalu gak habis nasi sepiring dimakannya. Mubazir. Mamah menegur kami, tentu saja beliau tak suka kami membuang nasi dengan sia-sia, ingat kata nenek dan kakek kami: nasinya bisa nangis kalau disia-siakan tak dimakan tuh, jeh!

Lama-lama, saya pikir kenapa gak dikasih porsi sego kucing ajah. Sekepel dua nasi dikasih lauk iwak peda. Logika yang sangat gampang ya. Beres? Solving the problem? Yes. Only half the way. Sebab ternyata teuteup gak dihabiskan nasinya, cuma peda atau gesek (gereh, ikan asin kering) yang ditarok di samping nasi yang dihabiskannya.

Saya pun bikin riset dan studi, googling lewat cerita temen-temen tetangga ajah sih -- mau cari info di internet tapi belum musim waktu itu toh, dan hasilnya adalah ini: saya bikin nasinya seperti prosedur membuat nasi tutug oncom - sekepel dua nasi putih, saya campur dengan lauk-nya, entah iwak apa saja, terutama peda - kesukaan si Betty. Dicampur aduk, diremas-remas (bukan dirames) pakai tangan saja [kalau nasi tutug oncom sih saya lihat dicampur-aduk-nya pakai centong nasi sih] sampai tercampur rata, remah-remah daging ikan bercampur rata dengan bulir-bulir nasi.

And...... the result is as we expected before: si Betty makan dengan lahapnya sego kucing yang saya bikin. Jadi, sejak saat itu tidak lagi ada nasi sisa yang munbazir yang tidak dimakan si Betty. Finally, we found a win-win solution - si Betty makan dengan lahap dengan porsi pas, kami pun tidak lagi ditegor mamah karena menyia-nyiakan nasi yang tidak dimakannya.

Jadi, anda doyan sego kucing juga tah?









PS: Gambar di'pinjam' dari sini.

February 27, 2010

Serasa Jadi Selebriti, Nih!

Waktu mBak Shanti bilang kota asal-nya Nganjuk, spontan saya ingat satu TP - Teman Pena saya yang tinggal di sana, bahkan masih ingat alamat rumahnya dengan jelas. Padahal, jaman saya suka berkoresponden dengan SP - Sahabat Pena, itu tahun 1970-an tuh, jeh!

Saya jadi ingat masa-masa itu.

Belum jaman internet, komunikasi lebih banyak via surat-menyurat atawa korespondensi. Teman-temannya disebut TP atau SP begitulah. Kalau baru sekali dua, masih disebut TP. Tapi kalau dah sering, tentu saja menjadi SP. Umumnya TP atau SP tinggal di kota lain, tapi saya pernah punya beberapa SP yang tinggal se kota, karena malau-malu kucing, jadi kami bersahabat melalui pena saja.

Teman-teman pena saya banyak tersebar di kota-kota di seluruh Indonesia. Kota-kota besar sih jangan ditanya - Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Makassar, termasuk kota-kota kecil di antaranya, Juwana, Pati, Sabang, Banyumas, Purwokerto, Tasikmalaya,
Merauke, Ternate, Muara Teweh (Kalimantan pelosok), Tarakan, Prabumulih, dan luar negeri seperti Singapura, Filipina, Perancis, Kuala Lumpur, Hongkong, Jepang, dan entah lupa lagi.

Selain berkirim-kiriman surat menanyakan kabar, menceritakan keadaan, bertukar informasi ttg apa saja, termasuk makanan khas, kami biasanya juga saling bertukar kirim makanan khas (yang kering tentu) dari kota kami masing-masing. Saya bahkan pernah mengirim kerupuk udang khas Cirebon ke Perancis. Dan, tentu saja kartu-kartu ucapan selamat HUT, Natal dan Lebaran. Banyak kartu dari mereka masih saya koleksi sampai sekarang tuh, jeh!

Saya pernah kehilangan SP, maksudnya terputus tiba-tiba tanpa sebab. Ada 2 orang SP saya yang hilang begitu. Satu tinggal di Quezon City, Filipina, ketika terjadi gempa bumi besar (lupa tahun berapa), dan satu lagi di Ternate, Maluku, juga ketika ada gunung meletus di sana. Saya pikir mereka menjadi kurban bencana alam itu. Sebab berkali-kali saya kirim surat tidak lagi berbalas, sampai sekarang - hilang begitu saja bagai ditelan bumi.

Saking seringnya saya berkirim surat begitu, tentu saja saya sering pula menerima surat dari para TP dan SP saya. Bisanya kami punya 'nama pena' - semacam nick name sekarang kalau di e-mail begitulah. Lama-lama tukang pos hapal dengan nama dan alamat saya. Beberapa kali, kalau ada TP atau SP saya lupa mencantumkan alamat rumah saya, surat mereka tetap sampai ke rumah dengan selamat. Rupanya nama saya sudah cukup dikenal di Kantor Pos Cirebon pada waktu itu. Bak selebriti ajah sih ya?

Apa nama pena anda dulu ya?





PS: Gambar diambil dari MS Office, ClipArt media file.

February 25, 2010

Ukup-ukup + Sesajen Demi Demit?

Saya gak tahu aliran apa yang mengajarkan tradisi ukup-ukup setiap malem Jumat, terlebih malem Jumat Kliwon yang jatuh pas hari ini, 25 Februari 2010. Saya juga gak yakin, yang dimaksud 'malem' Jumat Kliwon itu, apakah seperti hari ini, yang hari Jumat-nya jatuh (bersamaan) pada hari pasar (perhitungan Jowo) hari Kliwon, ataukah kalau pas Kemis-nya yang Kliwon (11 Februari 2010), pokoknya, ukup-ukup-nya itu ya hari Kemis, malem Jumat.

Ukup-ukup itu kayaknya sih ritual yang diturunkan oleh kepercayaan animisme(?), melibatkan alat peraga berupa satu tungku kecil terbuat dari lempung aka tanah liat [kayaknya sih itu tungku maenan anak-anak untuk pelengkap dedapuran maen pasar-pasaran gitu], yang diberi arang membara, lantas ditaburi kemenyan [dibuat dari getah pokok aka pohon kemenyan] atau dupa yang dihancurkan, bule cuma tahunya incense, sehingga mengeluarkan asap mengepul cukup lama, dan beraroma khas........ kemenyan, tentunya, jeh!

Selain tungku berarang membara dan berasap kemenyan, ada properti tambahan berupa kembang setaman yang ditaruh dalam wadah berupa takir daun pisang, isinya antara lain rajangan halus daun pandan, bebungaan aneka macam setaman, termasuk mawar, melati..... semuanya indah!

Takiran bunga setaman ditarok di sudut-sudut rumah, lalu diasapi asap kemenyan di atasnya, diputar-putar di atasnya, paling sedikit 3 kali putaran. Sambil komat-komait berdoa, supaya dedemit penunggu rumah tidak usil atau iseng mengganggu penghuni rumah semuah. Persis ritual di gereja Katolik yang membawa wadahnya dari logam dengan rantai yang digoyang-goyangkan begitu lho!

Kalau malem Jumat Kliwon, mesti ada tambahan ekstra sesajen berupa lisong (sejenis serutu ala ndeso) + kupi pahit segelas belimbing, cukup satu saja untuk ditarok di deket dapur untuk demit lanag (lelaki) dan perlengkapan sirih, pinang, kapur lengkap dengan susur tembakonya untuk sekapur sirih bagi demit wadon (perempuan).

Biasanya ritual menebar sesajen takiran bebungaan, dan lisong kupi + sekapur sirih itu dimulai menjelang maghrib - entah mengapa katanya itulah saat sang penunggu rumah balik dari keluyuran entah nyari apa.

Jadi, kalau malem Jumat begini, dulu sih rumah-rumah dan toko-toko di Cirebon, kalau sore menjelang maghrib penuh dengan asep beraroma kemenyan. Kalau ada yang lupa, biasanya akan diingatkan oleh penjaja bunga setaman yang keliling pada Kemis pagi-siang hari secara door-to-door. Tak lupa biasanya mereka sudah bawa pula lisong, tungku cadangan dan kemenyannya. termasuk daun sirih + perlengkapan menginang sekapur sirih itu tadi.

Kalau sampai berani sengaja tidak ukup-ukup pada malem Jumat, tahu rasa sendiri dah akibatnya, jeh!

Saya tahu persis hal ini, sebab saya suka menggantikan peran si mbok asisten mamah saya, the manager in chief for that very particular ritual, yang kadang sibuk mengurus adik-adik saya yang minta mandi dan makan. Saya yang suka iseng mengikuti dia menebar asap kemenyan, jadi sedikit banyak mengerti tata-cara yang baik dan benar untuk menjalankan ritual tsb., termasuk apa yang mesti dikomat-kamitkan doanya, dan lantas dianggap lulus walau tanpa sertifikat, lantas diangkat jadi deputy manager, sebagai back up kalau-kalau si chief berhalangan toh.

Lama kemudian, tradisi ritual berukup-ukup ini menghilang dengan sendirinya, seiring dengan kemajuan jaman, apalagi jaman sudah jaman milunyium dan aiti [IT] begini ya? Kalau anda masih saja percaya dengan ritual ukup-ukup begitu, bisa-bisa anda akan dinominasikan menjadi calon kuat penghuni museum sejarah hidup bagian ritual animisme tuh ya. Mau?

Anda pernah berukup-ukup juga tah?










PS: Gambar, seperti biasa, diambil dari MS Office ClipArt media file.



February 23, 2010

Misteri Pedagang Roti Keliling.

Rumah papah saya di kawasan Pasar Pagi, Cirebon, berdagang kelontong, persis di ruko yang tusuk sate, di Jalan Siliwangi (d/h Kejaksan) yang di'tusuk' ama Jalan Pamitran. Pasar Pagi-nya terletak di seberang jalan, cukup luas, melingkupi Jalan Pamitran, dan Kalibaru Selatan, bagian depan, yang berada di Jalan Kejaksan di'tutup' oleh ruko-ruko jaman Belanda.

Ruko-rukonya tentu saja berupa toko, berdagang macam-macam.

Sebelah rumah persis, yang kiri dagang onderdil mobil, yang kanan juwalan aneka supply keperluan bahan bangunan seperti paku, lem kayu (ancur), vernis dan kebutuhan nelayan seperti tambang, kayu soga (entah untuk apa itu ya), ter, dan lain-lain.

Umumnya sih toko kelontong, tapi ada juga toko lampu dan alat-alat listrik, agen minyak pelumas dan stempet (gemuk) Shell, tukang gigi, servis radio, tukang cukur, toko cita Bombay, toko tembako, agen koran dan majalah, toko potret, rumah makan, toko buku dan... toko roti.

Kayaknya ada 4-5 buah toko roti dan kue yang besar dan kecil, yang saya ingat: di ujung jalan, pengkolan Jalan Kalibaru Selatan ada toko Olimpia, dekatnya ada toko Sien - nama pemiliknya Tante Sien (ganti nama jadi toko Sinar pada 1966), di seberang jalan di ruko depan pasar ada toko Sederhana, dekat hotel ada toko Famili, dan jejeran ruko papah saya ada satu toko roti tanpa nama.

Umumnya yang dijuwal di toko roti tentu saja roti manis dan roti tawar yang masih ala 'kampung' tanpa pengawet, belum dipotong-potong itu. Permukaan atau 'kulit' rotinya masih tebal, agak-agak gosong kesoklatan warnanya, bertekstur agak kasar gitu. Juga kue-kue basah jajan pasar, seperti risoles, kroket, lemper, pipis (kue lapis), permen, soklat dan kue kering.

Favorit kami 'kue (roti kering) kodok' - semacam biskuit kecil, diameter 25-30 mm, dua lapis berisi krim kering, dengan topping berupa sedulit adonan gula warna-warni: hijau, pink atau putih, yang dicetak memakai contong, berulir mengerucut jadi kayak kodok penampakannya.

Roti manis yang dimaksud tentu roti isi, juga ada roti keset atau roti sobek, seketul isinya beberapa bongkah yang berisi kombinasi: soklat, nanas atau susu. Kalau yang individu, isinya biasanya pasta coklat, abon [saya baru ingat nih, ternyata BreadTalk bukan yang pertama bikin roti abon tuh], selai nanas, daging ayam atau daging sapi cincang, atau kacang ttanah tumbuk yang diberi gula pasir. Belum musim roti manis isi kiju yang kiju-nya masih merupakan barang mewah nan langka pada jaman itu, jeh!

Harganya sudah lupa lagi. Tapi umumnya cukup mahal. Di atas harga sepotong gepu sudahlah tentu. Saking mahalnya, kami jarang jajan roti isi. Sampai-sampai kami suka merasa iri kepada teman-teman kami yang orangtuanya punya toko roti. Kami pikir, mereka tentu senang sekali, bisa makan roti setiap hari ya?

Pernah juga sih ada pedagang roti rahayat jelata, murah meriah punya harganya, dijajakan dengan wadah berupa baskom, isinya roti goreng mirip bolang-baling tapi lebih tipis teksturnya dan agak gepeng, juga bentuknya tidak beraturan, namanya 'brotak' - entah diambil dari mana nama ini.

Nah, pernah sekali waktu, ada seorang Tionghua encek-encek, kelilingan membawa keranjang rotan, berisi roti-roti manis berisi soklat, kacang tanah + gula pasir ditumbuk, selai nanas, ayam atau abon, yang ditutupi kain serbet bersih, membawa tongkat panjang sebagai penunjuk jalan, sebab beliau tunanetra, dan seorang anak kecil yang menjadi pengantar-nya (si anak sering bandel, sehingga suka dijitak kepalanya pakai tongkat).

Secara konsisten si encek berkeliling mulai sekitar pukul 15:00-16:00 sore. Rotinya masih hangat, fresh from the oven. Yang saya ingat sampai sekarang, rotinya berukuran sama seperti yang dijuwal di toko roti, aromanya juga enak, dengan kulit agak tebal kesoklatan tua, biasanya kami suka merobek kulitnya dulu untuk dimakan terlebih dahulu. Yang penting: harganya lebih murah dari yang dijual di toko roti, sekitar separuhnya.

Tentu saja kami lebih suka menunggu si encek datang di sore hari baru jajan roti isi-nya. Kebetulan si encek datangnya dari jalan arah sisi kanan toko papah saya, jadi selalu beliau singgah lebih dulu di rumah saya. Pada masa itu, umumnya toko-toko di Cirebon akan tutup istirahat pada siang sehabis makan sampai sore hari, buka lagi sekitar pukul 17:00.

Jadi kami berlangganan roti manis isi kepada si encek tunanetra itu. Beberapa kali kami tanyakan, siapakah 'boss' pemilik pabrik roti yang beliau jajakan dengan harga murah, jawabannya selalu tidak jelas. Sampai-sampai di antara kami, anak-anak sebaya sepermainan di lingkungan itu, akhirnya berkseimpulan bahwa bisa jadi pemilik pabrik roti itu adalah seorang dermawan yang berniat membantu kami mendapatkan roti dengan harga murah.

Sampai akhirnya si encek tidak lagi berdagang, setelah beberapa bulan, kami tetap tidak pernah tahu di mana lokasi 'pabrik' roti yang murah hati itu. Tetap menjadi misteri sampai sekarang, dan mungkin sampai selama-lamanya.

Barangkali anda tahu siapa boss-nya?

Motivasi - Nabung Uang Jajan Buat Beli Bedil, Jeh!

Saya lupa berapa persisnya uang jajan yang saya terima waktu SD. Yang saya ingat waktu jam istirahat, saya jajan sepotong gepu - dage capu aka combro, plus segelas (belimbing) es teh manis. Bayarnya cukup 5 ketip atawa 50 sen, kalau ndak salah biasa disebut juga 2 talen (benggol?), sebab setalen atau setali itu 3 uang: 2 keping ketipan aka kelipan (10 sen) dan 1 keping 5 sen-an.

Tapi, saya suka masih bisa menabung sisa uang saku saya. Berarti mestinya uang saku saya lebih dari 5 ketip (kelip) dong ya. Di samping itu, saya juga biasa punya 'side job' - usaha sampingan berjuwalan apa saja yang bisa menghasilkan laba. Misal, saya juwal alat tulis berupa pensil warna, penghapus bergambar dan wangi, dagangan di toko papah saya, saya tawarkan kepada teman-teman di kelas. Harga setalen saya juwal 3 ketip, untung 5 sen.

Kalau maen gundu, saya lebih suka maen taruhannya pakai kartu, ndak mau dengan cara diadu. Hasil kemenangannya berupa gundu yang relatip utuh tanpa gompel (cacad) barang secuwil pun itu, saya cuci bersih, saya taburi bedak, dan saya tarok di lemari pajangan di toko papah saya - titip juwal secara konsinyasi. Kayaknya saya pernah cerita di sini.

Jadi, tiap pagi saya hitung berapa butir gundu milik saya (papah saya tidak menjual gundu, ndak mau bersaing dengan saya), pulang sekolah saya hitung lagi. Kalau ada yang terjual, saya minta uangnya kepada papah saya, dengan potongan harga 10% untuk keuntungan toko. Fair enough toh ya, jeh!

Tentu saja saya cukup punya tabungan.

Saya termotivasi menabung dan bergiat dengan side job ini, sebab saya punya target. Saya tertarik melihat sepucuk bedil di toko seberang. Mereka jual bedil tsb seharga Rp 13.- Saya ingat persis harga ini, karena uang segitu cukup besar juga pada saat itu. papah saya tidak mau memberi saya uang untuk beli mainan, tapi beliau tidak pelit kalau kami minta beli buku bacaan.

Begitu uang tabungan saya cukup, saya minta asisten toko papah antar saya untuk menyeberang jalan ke toko tsb. Bedil yang sudah lama dipajang di etalase segera saja saya minta untuk dicoba dan dibungkus, langsung saya bayar tunai saat itu juga, dengan uang logam semuanya.

Senangnya bukan main, tentu. Segera saja saya pulang dengan setengah berlari. Ambil gayung di bak dan isi airnya ke dalam bedil. Langsung saya pamer kepada adik-adik dan koko saya, mereka saya tembak satu per satu, basah muka dan kepala mereka sudahlah tentu. Ya. Memang bedil-nya bedil air sih, jeh!

Anda ingat beli apa waktu kecil (dari hasil tabungan)?





PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

February 20, 2010

Her Name Is Also Effort, Jeh!

Di Hongkong, dulu ada satu pasar K-5 yang namanya Stanley Market. Kalau anda ikut City Tour, satu spot kunjungan turis mesti diajak ke situ. Entah sekarang masih ada atau tidak tu pasar ya. Walau namanya 'pasar' (market), kayaknya sih mereka gak juwalan sayur-mayur, rempah-rempih, bumbu dapur atau hal-hal yang berbau pasar becek di mari.

Sebelum turun dari bus turis, biasanya si guide akan wanti-wanti pesan kepada kami, para turis untuk tidak sembarangan memegang atau menyentuh barang yang dipajang, kalau tidak hendak membelinya. Kalau mau menawar, tawarlah dengan harga yang pantas, patokannya sekitar 50% dari harga yang ditawarkan.

Yang dijual aneka barang cindera mata turis, ada ukiran dari gading berbentuk aneka macam benda seni, termasuk seni sanggama yang berpatokan pada buku terkenal Kamasutra. Patung ini berbentuk orang, laki dan perempuan telanjang yang bisa dipisahkan, dan bisa di'satu'kan, dengan berbagai 'posisi'. Dijual per set atau sekotak isi selusin. Juga guci, mangkuk, poci teh, yang antik maupun kontemporer.

Pakaian, baju, celana dan aksesori-nya, semua tersedia. Termasuk perabotan dalam dengan aneka model yang sedang in, juga tentu saja tas-tas bermerek 'aspal' sesuai logo dan merek yang anda gandrungi. Kamera, kacamata, mainan anak-anak, you name it.

Semuanya tersedia, tinggal anda bawa uang atau kartu plastik sebagai alat pembayaran-nya ajah.

Kalau anda masuk ke lorong-lorong penjaja dagangan itu - dengan kios-kios, tenda semi permanen dan toko-toko di ruko yang berjejer di sepanjang jalan itu, anda akan ditawari oleh para penjaja dan pegawai-nya, dengan berbagai cara dan gaya agar menarik perhatian anda.

Tapi, sesuai dengan anjuran turis, saya cuma berani melihat-lihat saja, tanpa berani menyentuhnya sama sekali. Lha, saya memang cuma senang melihatnya, tidak berani menyentuhnya, sebab saya tidak berminat untuk beli barang dagangan itu. Jadi, saya pun selamat dari 'paksaan' mereka untuk membeli karena sudah menyentuhnya. Ini akhirnya jadi biasa saya lakukan: ndak minat ama barang orang, ya saya tidak akan menyentuhnya, jeh!

Itu cara lama orang pasar berdagang, umumnya para penjaja itu adalah kaum hawa. Mereka begitu ulet, teriak-teriak dan menarik-narik turis untuk singgah melihat-lihat dulu barang dagangan mereka. Jadi, istilahnya: her name is also effort, namanya juga usaha sih, jeh!

Jaman sekarang, namanya orang berdagang tentu berbeda caranya. Mereka ndak perlu capek berteriak-teriak menjajakan barangnya. Satu kiat yang lagi 'trend' adalah ini: cukup menawarkan foto-nya lewat internet secara online. Pembayaran bisa dilakukan via transfer ke rekening bank. Tapi, kalau proyek-nya gede dan mau lebih afdol, tentu saja mesti bertemu muka juga, F2F - face to face. Tergantung apa yang hendak dijual ajah sih sebenernya.

Kalau perlu, anda bisa undang prospek pembeli anda ke hotel. Ajak sarapan pagi di kafe hotel. Cari hotel yang sudah 'tersohor' sebagai hotel transit ajah, lebih murah tarif kamarnya toh. Jangan ajak orang lain, biar fokus dan tidak terganggu transaksinya nanti. Berdua saja, biar lebih intensip dan efektip. Kalau belum berhasil juga, anda bisa ajak prospek ke kamar anda, berdua saja, perlihatkan sample barang dagangan anda di kamar, kasih minum wine supaya nampak elite, apalagi kalau barang dagangan anda emas permata berlian mutu manikam yang mahal-mahal harganya toh, lebih sip lagi 'kan?

Tapi, kalau semua usaha anda sudah dijalankan secara maksimal, dengan baik dan benar sesuai petunjuk baku buku panduan marketing ditambah dengan pengalaman anda sebelumnya, kemudian anda ketemu prospek-nya macam saya, yang menyentuh ajah gak minat, ya sudahlah. Itu sih nasib anda ajah, bukan salah barang dagangan anda atau cara anda menawarkan. Ibaratnya, bukan bunda salah mengandung, tapi salah bapak-e yang go young? Hehehe.........

Emang prospek-nya ajah yang gak minat ama anda, eh barang dagangan anda 'kali ya. Ndak usah lantas marah-marah, mengatain prospek anda, curhat sana-sini, kasih peringatan ama teman-teman di mana-mana di seluruh pelosok jagat raya, ngapain buang waktu dan energi begitu toh? Masih banyak prospek lain koq. Jangan putus asa, gugur satu masih menunggu seribu di pintu. Hayu, usaha lebih keras lagi, jangan terpaku pada kegagalan yang satu itu. Siapa tahu anda beruntung menjual lebih banyak kepada prospek lain.

Jangan putus asa, maju terus - your name is also effort, jeh!



PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

February 19, 2010

Kuatir Teledor - Over Protektip?

Diberkahi kesempatan menyaksikan keteledoran ibu-ibu yang asyik kopdaran dan maksibar di Mang Engking [lihat posting sebelum ini], saya jadi ingat pernah juga saya 'teledor' terhadap anak saya yang sulung, si Koko.

Waktu itu, si Koko berusia sekitar 5 tahunan. Kami sekeluarga melancong ke Cirebon. Menginap di satu hotel sederhana dekat ruko tempat tinggal saya waktu kecil, yang waktu itu ditinggali oleh cici saya paling besar. Jaraknya sekitar 500 meter saja, sehingga kami cukup menyeberang jalan dan berjalan kaki ke rumah cici saya.

Karena sudah malam, nyonyah saya dan si Dede kembali ke hotel untuk tidur, sementara saya masih asyik ngobrol dengan satu tetangga teman masa kecil saya. Si Koko bermain dengan sepupunya (anak-anak cici saya) yang sepantaran dengannya, berlarian ke sana-ke mari di trotoir (kaki lima) dekat saya mengobrol di rumah sebelah.

Beberapa saat kemudian, jalan mulai sepi dari lalu lintas, toko-toko sudah pada tutup semua, saya tidak lagi melihat ketiga orang anak itu berlarian. Saya pikir si Koko ikut masuk ke rumah cici saya. Jadi saya masih meneruskan ngobrol sebentar. Setelah makin larut malamnya, saya pun pamit dan mengetuk pintu ruko tempat cici saya tinggal, hendak menjemput si Koko pulang ke hotel.

Terkejut sekali saya ketika keponakan saya bilang bahwa si Koko tidak bersama mereka di rumah. Sudah agak lama mereka pulang ke rumah dan tidak tahu lagi si Koko pergi ke mana, kata mereka.

Kemanakah gerangan si Koko?

Saya sempat panik, pergi ke mana si Koko? Tersesatkah? Diculik-kah? Atau jatuh entah di mana? Dibantu teman saya, cici saya dan 2 keponakan saya, kami cari dan panggil-panggil si Koko di dalam gang kecil dekat rumah, juga halaman rumah orang. Tidak ada. Ke resto 'meja panas' yang menjadi favorit kami makan, dekat situ, tidak ada juga. Resto-nya sudah tutup, jadi tidak mungkin si Koko ke situ.

Saya benar-benar panik sekali malam itu.

Setengah berlari, bergegas saya ke hotel memberitahu nyonyah. Di luar dugaan, ternyata si Koko sudah ada di kamar. Saya cukup merasa lemas, sebab untuk ke hotel itu tadi, si Koko mesti menyeberang jalan dan berjalan sendiri sekitar 500 meteran.

Setelah saya cukup tenang, saya tanya si Koko, bagaimana dia tahu letak hotel dan berani menyeberang jalan sendiri. Dengan enteng dia jawab, gampang, patokan hotel-nya ada di seberang merek Kodak (ada toko foto di seberang hotel waktu itu) - kami memang suka bermain tebak-tebakan logo merek yang kami temui di jalan. Juga sesudah rel kereta api - satu mainan favorit si Koko, yang ada di samping hotel Parahiangan tsb. Dan, ketika menyeberang juga dia tengok kanan, tengok kiri dulu, seperti diajarkan di sekolahnya.

Saya merasa lega sekali, mengingat si Koko dibesarkan di Jakarta yang penuh 'ancaman' ramainya lalu-lintas, keriuhan orang-orang berlalu lalang, dan kami dulu tinggal di jalan buntu yang relatip sepi dari lalu lintas dan jalan-nya pun kecil saja.

Selama ini, anak-anak selalu dibawah pengawasan kami agak ketat, mereka tidak pernah kami ijinkan main sendiri di luar bersama anak-anak tetangga - kami lebih suka mengajak mereka bermain di dalam rumah. Kalau ke luar rumah, pasti kami akan menggandeng mereka, bahkan kalau jalan-jalan di mall (si Koko pernah 'hilang' di pameran di JHCC ketika masih berumur sekitar 3-4 tahunan, sebab dia ngeloyor pergi jalan-jalan sendiri).

Cici saya bilang bahwa saya dan nyonyah over protektip terhadap anak-anak - saya pernah terkejut sekali ketika melihat keponakan saya (anak cici saya) naik-naik di satu tiang besi! Mungkin juga cici saya benar, tapi kalau sampai terjadi sesuatu (kecemplung kolam ikan, misalnya) yang tidak diinginkan, menyesal pun tidak ada gunanya toh?

Tapi, tetap saja saya merasa sudah ceroboh dan teledor karena tidak menyadari si Koko diam-diam pergi meninggalkan saya, karena dia bosan menunggui saya ngobrol dan dua sepupunya sudah capek bermain bersamanya dan mau tidur.

Anda pernah 'teledor' jugakah?


February 17, 2010

Asyik Kopdaran Ber-BB - Hati-hati Dengan Balita Anda Ya!

Tadi ada urusan mesti ke Depok. Pesen 'Pin Jengkol' buat grup tari si Dede. Katanya di Sin harganya per biji SGD 1,00 sedang di Depok itu cuma Rp 1.500 (sekitar SGD 0,25). Bikin 300 biji 'kan selisihnya lumayan juga tuh.

Karena mesti nunggu sekitar 2 jam baru selesai, kami bertiga pergi makan siang di Mang Engking. Pengin nyobain Udang Galah Bakar Madu yang katanya enak sekali itu. Kami dapat duduk di saung agak ke belakang.

Saungnya merupakan kopel, satu unit besar panjang, dibagi dua, dibatasi pagar rendah timbang pas untuk sandaran kalau anda lesehan itu. Setengah kopel sudah diisi serombongan terdiri dari ibu-ibu semua sekitar 10 orang, dengan 2 anak-anak berusia sekitar 4-5 tahun, juga perempuan. Ada 2 ibu muda yang nampaknya adalah orangtua kedua anak-anak tsb., selebihnya ibu-ibu paruh baya. Kayaknya sih mereka berkerabat dan sedang 'maksibar' kopdaran ya.

Tidak ada kejadian yang istimewa sampai kami selesai makan.

Saya cuma agak terganggu oleh ulah seorang ibu paruh baya yang nampaknya menjadi 'ketua' panitianya. Dia duduk di pojok, pas di sandaran yang memisahkan setengah kopel mereka dengan kopel bagian kami. Sementara sekitar meja penuh dengan rombongan mereka, sehingga si ibu ketua ini ndak leluasa untuk keluar masuk - terhalang oleh 2 orang anggota rombongannya. Eh, dengan entengnya dan tanpa permisi kepada kami - setidaknya saat itu toh setengah kopel itu 'milik' kami, melompati sandaran pemisah itu untuk keluar masuk ke tempatnya duduk.

Dan, terakhir, yang membuat saya cukup jengah adalah, ketika sudah masuk ke wilayah kopel kami, si ibu ketua dengan enteng sekali 'nungging' membungkukkan badan, tanpa jongkok, mengambil sesuatu di meja 'sebelah' yang ada di bagian kopel mereka, sehingga (sorry) pantat si ibu tentu saja menghadap ke arah saya. Walau si ibu memakai celana panjang dan berbaju panjang, tentu saja pantat-nya masih tetap utuh berbentuk pantat toh. Bukankah lebih elok kalau beliau mau sedikit capek berjongkok sebentar kalau hendak mengambil sesuatu, jeh!

Oke. Itu hak mereka, mungkin mereka tidak anggap kopel wilayah kami adalah 'hak' kami. Mau apa lagi?

Saung itu dikelilingi oleh kolam ikan. Ada banyak ikan mas besar-besar di dalamnya. Tentu saja anak-anak mereka senang bermain dengan ikan-ikan itu. Ada seorang ibu di antara mereka yang memberi makan ikan-ikan itu dengan nasi sisa makan mereka. Ikan-ikan itu tentu saja berebutan memakan nasi sisa itu, gejebar-gejebur suaranya di daam kolam. Anak-anaknya senang dan melongok-longok dengan bersandar pada pagar.

Namanya juga anak-anak, mereka berlarian ke sana ke mari dan berteriak-teriak. Menggangu? Tentu saja tidak. Kami anggap anak-anak yang sehat ya memang begitulah. Walau dulu waktu anak-anak kami masih seumuran mereka, kami biasanya menghentikan ulah mereka kalau sampai agak mengganggu wilayah umum. Bagi kami, tentu saja anak-anak kami itu lucu kalau berlarian kerana sehat. Tapi, belum tentu orang lain suka akan 'kelasakan' anak-anak orang lain toh?

Selesai kami makan, kami pun beranjak pergi hendak membayar di kasir.

Saya lihat, ada 2 ibu muda, satu menenteng kamera pro gede, tadi memotrek-motrek anak-anak mereka yang memang lasak juga. Kedua ibu muda itu asyik dengan BB mereka, cekikikan sendiri, mestinya sih lagi update status mereka di FB ya? Saya mulanya iseng hendak memotrek mereka, tapi, kuatir yang memegang kamera tahu keisengan saya, jadi saya urungkan niat itu. Sementara kedua anak-anak itu bermain lompat-lompatan. Nampaknya luput dari perhatian mereka semua.

Waktu tiba di 'jembatan' kecil menuju jalan ke arah kasir, rombongan mereka memanggil seorang pelayan untuk minta bungkuskan sisa makanan yang ndak habis, sementara kedua ibu muda itu asyik dengan BB-nya.

Tiba-tiba saja saya dan Dede mendengar suara gejebur, persis suara ikan-ikan mas besar yang berebut makanan sisa. Saya dan Dede secara refleks menoleh, ya ampun.... ternyata itu suara satu anak mereka kecebur dalam kolam ikan, rupanya dia nungging di pagar penghalang ke kolam, dan terpeleset dengan kepalanya nyungsep dulu masuk air dengan kaki di atas!

Saya lihat kayaknya mereka terkesima, tidak ada yang berhamburan berusaha menolong anak itu, sementara anak itu diam tengkurap di dalam air, sudah masuk kepalanya di air kolam yang berwarna soklat. Baguslah secara refleks si pelayan lelaki itu langsung mencebur ke dalam kolam menyelamatkan si anak. Ternyata kolam itu cukup dalam, airnya mencapai dada si pelayan tuh!

Saya tidak perhatikan lagi setelah si pelayan berhasil mengangkat si anak ke darat, dan tentu saja anak itu menangis ketakutan. Yang kami dengar ada suara satu ibu yang menanyakan sepatu si anak, padahal si pelayan tadi buru-buru menyelamatkan si anak, tidak memikirkan HP + dompet-nya yang ikut basah kuyup.

Mungkin ada baiknya anda lebih memperhatikan anak-anak anda kalau sedang kopdaran ya?

February 14, 2010

Muludan ala Cerebonan - Nonton Balap Kuda ala nJowo.

Suasananya masih dalam rangka Pasar Malam Muludan di alun-alun keraton Kanoman, Cirebon. Banyak bangunan stand-stand besar-kecil semi permanen terbuat dari rangka bambu dan dinding gribik aka gedhek, yakni anyaman dari bambu yang disayat tipis, beratap daun kelapa kering.

Ada banyak atraksi dan barang dagangan, keperluan rumah tangga dan makanan, dijual di sana.

Ada atraksi tong setan (arena dibuat mirip tong aka tahang kayu besar dengan bahan papan, berukuran besar dan tinggi (sekitar 5 meteran), berbentuk kerucut terbalik - tapi tidak lancip, dengan diameter sekitar 10 meter, untuk tempat orang naik sepeda motor (juga kayaknya pernah ada yang pakai sepeda) berjalan miring nyaris horizontal sesuai kelandaian papan tong memutar-mutar dari bawah ke atas, kemudian turun lagi dari atas ke bawah. Tanpa pengaman sama sekali! Penontonnya berdiri di atas dengan batas ujung papan, kalau tak salah, mengelilingi lingkaran diameter si tahang itu.

Yang
utama tentu saja bola maut, sama seperti tong setan, hanya saja arenanya berbentuk bola, terbuat dari semacam kerangka kawat baja tebal, motor dan pengemudinya berputar-putar secara horizontal dan vertikal. Juga tanpa pengawaman. Bener-bener manantang maut tuh ya! Penontonnya duduk di kursi melingkari si bola, membentuk arena di bawah tenda kayak sirkus begitu, bolanya tertutup tenda.

Untuk anak-anak ada permainan karosel kuda-kuda komidi puter - tenaga pemutarnya adalah crew yang mesti mendorong-nya dengan berlari-lari, juga yang berputar vertikal dan 'ombak banyu' - untuk anak-anak remaja: berupa tempat duduk dari papan membentuk lingkaran, ditopang tali baja yang menyatu di poros tengah, lalu diputar dengan cara dilarikan oleh petugasnya, orang-orang duduk tanpa penahan di depannya, tangan berpengangan pada sandaran, dan si lingkaran berputar pada poros-nya secara bergelombang, mirik ombak begitulah, yang ini tentu permainan cukup maut bagi penumpangnya.

Makanan aneka rupa, dari donat 'kampung' dengan mesin dipajang secara terbuka, kue dolar (sejenis kue jepit datar tipis bertabur wijen), bolang-baling, cakwe, bola-bola aka onde-onde yang digoreng di depan mata kepala anda, juga tahu petis yang ukuran tahu-nya gede-gede, setidaknya segede telapak tangan orang dewasa.

Juga jangan lupa disebut brondong jagung yang memakai mesin pembuatnya segede brongsong keranjang babi terbuat dari besi berkawat kasa tebal untuk menampung brondong jagung-nya, dengan energi api dengan minyak tanah dipompa dulu, yang kalau matang akan mak mbledhug, bunyinya keras sangat mengagetkan anak-anak dan bayi itu, jeh!

Ada banyak permainan ketangkasan seperti memancing ikan-ikanan, menembak bebek-bebekan, melempar gelang, dan lain-lain permainan seperti biasanya ada di Bazaar itu.

Yang cukup menarik bagi saya adalah permainan Balap Kuda.

Ini biasanya disponsori oleh perusahaan tertentu. Biasanya sponsor langganan adalah Pabrik Obat Cap Kepala Kuda, makanya mereka memilih permainan Balap Kuda ini.

Permainan balap kuda itu terdiri dari beberapa 'ekor' kuda gepeng cukup besar, yang dipajang secara vertikal di dinding di ujung stand, ada sekitar 15-20 ekor kuda, terbuat dari kayu, pipih dengan nomor-nomornya. Lalu ada kotak-kotak bernomor 1 s/d 10 kalau tak salah di sampingnya, dari kiri ke kanan. Kuda itu bisa bergerak dengan cara ditarik, ada tali melintang horizontal sepanjang kotak-kotak itu.

Si kuda akan maju selangkah, kalau nomornya keluar dengan cara diundi. Lupa lagi cara mengundi nomornya. Anda boleh menebak kuda nomor berapa yang akan menjadi pemenang. Hadiahnya lumayan besar pada jaman itu: sepeda motor DKW kalau tak salah sebagai hadiah juara utama.

Hadiah lain-lain berupa handuk 'good morning' sebagai hadiah hiburan, atau setumpuk panci enamel, KBH - kuwali baja hitam, sepeda, petromax, dan lain-lain. Pemenang tentu saja yang kudanya sampai di garis finish paling dulu, dan ada hadiah untuk juara 2, 3, 4 dan 5, kalau tak salah.
Biasanya, entah mengapa hadiah utama baru dimenangkan pada malam terakhir acara Muludan.

Disebut ala nJowo, sebab si pembaca nomor (duduk di depan, mengeluarkan nomor undian) yang keluar itu biasanya berlogat njowo yang sangat kental. Dia menyebutkan angkanya, lalu ada satu petugas khusus yang memindahkan posisi kuda dari kotak kiri ke kotak kanan, dengan menarik talinya, sesuai nomor kuda yang disebutkan si pembaca angka.

"Tiga-ne, Jo...." si pembaca meneriakkan angka yang keluar dengan keras lewat mic gede dengan tenaga listrik diesel, mungkin si penarik kuda bernama Bejo, lalu dia memindahkan kuda nomor-3 satu langkah, begitu seterusnya. Cara si pembaca nomor itu begitu seru dan hebohnya, tak kalah dengan penyiar BBC kalau melaporkan reportase siaran langsung jalannya pacuan kuda Derby di England sono, jeh!

Karena stand Kuda balap bersebelahan dengan penjaja brondong jagung dan bolang-baling, saya seringnya ya nonton permainan balap kuda ini.

Eh, ya, stand mereka biasanya berdekatan dengan warung-warung permanen berdinding tembok yang menjajakan limun, es sirup dan cemilan atau nasi rames di pinggir alun-alun. Ada banyak warung seperti ini berjejer di situ, yang biasanya sih pada hari-hari biasa cukup remang-remang, dengan atraksi 'live' show (dengan lampu 'disco' statis, atau paling mati-nyala bergantian, ber-bohlam warna-warni itu) berupa tarian dengan iringan musik OM - Orkes Melayu.

Eh, tadi anda nebak kuda nomor berapa ya?

Muludan ala Cerebonan - Tradisi Tawurji, jeh!

Baca cerita ttg Sekatenan di Yogya yang diceritakan mBak Shanti di sini, mengingatkan saya pada suasana Muludan (Maulud-an) di Cirebon. Jaman saya masih SD-SMP sekitar tahun 1960-1970-an. Di Jogja dan Solo (juga Semarang?) - Joglosemar, sebutannya adalah 'sekatenan'.

Kalau ndak salah, perayaan Muludan ini berkenaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW - tahun ini pas pada tanggal 26 Februari 2010. Mengutip wikipedia: "
Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti 'hari lahir'. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW."

Biasanya, di Cirebon, menjelang hari-H sebulan sebelumnya, ada 'pasar malam' (ceritanya nanti berlanjut terpisah ya) di alun-alun Keraton Kanoman yang letaknya di belakang Pasar Kanoman. Pertanda datangnya Maulud ini biasanya diawali dengan berhembusnya angin puso(?) yang terus-menerus setiap hari, angin yang kering berhembus cukup kencang, tidak enak rasanya kalau menerpa badan kita, begitu kencang-nya sampai-sampai tanah di halaman rumah kakek saya (di kampung Keprabonan) yang biasanya berdebu menjadi 'bersih' tanpa debu halus.

Angin ini kalau gak salah bertiup dari laut ke darat, sehingga umumnya nelayan pada berlibur - mungkin memang sengaja alam meniupkan angin ini supaya para nelayan bisalah cuti barang beberapa hari. Juga tiupan-nya cukup kencang sehingga mangga gedong di halaman rumah 'elang' (gelar ningrat keraton di Cirebon) di sebelah rumah kakek saya sering berguguran, begitu pun dedaunan pepohonan lain, pada berguguran, ngeruntah (nyampah) sajah, persis kayak musim gugur di Eropah atau Amrik sana mungkin ya, jeh!

Dan, biasanya pula, pada 'musim' Muludan begitu ada serombongan anak-anak remaja usia SD-SMP yang berpeci, dengan sarung dikalungkan secara menyilang di bahu, bertelanjang kaki, bergerombol bertiga-tiga atau paling banyak berlima-lima, akan berkeliling kota, berjalan kaki, D-2-D (door to door) mendatangi rumah-rumah dan toko-toko di seluruh kota dan kampung Cirebon, menyanyikan lagu: Tawurji.

"Tawurji..... tawur..... selamat panjang umur!" Begitu kira-kira syair lagu tsb. dinyanyikan di depan-depan rumah atau toko. Memanggil-manggil penghuninya supaya keluar dan menawurkan (menabur, melempar, menyawer) secara harafiah uang recehan logam ketipan (10 sen) atau talenan ('e' - sate) aka 25 sen, atau bahkan ada juga recehan 5 sen atau 1 sen (bolong) yang ditawurkan ke udara, lalu dipunguti secara berebutan oleh rombongan anak-anak (santri?) itu. Mereka akan melaksanakan tradisi CC - coins collecting begini sejak pagi sampai menjelang maghrib.

Mereka akan terus menyanyikan lagu 'tawurji' sampai penghuni rumah atau toko keluar dan menawurkan uang recehan tsb. Kalau anda menaburkan banyak uang recehan, ndak lama rombongan lain akan datang menyambangi rumah anda. Ndak tahu bagaimana caranya mereka berkomunikasi saling berbagi info ini, waktu itu pan belum musim HP tuh ya, jeh!

Jaman itu, waktu saya SD, uang setalen cukup untuk membayar sepotong combro di kantin sekolah. Saya ndak tahu apakah uang receh yang terkumpul itu lantas disumbangkan untuk padepokan mereka, atau untuk pribadi mereka, atau untuk sumbangan lain seperti akhir-akhir ini sedang 'musim' pengumpulan coin untuk ini atau itu dengan kampanye via FB, MP dan milis di i-net itu lho.

Saya ndak tahu apakah tradisi itu masih ada sampai sekarang, juga ndak tahu apa makna lagu 'tawurji' itu, mungkin juga ada 'selamat panjang umur' itu berkaitan dengan HUT Nabi Muhammad SAW?

Pasar malam di alun-alun Keraton Kanoman berlangsung sekitar 30 hari, pada malam hari-H-nya, ada penyucian benda-benda pusaka, sebutannya kalau tak salah 'malam panjang jimat' atau apa gitu, sudah lupa lagi. Juga ada penabuhan 'gong sekati' (gamelan sekati?). Kalau ndak salah, 'sekaten' sendiri juga berasal dari 'sekati' ini.

Bagaimana suasana Mauludan di tempat anda?

February 11, 2010

Hati-hati, Ada Predator Gentayangan di Internet!

Begitu mungkin kira-kira maksud wartawan yang menggunakan istilah 'predator' untuk pemangsa yang gentayangan di internet.

Istilah ini muncul agaknya dipicu dengan adanya berita bahwa seorang anak perempuan (14 tahun) yang kabarnya (cuma kabarnya, katanya, konon aja atau sesungguhnya ya?) dibawa 'kabur' oleh seorang pria dewasa (18 tahun?) yang 'menipu'nya, mengajaknya jalan-jalan, yang dikenalnya via FB di internet. Tapi versi lain bilang bahwa anak itu pergi secara sukarela karena cinta, sayang, suka kepada pria dewasa tsb - apa masih anak-anak sih ya, lha baru umur 18 gitu lho, jeh!

Benernya sih gak salah, sesiapa saja yang suka 'memangsa' ya sebutannya predator. Tapi, mestinya yang namanya predator itu bukan barang asing, dan bukan sesuatu yang hidup di alam maya internet.

Predator biasanya dimaksud kepada hewan yang lebih berkuasa atas hewan yang berada di bawah (kekuatannya, kebuasannya), kalau sama-sama kuat, biasanya saling memangsa, yang kalah baru-lah menjadi mangsa. Memang sih, ada istilah 'homo homini lupus' - orang merupakan srigala bagi orang yang lain. Sesama manusia sudah biasa saling 'memangsa' - bukan dalam arti harafiah memakan kurbannya dengan cara dicabik-cabik lalu digergogoti, dikunyah-kunyah dan ditelan dagingnya demi hidup, tapi bisanya secara ekonomi atau secara.... seks?

Kalau secara ekonomi, agaknya cukup jelas, bisa terjadi antara sesiapa saja, pria-pria, perempuan-perempuan atau pria-perempuan. Ada yang mungkin menjual sesuatu, tapi ternyata barang yang dijual tidak sesuai - ini bisa terjadi penipuan. Atau ada seorang pria yang mengobral 'cinta', lalu 'memangsa' kurbannya - kebanyakan wanita, secara ekonomi: tu para wanita pada kasih uang untuk biaya si pria, entah kuliah, modal usaha atau apa saja. Mereka baru sadar sudah tertipu oleh si 'predator' kalau ternyata si pria mengobral cintanya kepada sesiapa saja. Padahal mulanya si wanita ya senang 'berkurban' demi si pria, karena suka, sayang dan cinta toh?

Di internet, dalam jejaring sosial apa pun, entah FB, MP, milis atau lain-lain-nya (saya tak tahu apa saja itu), ndak ada tuh namanya 'orang' maya bisa memangsa 'orang' maya lain. Mestilah ada 'orang' maya yang ketemu di darat dengan 'orang' maya lain, baru bisa terjadi interaksi antara 'pemangsa' dengan 'mangsa'nya.

Sepanjang mereka masih bermain-main di dunia maya internet, tentu saja tidak akan ada kejadian apa-apa. Apakah anda bisa memukul saya, menggigit saya secara fisik di internet? Tentu tidak bisa bukan? Anda baru bisa menggigit seseorang kalau anda yang semula merupakan mahluk 'maya', bertemu di darat dengan mahluk maya yang lain.

Kalau bicara 'mangsa' dan 'pemangsa' secara seks - ini selalu menjadi topik yang paling hot dan menarik toh, biasanya yang dianggap 'mangsa' atau 'kurban' selalu pihak perempuan. Ya ndak? Padahal, kalau dipikir,antara keduanya toh terjadi interaksi. Sama-sama suka, sama-sama ingin. Baru terjadi interaksi begitu. Ada rasa tertarik satu sama lain terlebih dulu, baru keduanya 'turun' dari 'langit' dunia maya. Kalau ndak, tentu tidak akan terjadi interaksi secara fisik di antara keduanya.

Apakah anda bisa mencium secara fisik idola anda via internet? Paling banter anda kirim gambar bibir entah milik siapa, atau foto bibir anda ke idola anda itu kalau cuma via internet toh? Tentu saja pada mulanya antara keduanya mesti saling tertarik satu sama lain, saling suka sama lain, baru mau dan berani bertemu di darat toh? Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya..... tentu terserah anda dwong, dweh, jweh!

Jangan seperti pulisi kita ketika baru-baru saja mengenal istilah dunia komputer. Katanya pernah mereka mengungkap satu kelompok pelaku 'cyber crime' - kejahatan yang dilakukan menggunakan kecanggihan teknologi komputer, yakni para perompak yang menjarah warnet dan membawa kabur komputer, berikut software yang ada di dalam hard disk-nya, jeh!

Predator tidak akan 'menjadi' predator, kalau tidak ada 'mangsa'nya toh? Kata pepatah sih "bukan bunda salah mengandung.... [tapi bapak-e sing salah....]", kalau sudah merasa menjadi 'mangsa' kemudian marah-marah dan menyalahkan predatornya, itu sih ibaratnya 'dulu loyang kemudian besi' dong!

Jadi, tentu saja bukan media internet, entah FB, MP, milis yang salah kalau sampai terjadi kurban yang menjadi 'mangsa' dan munculnya 'pemangsa' yang mesti turun dulu dari dunia maya internet itu, bukan? Jangan pula coba salahkan 'pemangsa'nya atuh, kalau semulajadi si 'mangsa'nya memang suka menjadi 'mangsa' karena awalnya memang suka. Apalagi kalau kedua-duanya bukan lagi anak-anak di bawah umur, sudah dewasa, berkeluarga dan punya anak-anak pula, jeh!

Anda umur berapa tahun ini?








PS: Foto diambil dari MS Office ClipArt media file.

February 09, 2010

Nraktir temen-teman Maksibar Pas Jarig.

Jarig, bukan jabrig, bacanya [yareh] - ini boso Londo.

Sebagai generasi 'in between', dengan sebagian orangtua kami yang mengenyam pendidikan di jaman Belanda, tentu saja di antara kami ada yang masih berbasa Belanda, setidaknya bisalah ngomong lekker, ikke [ike], jij. Atau ik hou van je.

Mungkin juga pengaruh kolonial, kalau ada yang jarig, eh, HUT kami mesti ditraktir makan siang bareng di resto, atau kalau yang kaya-raya, the haves, kalau pas HUT ke-17 ya bikin pesta HUT 17 hari 17 malem, ngundang orang sekampung, nanggap jaran kepang, eh, bukan, tentu band pengiring dans dwong, dweh, jweh!

Setting waktu 1974-1976-an. 'Kami' di sini tentu saja saya dan teman-teman saya sekampung, eh, sekampus di Yogya, ding!

Saya termasuk 'golek' - golongan ekonomi lemah, lha bisanya kuliah di Yogya, karena 'uang pangkal'nya cuma Rp 8.000 [dibanding di Salatiga, Satya Wacana - Rp 20.000, dan Surabaya, Universitas Petra - Rp 100.000] dan uang kuliah cuma Rp 2.000 sebulan, termasuk makan 3 kali sehari dan mondok di asrama Realino berapa ya bayarnya, kayaknya sih sekitar Rp 1.000 per bulan kalau gak salah. Soalnya, saya ingat sebulan saya terima wesel Rp 5.000 - itu ajah masih bisa nabung.

Nonton biskup seringnya sih nonton 'film seks', maen-nya tengah hari bolong aka matinee show, cukup bayar Rp 50 aka sekets. Karcis malamnya kalau ndak salah ya Rp 100, itu ajah sudah di gedung biskup kelas Theater, pake Aircon dan tempat duduk jok busa yang nyaman, belum musim biskup XXI aka Studio 21 Cinema.

Jadi, karena kami semua jauh dari rumah, tentu saja kami cuma maksibar kalau ada yang jarig di kelompok atau geng (gang) kami, sekitar 10 orang saja yang suka ngegerombol bareng di kampus atau di luar kampus.

Favorit maksibar jaman itu cuma Ayam Goreng Ny. Suharti (masih kolaborasi suami-isteri) - belum datang saingannya si kolonel KFC, yang di Jalan Adisucipto arah ke bandara itu. Atau RM Colombo di Malioboro sono - heran, ndak pernah ada yang terpikir ngajak makan di Lie Djiong, padahal ada 2 orang anggota gang kami asli Yogya tuh. Kalau yang jarig banyak duit, biasanya kami pesan minuman yang cukup mewah: es kopyor, jus alpokat, atau es Shanghai.

Pas giliran saya jarig, saya sudah mengumpulkan sisa jatah wesel saya beberapa bulan, mereka insist (opo yo boso kito-nyo?) untuk makannya di Bakso Sobo di alun-alun sono. Alasan mereka sudah sering makan di tempat-tempat yang berbau resto, jadi bosen. Pesan minumannya juga cuma sebatas es kelapa muda saja.

Belakangan, saya baru nyadar diri, lha saya pan termasuk 'golek' dibandingkan anggota gang kami yang lain. Ah, memang senang ya punya teman-teman yang begitu pangerten - pengertian seperti mereka.

Dasar saya telmi sih ya?

February 08, 2010

Panggang Ayam Kecap? Halah, Di Rumah Juga Ada, Jeh!

Kalau anda lama mukim di Jakarta, kawasan kota (Glodok - Pancoran), atau suka maen ke kawasan kota, mestilah anda tidak asing dengan RM Panggang Ayam Malang. Mereka sudah lama berdagang panggang ayam di Jalan Pinangsia Raya sana. Sejak 1973-an, ketika saya masih SMA, saya sudah beberapa kali mencicipi makan Panggang Ayam Malang yang COSTI - Crispy Outside, Soft & Tender Inside itu.

Katanya mereka memanggang ayam secara 'tandoor', memakai pembakaran besar dipanggang dengan waktu lama, sehingga kulitnya bisa begitu kemripik. Tahun 1973-an itu, mereka menjual seekor ayam panggang utuh cuma sekitar Rp 5.000 per ekor. Sekarang? Mungkin di atas Rp 100.000 per ekor.

Saya ndak tahu mengapa mereka menyebut diri sebagai RM Panggang Ayam Malang. Apakah keluarga mereka berasal dari kota Malang, Jawa timur? Atau, memang mereka suka bicara straight to the point, tanpa tedeng aling-aling. Mana ada toh ayam yang merasa 'beruntung' kalau diperlakukan begini: digorok lehernya, dicabuti bulunya, dikeluarkan isi perutnya, direndam dalam bumbu, lalu dipanggang dalam tandoor sampai kulitnya kemripik, masih dipajang-pajang di lemari kaca dengan cara digantung pula. Apa masih kurang 'malang' tuh nasibnya ya?

Tapi, saya ndak mau ngomongin soal si Panggang Ayam Malang itu.

Saya cuma mau cerita perkenalan pertama saya dengan Ayam Panggang SM yang di kawasan Cilandak - Ragunan itu. Dulu, 1985-an, mereka buka warungnya dengan sederhana saja, di sisi kiri jalan Cilandak Raya yang ada kawasan industri itu, sebelum pertigaan yang arah ke Jalan Margasatwa (?), Ragunan (pintu belakang KB - Kebun Binatang), sekarang mereka pindah di Jalan Margasatwa itu, sisi kanan jalan sebelum pintu belakang KB. Bekas tempat mereka juwalan dulut itu, ya akhirnya buka kedai ayam panggang juga, lupa lagi namanya.

Nah, pertama kali saya diajak makan Ayam Panggang SM [gak pernah tahu apa kepanjangannya: Sabar Menanti, Suka Makan atau apa ya?] itu ya diajak oleh sohib saya yang kocak itu. Masih di kedai yang lama, tentu. Meja makannya sedikit, tempatnya juga kecil - jauh dibandingkan dengan yang sekarang. Pilihan menunya cuma Ayam Panggang Bumbu Kecap atau Ayam Panggang Bumbu Rujak, tentu ada ubo rampe kondimen lain-lain, buntil daun tales buatan mereka uenak tenan, jeh!

Pesan-nya boleh seekor, setengah ekor atau seperempat ekor. Jadi, waktu saya ditawari mau ayam panggang apa, saya tentu pilih saja dua-duanya, belum pernah coba toh. Tapi, apa kata sohib saya? Ayam Panggang Kecap? Halah, ngapain, di rumah juga ada. Mending pesan yang bumbu rujak ajah dong!

Anda suka yang mana?

February 07, 2010

Enak Juga Disetirin Supir Chokin, Ya!

Sohib saya di kantor yang paling getol mendorong saya cepat-cepat belajar setir mobil, sebab kantor akan memberi mobil inventaris kalau saya sudah bisa setir sendiri. Jadi waktu saya kerja bareng dia di gedung D di kawasan Jalan Jend. Sudirman, Jakarta, itulah saya mulai belajar setir mobil. Belajarnya dari instruktur perempuan yang dikenalkan oleh teman nyonyah.

Si ibu instruktur yang cuma sedikit lebih tua dari saya itu datang menjemput ke rumah saya pagi-pagi, langsung belajar setir di keramaian lalu lintas pagi hari, lalu berakhir saya diturunkan di kantor, pas jam masuk kantor pukul 09:00. Dan, uniknya, selalu saja si ibu bawa orang ketiga duduk di belakang, entah temannya, anaknya atau pembantunya, berganti-gantian. Belakangan baru saya tahu bahwa ternyata dia agak rikuh mengajari lelaki setir mobil, sebab biasanya muridnya selalu perempuan.

Jadi, akhirnya saya bisa setir mobil. Dapat inventaris mobil Daihatsu Charade yang buntung bagian belakangnya, maksudnya tanpa ekor itu.

Sekali waktu, sohib saya ajak saya ke luar. Pakai mobil milik dia. Saya diminta setir mobilnya. Sambil jalan, dia rebahkan kursi duduknya. Lalu rebahan dah dia di kursi depan di samping saya.

Sambil mulai memejamkan mata, dia nyeletuk: "Wah... ternyata enak juga ya."

"Enak apanya?"

"Disetirin ama supir chokin, berdasi pula!"

Saya cuma mesem sajah, gak bisa ngomong apa-apa.

Anda tahu yang dimaksudnya bukan?

Jelas Beda, Dong!

Lagi inget (alm) sohib saya jaman kerja di gedung D di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Sohib saya nih orang Sunda, matanya belo dan kulitnya sawo mateng, anak pejabat militer cukup berpengaruh di jamannya BK - Bung Karno. Itu yang kami tahu dari ceritanya. Karena waktu muda bandel, dia dikirim ayahnya sekolah di Taipei, Taiwan, cukup lama sehingga dia fasih sekali berbasa Tionghua.

Sohib saya orangnya luwes dan murah hati, banyak yang senang bergaul dengannya. Orangnya juga humoris, ada ajah bahan yang dia ceritakan sebagai lelucon, atau 'practical jokes' - walau kadang-kadang ada yang cukup bikin orang lain tersipu. Saya satu departemen dengannya, sering pergi keluar bareng untuk urusan kantor dan makan siang (banyak tempat makan enak yang saya tahu dari dia). Jadi saya lumayan kenal karakter dan sifatnya.

Suatu hari, pas musim hujan, seperti biasa, AC di kantor jadi makin dingin. Kami jadi sering ke toilet. Pas sekali waktu kami kencing bersamaan rame-rame sekantor. Seperti anda tahu, tempat urinoir di toilet pria 'kan yang model berdiri berjejeran, paling dibatasi sekat antara satu dengan yang lain. Anda bisa 'mengintip' nengok ke sebelah kalau mau, sebab sekatnya cuma setengah badan saja. Kalau mau tahu suasananya, bisa 'ngintip' di sini.


Nah, sohib saya pas berdiri di sebelah saya dan dia nengok ke bagian saya. Saya sudah tahu akan ke mana arahnya. Jadi, waktu dia mulai dengan bilang:"Wah, beda ya gua punya ama elo punya......" Teman-teman yang lain mulai tertawa-tawa, sudah tahu akan ada lelucon baru dari dia.

Tapi, sebelum dia lanjutkan kalimat berikutnya, saya segera memotong:"Iya. Jelas beda dong. Gua punya 'kan lebih terang!" Langsung kami semua tertawa dan dia diam cep-kelakep, gak bisa ngomong lagi cuma nyengir merasa ketohok kali itu. Jelas dong, dia punya mestinya ikut sawo mateng ya?

Anda ngerti yang dibicarakan toh?










PS: Gambar diambil dari wikipedia.

February 06, 2010

Membeli Emas Melapis Buddha Rebahan.

Saya ndak begitu yakin patung Buddha yang mana.

Banyak sekali kuil di Bangkok, yang umurnya ratusan tahun. Dan tentu saja banyak patung Buddha di dalamnya. Kayaknya sih patung Buddha yang sedang rebahan. Waktu itu sedang direstorasi. Saya coba cari di google, nemunya Wat Po, dibagun pada abad 19, dengan patung Buddha rebahan yang panjangnya 46 meter, tingginya 15 meter, dilapisi emas. Mungkin juga patung Buddha inilah yang saya lihat waktu itu.


Tahunnya sekitar 1989, saya ingat waktu itu sehabis saya melihat pameran barang-barang promosi di Taipei, Taiwan, pulangnya saya mampir di Bangkok dan ikut city tour.

Mestinya sih saya diajak ke Wat Po, satu atraksi turis yang top. Dan, saat itu sedang direstorasi. Lapisan emas pada patung ditambahkan lagi atau bagaimana persisnya, yang saya ingat kita bisa ikut beli 'daun emas' - yakni lembaran 'kertas' tipis yang dibuat dari emas 23 karat yang dipangkung, dipukul-pukul dengan palu kayu, atau alat khusus berupa 2 buah drum silinder yang membuat emas menjadi lembaran yang begitu tipisnya, sehingga bisa dijadikan pembungkus coklat yang dapat anda makan. Baca ceritanya di sini ya.


Saya lupa lagi berapa baht mesti kita bayar untuk selembar 'daun emas' seukuran sekitar 50 mm x 50 mm, kita mesti antri membayar di bagian penjualan, lantas diberi selembar 'daun emas' yang sangat tipis yang disisipkan pada sehelai kertas, kemudian kita serahkan ke tukang yang sedang memangkung bagian dari patung Buddha itu.

Oleh sang tukang, 'daun emas' dipisahkan dari kertasnya, lalu ditempelkan pada bagian yang hendak ditempeli emas, lalu dipangkung pelan-pelan sampai menyatu dengan lembaran 'daun emas' yang sudah terlebih dahulu melekat.

Tuk-tuk-tuk..... tak lama emas sumbangan kita pun melekat menyatu dengan yang lain, menjadi bagian dari tubuh sang Buddha yang besar sekali itu. Satu akal yang cerdik untuk melibatkan kita ikut menyumbang.


Anda juga beli 'daun emas' untuk patung itu jugakah?









PS: Gambar diambil dari sini.

Rumah Berjendela Tanpa Kaca.

Begitulah keadaan rumah pertama kami waktu selesai dibangun.

Tahunnya 1984, selesai dibangun, pemborongnya masih punya hutang uang muka, penyelesaiannya ya swa-swa dicincaikeun begitu saja, lha orangnya dah ngabur entah kemana, mau bilang apa? Beberapa anak buahnya ditinggal belum dibayar, ya terpaksa kami mesti membayar mereka. Si mandor pemborongnya sudah tahu sih ya, pasti kami 'mau' membayari mereka.


Jadi, tabungan kami sudah habis blas.

Total biaya yang diperkirakan sekitar Rp 20 jutaan, sudah membengkak jadi Rp 25 jutaan dan masih kurang sekitar Rp 2,5 juta untuk beli kaca jendela dan finishing kecil-kecil lainnya. Begitu ajah kami sudah diuntungkan karena punya simpanan US$, dengan adanya devaluasi US$ 1 dari semula Rp 625-an, menjadi Rp 900-an, kalau tak salah - ada satu kontak MP kita yang mengerti dan tahu persis kronologis devaluasi dulu-dulu, biasanya dia mau koreksi kalau salah, tapi dia dah lama absen nih, jeh!


Saya dan nyonyah coba pinjam ke dua orang ie-ie (adik calon mami mertua), yang satu bilang baru saja beli tanah, sedang yang lain baru saja mengkonversikan rupiahnya ke US$. Jadi kalau mau, pinjaman dalam bentuk US$ dan dikembalikan dalam US$ pula. Saya tolak tentu. Lha, itu 'kan sama ajah kita rugi dua kali, jual US$ dengan kurs dikurangi, dan nanti mesti beli dengan kurs beli.

Saya jadi teringat sohib saya di Yogya.

Saya interlokal dia dan tanya apakah bisa saya pinjam uang dan dibayar secara mengangsur 10 kali. Tanpa banyak cingcong, sohib saya lantas tanya nomor rekening saya dan besoknya sudah langsung masuk. Kebetulan sama-sama punya rekening di Bank Niaga, jaman itu belum musim ATM, jadi kalau transfer uang bisa memakan waktu 3-4 hari, kecuali sama bank-nya.


Rumah akhirnya selesai dipasang semua kacanya.

Begitu selesai, eh, langsung ada yang datang menengok dan menanyakan apakah rumah kami hendak dijual. Iseng kami tanya, dia bilang berani bayar Rp 100 juta, untuk rumah bertanah 13 x 20 m dan bangunan 13 x 14 m. Waktu itu real estate belum seramai sekarang, harga segitu memang agak di atas rata-rata. Tapi kami membangun untuk tinggal, jadi tentu saja kami tolak.


Dua puluh tahun kemudian, 2004, kami mesti pindah ke BSD, dan rumah kami dibeli oleh tetangga belakang rumah, dengan harga Rp 800 juta. Kalau dihitung kurs US$ saat membangun yang sekitar US$ 1.000, berarti nilainya saat itu US$ 100.000 dan saat dijual tahun 2004 kurs US$ 1 = Rp 8.000-an, nilainya adalah US$ 100.000 juga ya? Gak untung dan gak rugi tah?

Pinjaman kepada sohib saya lunasi 10 bulan kemudian, saya angsur sebelas kali. Tentu bukan permintaan sohib saya, yang ke-11 itu inisiatip saya sendiri ajah.

Anda punya sohib juga tentu ya?








PS: gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

February 05, 2010

Surprise!

"Dosen" boso Jowo saya gak lulus ujian di kampusnya. Jadi dia mesti kerja. Jatah uang kuliahnya sudah habis. Cita-citanya mau jadi penyiar Radio ABC atau bahkan BBC, kayaknya mengalami hambatan. Dia terpaksa mesti kerja di satu proyek di Semarang.

Sekali waktu, karena kangen pengen ketemu - jaman belum ada HP, gak bisa SMS-an, belum pula ada warnet - gak bisa chatting atau YM-an, apalagi BBM-an, saya sengaja ke Semarang naek Travel dari Yogya. Takut kesorean, saya naik yang agak siangan. Ternyata sampainya malah sebelum jam pulang kantor.

Saya sengaja ndak kasih tahu dia, mau bikin surprise ceritanya sih, jeh!

Jadi saya tunggu di pos satpam, proyeknya masih di tengah tanah kosong, kantornya ada di tengah-tengah agak jauh, tempat dia kerja adalah kontraktor untuk membangun PLTU atau apa, pokoknya proyeknya PLN.

Pas jam pulang kantor, jam 16:00 sore, satu persatu karyawan-nya pulang lewat pos satpam. Saya perhatikan satu per satu tidak ada 'dosen' saya lewat. Sampai terakhir supervisor-nya lewat sekalipun, tidak ada nampak dia.

Satpam-nya cukup baik hati, dipinjamkannya sepeda untuk patroli-nya kepada saya, untuk saya pakai menuju ke gedung semi permanen - bedeng ber-air conditioner, coba ditanyakan barangkali dia sedang lembur. Tiba di sana, hanya ada OB yang bilang bahwa 'dosen' saya sudah pulang ikut naik kendaraan pick up inventaris kantor.

Saya bergegas balik ke luar, coba menyusul mobil pick up. Tapi kata satpam di pos bilang sudah lewat sejak awal. Ya sudah. Surprise-nya gatot - gagal total. Saya kembalikan sepeda dan segera mencegat angkot menuju rumah bibi-nya di kawasan Jalan Thamrin, kalau ndak salah di sekitar simpang yang ada Gedung Lawang Sewu-nya itu.

Tiba di sana, benar saja dia sudah lama tiba di rumahnya.

Pantas saja saya tidak mengenalinya, rupanya rambutnya sudah dipotong pendek. Biasanya berrambut panjang sebahu (mau seberapa lagi kalau sebahu masih dibiarkan panjang toh?), ternyata sudah pendek model Demi Guynes Kutcher
waktu maen film Ghost itu. Jadi kami cuma ngobrol sebentar, saya mesti buru-buru balik ke Yogya nguber travel paling akhir jam 20:00. Dia tanya kenapa gak bilang mau datang, lha namanya juga mau kasih surprise, jeh!

Anda pernah dapat surprise tah?






PS: Foto Demi Moore diambil dari sini.

Rahasia Sukses Seorang "Pribumi".

Meski judulnya bilang soal 'pribumi', tapi saya ndak bermaksud cerita ttg si SARA nih ya.

Kalau sekarang Kopdaran, biasanya merujuk ke kumpul-kumpul ama sesama temen-temen di i-net, baik milis atau MP atau FB atau lain-lainnya yang saya ndak tahu apa itu. Lha, kalau kopdaran djaman doeloe? Ya tentu saja sama juga, acara kumpul-kumpul sesama temen, entah eks satu kampus atawa temen senasib mondok di asrama.

Tahunnya 1987, bulannya Desember, tanggalnya yang sudah agak lupa. Kayaknya sih belum lama sesudah Natalan. Saya ingatnya karena ada proyek side job dari sohib saya: survei ttg properti di Balikpapan. Sohib saya dapat job untuk melihat prospek satu daerah dekat pantai Balikpapan untuk dijadikan ruko.

Saya ijin cuti ke kantor, seminggu, lalu saya ke Balikpapan.

Eh, kebetulan saya ingat ada teman bekas sekampus, atau bekas teman sekampus(?) yang mukim di Balikpapan. Kerja di perusahaan minyak yang terkenal di sana, dan kabarnya dia sukses berkarir di situ. Jadi saya interlokal ke sohib saya di Yogya [belum musim telepon genggem aka HP, jadi mesti pake telepon station di rumah atawa di kantor], tanya nomor telepon teman kita yang di Balikpapan itu.

Dapat nomernya, segera saya hubungi.

Saya tanya, apakah bisa ketemu kopdaran barang sejenak, sebab waktu itu kira-kira sudah 10 tahunan saya meninggalkan Yogya dan tidak jumpa dia. Saya merasa waktu di Yogya sih cukup dekat, walau bisa saja saya cuma GR doang merasa dekat sepihak ya?

Eh, dapat respon positip. Boleh, datang saja ke rumahku sore ini, katanya. Ya, tentu saya datang, diantar satu orang dari kantor yang punya proyek. Pas hari itu selesai tugas saya survei dan wawancara prospek untuk properti tsb. Besoknya saya sudah mesti balik ke Jakarta.

Jadi, tentu saja sorenya saya datang ke rumahnya. Berbasa-basi sebentar, saya diajaknya ngobrol di dapurnya, sambil dia mempersiapkan makanan dan minuman. Ternyata dia sedang mengadakan acara Natalan bersama teman-teman sekantornya, saya pas datang ketika tamu-tamunya belum pada datang.

Tak lama tamu-tamunya berdatangan.

Dan, segera saja dia sibuk mengurus tamu-tamunya, sementara saya ditinggal sendiri saja di dapur. Saya tunggu sampai sekitar 125 menit, dia ndak pernah balik ke dapur. Entah lupa ada bekas temannya (rupanya benar saya cuma dianggap 'bekas' teman saja) ditinggal di dapur atau ada apa gerangan maksudnya, saya ndak pernah tahu. Sebab saya akhirnya meninggalkan rumahnya lewat pintu samping, ndak pamitan lagi sebab saya tengok dia begitu sibuknya berhaha-hihi dengan teman-teman sekantornya.

Lama kemudian, sekitar 20 tahun, barulah saya tahu penyebabnya, itu pun saya diberitahu sohib saya yang di Yogya: rupanya dia mengaku bahwa dia pribumi ketika wawancara di kantor tempat dia bekerja, sehingga kedatangan saya yang bermata sipit - jika dikenalkan kepada teman-teman kantornya, kuatir bisa membuka 'rahasia'nya sebagai pribumi.

Jadi, anda non-pribumi tah?

February 04, 2010

Kita Dans, Yuk!

Katanya irama lagu 'Pasar Minggu' yang dimulai dengan 'papaya, mangga, pisang jambu...., dibawa dari Pasar Minggu.....' itu adalah lagu berirama cha-cha-cha. Satu jenis tarian berasal dari Amerika Latin, persisnya sih dari Kuba yang populer sebagai tari pergaulan. Secara gampangnya, langkah kaki dansa ini adalah maju tiga langkah, mundur tiga langkah, dengan banyak variasi sesuai improvisasi yang sudah ahli.

Tapi, biar pun lagu 'papaya' itu berirama cha-cha-cha, tentu saja ndak klop untuk pengiring dans kayaknya sih ya. Lha, dans ball room yang bisa anggun ini, koq ya masak iya diiringi lagu yang inferior bawa-bawa 'pasar' dengan buah-buahan lokal segala toh?

Jadi, dengan alasan untuk memperluas pergaulan, saya diajak oleh teman seasrama saya untuk kursus dans (ini asli basa Belanda, yang kemudian jadi basa Indonesia: dansa). Jaman masih kuliah. Katanya, kita mahasiswa 'kan mesti luas pergaulannya, masak dans-nya cuma bisa 'cheek-to-cheek' dengan lagi-lagi slow ajah, atau 'a-go-go' dengan lagu soul itu, yang asal gerak-gerak dan goyang-goyang seperti biasa dilakukan jaman SMP-SMA dulu?

Belajar ball room dance yang lebih elegan dan elite itu dong!

Termakan oleh kampanye teman saya, akhirnya saya ikut juga mendaftar kursus pada sepasang guru tari yang memang pasangan penari pro yang pernah memenangi kejuaraan entah kompetisi apa, ada piala-nya dijejer di lemari. Tempat kursusnya di kawasan Kota Baru, Baciro, Ngayogyakartahadiningrat, rumah kecil dengan tempat latihan cukup sempit.

Belakangan, saya baru tahu, mengapa teman kita begitu getol ngajak saya ikut kursus dans, rupanya dia bertujuan supaya bisa sharing ongkos transpor ke sana, dari Gejayan, Mrican ke Baciro naek becak. Mayan toh kalau bisa dibagi dua, ngirit ongkos dikit, jeh!

Hari pertama ikut kursus, kami disuguhi demo oleh miss dan mister-nya, pasangan suami isteri yang menyuguhkan dans aneka gaya: cha-cha-cha, waltz, tango, jive dan lain-lain. Lalu teori langkah kaki dasar. Juga etiket dans yang baik dan bener: bagaimana mengajak wanita untuk dans, mesti membungkukkan badan, menekuk kaki, juga tata cara memegang bah, tangan mesti bagaimana menyentuh punggung, dan seterusnya.

Mulanya kami dijanjikan oleh miss - instruktur dans yang kasih kursus, bahwa setiap peserta pria akan ada pasangan wanitanya. Oleh karena yang mendaftar kebanyakan pria, maka untuk sementara kami mesti berpasangan dengan pria. Bergantian berperan sebagai pria dan wanitanya, sebab langkah kakinya 'kan terbalikan antara pria dengan wanita.

Tapi, setelah ikut kursus sekitar 2 bulan, seminggu sekali pas hari Minggu ajah, saya kebagian-nya dapat pasangan pria melulu. Belajarnya tentu jadi bingung, sebentar berperan jadi pria, sebentar berperan jadi wanita. Setiap kali ditanyakan mana pasangan wanita-nya untuk latihan, si miss selalu mengulur-ulur berkelat-kelit dengan berbagai alasan.

Ya sudah, di akhir bulan ke-2, saya cuma bilang terima kasih ajah kepada si miss. Gak banyak cing-cong saya berhenti begitu saja. Rugi sih, memang, tapi daripada terus-menerus di'hibur' dengan janji-janji kosong, dan si miss sendiri agaknya tidak diijinkan oleh si mister-nya untuk menjadi pasangan peserta kursus.

Anda mau ikut kursus dans begitu?


IT'S WORLD TIME: