June 24, 2010

June Trip (1) - Maksud Hati Berangkat Subuh, Apa Daya Bangunnya Kesiangan, jeh!

Saya bersyukur sekali, kali ini diberkahi 'waktu' untuk bikin trip. Berturut-turut, May bersama The Tomb Hunter, June ini bersama nyonyah dan si Dede. Kebetulan ajah karena April itu rumah kami laku terjual dengan baik dan benar, jadi ada sisa 'waktu' sedikit buat membiayai perjalanan ini.

Sudah set waktu alarm bangun pukul 04:00 subuh, Jumat 11 Juni 2010. Saya langsung siap-siap, baru membangunkan nyonyah. Agak molor dikit baru dia mandi dan siap-siap. Bangunkan Dede agak susah. Akhirnya baru berangkat sekitar pukul 06:30

Isi bensin bentar, lalu berputar di Pejompongan dan bablas masuk tol di depan Kehutanan, bablas tol-to-tol sampe Cikampek. Perjalanan enak, tanpa macet. Jalanan juga bagus, lalu lintas ramai terkendali.

Lajur sepanjang pantura mulai keluar Cikampek menuju Cirebon, umumnya sudah dibagi dua, dipisahkan dengan kanstin (cansteen?) untuk arah ke Cirebon dan sebaliknya, masing-masing dua lajur. Yang unik, ternyata bus dan truk jalan di sisi kanan dan kita menyalip dari kiri - berlawanan dengan aturan di jalan tol: mesti menyalip dari kanan.

Tidak ada apa-apa yang menarik dan aneh untuk dipotrek. Sekitar pukul 13:00-an tiba di Cirebon. Langsung maksibar di SGJB - Sega Jomblo, eh, Jamblang di Pelabuhan. Merasa sudah sering makan di sini, jadi gak potrek-potrek lagi. Eh, hari Minggu kapan itu, Kompas memuat cerita ttg SGJB ini, katanya di situ nasinya dibungkus daun jati - seingat saya sih kagak. Mereka justru dikenal dengan nasi yang tetep hangat - dimasaknya secara akel pake 'cone' dari anyaman bambu supaya lebih pulen, wadahnya pake bakul besar, piringnya ajah yang dialasi daun jati, jeh!

Mungkin cuma untuk konsumsi wartawan sajah mereka bungkus dulu nasinya pakai godong jati - otentik SGJB sejak jaman dahulu kala itu. Lihat ajah foto di samping, jelas-jelas nasinya tarok di bakul dan ada piring beralas daun jati di sampingnya ya.

Selesai makan kami jemput adik saya yang tinggal di Pasar Kanoman. Kami jajan tahu gejrot dan es duren di 'food street' pertigaan Pecinan-Kanoman-Lemah Wungkuk, persis di depan Toko Manisan Sinta yang sudah terkenal itu. Si Dede menikmati sekali tahu gejrot otentik Cirebon ini, apalagi es duren-nya. Duren is always her favorit fruit, jeh! ***Tapi ketika pulangnya kembali dari Purwokerto, sehabis makan kambing bakar Zam-zam, dia gak berani makan es durennya.Takut jerawatan katanya tuh!***

Selesai makan tahu gejrot kami langsung menuju ke Kuningan. Ketemu ama ie-ie (tante) - masih keponakan nenek saya, mamahnya adalah adik sepupu nenek saya, jadi walau kami sepantaran, dia menang generasinya. Kami sudah janjian untuk mendiskusikan silsilah keluarganya yang belum nampak link-nya dengan nenek saya. Saya mendapat satu buku ttg silsilah keluarga mereka, sayang ndak ketemu dengan penyusunnya (koko-nya) yang sedang ke Tasikmalaya.

Dapat oleh-oleh seember besar tape ketan berbungkus daun jambu isi 100 bungkus! Lantas beli laghi beberapa dus tape ketan yang sama, isi 50 bungkus untuk oleh-oleh teman-teman di Semarang dan Yogyakarta nanti. Tape ketan berbungkus daun jambu, sehingga ketannya berwarna hijau samar-samar, memang sudah lama menjadi produk khas Kuningan. Di samping Jeniper - Jeruk Nipis Peres.

Sore-nya ke Trusmi, antar nyonyah cari-cari batik khas Cerebonan. Ternyata katanya ada juga batik Pekalongan dijual di sana. Later on, ketika di Pekalongan, mereka jual juga batik Cerebonan. Bingung gak coba kalau sudah begitu?

Oleh-oleh yang saya siapkan, kerupuk segede gajah langsung dibagi-bagi: mulai dari temen-temen MP merangkap temen alumni, juga kakak misan nyonyah dan engku saya. Juga tanaman pohon kari, pohon kawista, dibagi-bagi di Kuningan. Barter ama Kuping Gajah berbulu ala beludru dengan koleksi ie-ie saya itu.













Malamnya kami ajak keluarga koko misan nyonyah makan SGLK - Sega Lengko favorit saya: di pinggir kali Kalibaru depan Cirebon Theater - sekarang pindah di depannya, persis di pinggir kali. Baca cerita sebelumnya di sini. Tempat lamanya di samping theater, sudah dibeli oleh Mang Mul(?) yang sukses besar dengan usaha seafood-nya, jadi gak ada tempat bagi saudagar gurem macam si penjaja SGLK dengan partner-nya: tukang sate kambing gurem juga.

Apa boleh buat, mesti ngalah ama pemodal kuat ya?

Mana Yang (Paling) Enak Nih, Ya?

Meski tujuan utama trip Juni kemaren itu adalah antar nyonyah ziarah ke gua-gua Maria, tentu saja tak lupa saya makan-makan sing enak-enak, jeh!

Kalau Cirebon, saya sudah tahu mau makan apa dan di mana. Yang enak-enak tentunya. Tapi kota-kota lain? Banyak yang saya tidak tahu lagi sebab sudah lama tidak menyambanginya.

Di Pekalongan saya 'nemu' lontong gule yang dijual pake gerobak. Katanya khas Pekalongan asli. Isinya kebanyakan 'sisa-sisa' bagian dari sapi(?): kikil, koyor, babat, iso. Namanya gule, tapi gak mirip gule yang seumumnya berkuah santan kuning-oranye banjir gitu. Lontong diiris-iris, ditarok piring, lalu disiram kuah panas dulu, dikembalikan kuahnya, tarok bahan yang anda pilih setelah diiris-iris, baru dikasih sedikit kuah yang ada di panci. Disiram cabe yang dibuat dari rawit ulek dadak yang disiram kecap.

Yang unik tentu di Sokaraja. Sepanjang jalan utama Sokaraja, anda akan di'sapa' oleh banyak sekali billboard gede yang menawarkan 'getuk goreng' dan 'soto'. Getuk gorengnya, didominasi oleh merek Asli H. Tohirin, ada yang pake nomer, 1, 2, 3, 4 dan ada yang polos tanpa nomer. Tapi hampir semuanya pake merek 'Asli H. Tohirin'. Sotonya, semua pakai merek 'Soto Lama', dengan embel-embel nama pemilik kedai di bawahnya, dengan huruf lebih kecil.

Sebagai orang awam, orang asing yang bukan warga Sokaraja, tentu anda akan bingung mau mampir di kedai yang mana. Begitu banyak kedai, nama-nya sama semua dan juwalannya sama. Mana yang enak nih?

Daripada bingung, saya sih berhenti di tempat yang paling enak dan pas bisa berhenti. Toh saya belum pernah makan soto Sokaraja sebelumnya. Dulu sih pernah, kayaknya itu sudah sekitar 10 tahun yang lalu, sudah lupa preferensi-nya 'soto Sokaraja' yang enak itu mesti yang bagaimana.

Saya rasa, memori kita saja yang membuat satu makanan itu enak atau tidak. Karena memori kita menyimpan 'database' makanan enak yang kita kenal ketika kecil, dimakan terus-menerus, diperkenalkan oleh orang terdekat kita. Misal, kecap. Karena kita sudah punya database sebagai pembanding di memori kita, maka kalau ada makanan baru yang sejenis, kita mestilah membandingkannya dengan yang ada di database kita.
Kalau beda, karena kurang asin, atau kemanisan, atau gak gurih, seperti yang dicatat memori kita, maka makanan yang sejenis itu dianggapnya tidak enak.

It's only a matter of memory 'game', after all. Ya ndak?

Jadi, kalau kita belum pernah makan satu makanan tertentu, di daerah baru, menu baru, kayaknya kita ndak punya pembanding. Database kita masih belum punya referensi. - kayak tabula rasa - empty blank sheet. Ya sudah. Gak usah repot, makan ajah yang anda temui. Mestinya itu akan menjadi makanan enak, bahkan mungkin jadi referensi yang menjadi database oleh memori kita untuk masa yang akan datang.

Alhasil, saya cukup menikmati soto Sokaraja sebagai sarapan pagi itu, menjelang saya menuju Kaliori - ada satu Gua Maria yang kami kunjungi, itu gua ke-9 yang kami kunjungi dalam trip minggu lalu. Mungkin saja itu 'soto lama' bukan yang 'asli', bukan yang terenak - dibandingkan puluhan kedai soto yang ada di Sokaraja. Tapi karena memori saya masih 'polos', ya ndak jadi masalah juga sih.

So, kapan anda mau makan sega Jamblang di Pelabuhan Cirebon itu? Yang dimuat di Kompas Minggu pagi ini, tapi biasanya sih di situ nasinya gak dibungkus pake daun jati. Nasinya diciduk dari wadah nasi yang selalu hangat. Entahlah, kalau kemudian mereka pakai daun jati demi konsumsi pembaca semata ya.


Anda soka soto Sokaraja?

May Trip (1): The Tomb Hunter Is Back - Salah Baca Jadwal.

Minggu siang, 16 Mei 2010, dapat SMS dari SH - The Tomb Hunter van Holland. Ternyata dia salah baca jadwal. Tiba di Jakarta Minggu siang dari Bali. Sebenernya dia sudah masuk ke Indonesia sejak seminggu sebelumnya. Langsung ke Bali bersama nyonyah dan adik nyonyah + suaminya.

SH mesti ngumpulin cuti dulu kalau mau ke Indonesia. Demi kegemarannya akan silsilah keluarga. jadi, setiap tahun mestilah dia berhemat dengan cutinya di tempat kerjanya di Holland sana. Supaya bisa punya waktu lebih lama untuk mencari silsilah keluarga, terutama Yeo (sne keluarga ayahnya), The (keluarga mamanya), Gan (kerabat dari tante-nya yang menikah dengan keluarga Gan), dan Khoe (keluarga isterinya) - katanya sih gara-gara menikah dengan anak keluarga Khoe inilah, baru dia mulai gandrung akan silsilah.

Kebetulan saja Khoe-nya sama dengan keluarga mami mertua saya, jadi secara 'kebetulan' juga akhirnya kami get connected dan berkerabat. SH mesti memanggil 'khouw' (adik papah) kepada nyonyah saya, dan 'khouw-thio' kepada saya.

Selepas makan siang, dia datang bersama suami adik-iparnya. Gak susah cari rumah saya, sebab suami adik ipar-nya punya ex boss yang tinggal di daerah Permata Hijau juga dan sering juga ke rumahnya.

Kami rundingan jadwal rencana kunjungan. Sudah diset, Senin di Jakarta, ketemu beberapa teman di Jakarta. Selasa langsung berangkat ke Bdg.euy!

Malamnya ke rumah satu saudara SH, asal Cirebon. Di bilangan Karet Setiabudi. Ngobrol-ngobrol, karena beda sekolah, kami tidak saling kenal sebelumnya di Cirebon walau sebaya juga.

Makan malam di Bakmi Karet. Bakmi legendaris yang dibuat dengan ukuran gak umum: besar sangat dibandingkan bakmi seumumnya. Tuan rumah yang memaksa traktir, karena baru kali itu ketemu The Tomb Hunter. Bakminya bakmi masak - ala lomie begitu. Berkuah nyemek saja. Isinya mayan kumplit, pake daging (babai) dan hebi (ebi) aka udang kering - ini yang bikin anda ketagihan, ada amis-amis gurihnya gitu lho, jeh!

Pas makan, saya mengabari TM di milis ST - Silsilah Tionghua, mukim di Bandung, pakar budaya Tionghua, mendalami dokumen berbasa Jawa dan kelenteng-kelenteng - inisal namanya SuMur. Dia bilang bantei (hwesio) yang punya rumah singgah di Parakan berbentuk 'kelenteng' itu mau ketemu SH, kalau sempat.

Jadi, diputuskan ke rumah bantei di bilangan Kepa Duri, Green Ville, Jakarta barat, bersama kedua suami isteri kerabat SH yang traktir makan Bakmi Karet, yang ternyata kenal juga dengan sang bantei.

Kami ngobrol cukup lama di rumah bantei, rumah besar dan berpagar otomatis - sebelum mobil saya full masuk, rupanya sudah ditekan 'tutup' oleh operatornya, jadi pintu mobil terserempet si pagar besi.

Bantei senang juga mengumpulkan silsilah. Jadi perbincangan dengan Tomb Hunter seru juga. Saling tukar-menukar info ttg sesiapa get connected dengan siapa. Rumahnya besar, penuh dengan meja-lemari dan perabotan kuno. Beliau baru saja menjalani operasi usus di Singapura, tapi tetap semangat berbincang-bincang dengan Tomb Hunter. saya mah cukup jadi tukang nyeletuk kalau pas nyambung dengan nama yang saya ingat dan tahu.

Kalau saja tidak kami paksa, tentu saja perbincangan bisa sampai larut malam. Bung SuMur sudah mengintakan via SMS sebelumnya, kalau bisa jangan berlama-lama supaya bantei bisa beristirahat.

Jadi, sebentarnya kami berbincang ya sampai sekitar 120 menit juga. Kalau naek mobil ke Bandung, lewat tol Cipularang, pastilah sudah sampai ya? Hari sudah cukup larut, sekitar pukul 23:00-an kalau gak salah ingat, lusa mau ke Bdg.euy!

Mau ikutan tah?


June 23, 2010

Mumpung Ingat, Sekalian Bikin Reminder, Nih!

Mumpung masih ingat, sekalian ajah saya bikin reminder di sini ya. Kali ini trip sebelumnya bersama The Tomb Hunter van Holland itu.

Setting waktunya sebagai berikut:
(1) 16 Mei 2010 - SH datang dari Holland - Ngoleh-olehi Old Cheese van Holland.

(2) 17 Mei 2010 - Di Jakarta, ketemu boss Yayasan Nabil (Nation Building) - SH kepingin makan Toa-huan Goreng kedoyanannya.
(3) 18 Mei 2010 - Ke Bandung - Makan siang di rumah tante SH, makan malam di Gerobag Bandung - food court di Giant depan IBT.
(4) 19 Mei 2010 - Ikut Seminar dan Peluncuran Buku oleh Yayasan Nabil - sorenya ke Cirebon.
(5) 20 Mei 2010 - 2 malam di Cirebon - Ketemu TTM, makan-makan Kambing Bakar Zam-zam dan Sega Jamblang Mama Fitri.
(6) 21 Mei 2010 - Ke Pekalongan, SH langsung ke Semarang, saya ke Temanggung malam itu juga, bermalam di rumah OHT.
(7) 22 Mei 2010 - Ketemu di Semarang, ngumpul rame-rame ama kaum 'pengumpul tulang belulang' silsilah, makan-makan penuh senang-senang di Semarang.
(8) 23 Mei 2010 - Ke Purworejo bareng OHT, coba cari kepingan 'puzzle' silsilah yang belum ketemu.
(9) 24 Mei 2010 - Ke Solo dan Yogya - mampir di Jejamuran diantar SH - shoib jaman kuliah dulu.
(10) 25 Mei 2010 - Ikut OHT ke Weleri survei daun tembakau, pulangnya makan sate sapi di tengah sawah - sorenya langsung balik ke Jakarta.

Nanti saya cerita detilnya, mungkin selang-seling dengan cerita ziarah ke 9 Gua maria.

Sila sabar menanti ya!

June 21, 2010

Perjalanan Ziarah Sembilan GM (Gua Maria) di Jateng.

Ini catatan untuk intro saja, supaya saya juga ndak lupa sebelum mulai cerita ttg perjalanan ziarah nyonyah saya ke 9 GM - Gua Maria di Jateng.

Perjalanan di mulai dari Jakarta, sekitar pukul 06:30, hari Jumat, 11 Juni 2010, disesuaikan dengan kedatangan si Dede dari Singapura pada 9 Juni 2010, kami bertiga saja: nyonyah, Dede dan saya. Semula papi mertua hendak ikut tapi batal karena takut melelahkan, usia beliau sudah menjelang 87 tahun ada 20 Juni 2010 kemaren, jeh!

Tujuan utama nyonyah hendak berziarah ke sembilan Gua Maria (GM) di tempat yang berbeda-beda di jawa Tengah, meski 'bulan' Maria sudah lewat, tapi pas ada niat dan kaul, jadi kami puuskan sekalian saja, mumpung ada undangan seorang teman kuliah saya yang mau mantu di Semarang.

Jadwal kami adalah sebagai berikut:

Hari ke-1: Jumat, 11 Juni 2010 - Cirebon (bermalam di Hotel Asri)
Hari ke-2: Sabtu, 12 Juni 2010 - Semarang (bermalam di Patra Jasa)
Hari ke-3: Minggu, 13 Juni 2010 - Temanggung (bermalam di rumah OHT)
Hari ke-4: Senin, 14 Juni 2010 - Yogyakarta (bermalam di Hotel Kombokarno)
Hari ke-5: Selasa, 15 Juni 2010 - Pacitan (bermalam di Hotel Permata)
Hari ke-6: Rabu, 16 Juni 2010 - Solo (bermalam di Ibis)
Hari ke-7: Kamis, 17 Juni 2010 - Temanggung (bermalam di rumah OHT)
Hari ke-8: Jumat, 18 Juni 2010 - Sokaraja (bermalam di Hotel Astro)
Hari ke-9: Sabtu, 19 Juni 2010 - balik Jakarta.

Meski judulnya perjalanan ziarah, tapi, teuteup, nyonyah dan Dede shopping cari batik di Pekalongan dan Solo, sementara sudah suratan nasib, saya sih cari makanan enak setempat, sambil motrek-motrek. Malang nian nasib kamera saya, entah karena terkena lembabnya udara dalam Gua Gong atau karena terjatuh di mobil - walau lensa dalam keadaan tertutup, pas mau keluar dari Pacitan, si kamera mogok, gak mau masuk balik lensanya. Jadi saya beli satu kamera merek Panasonic-Lumix FS-42 di Solo, sementara si Canon-Ixus-85 saya melongo saja lensanya.

Gua Maria yang kami kunjungi:
(1) Gua Maria Kerep di Ambarawa (13 juni 2010)
(2) Gua Maria Sendang Sono, Promasan, Muntilan, dekat Candi Borobudur(14 Juni 2010)
(3) Gua Maria Kitiran Mas, Pakem, Yogya (14 Juni 2010)
(4) Gua Maria Candi Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Yogyakarta (14 Juni 2010)
(5) Gua Maria Tritis, Wonosari (14 Juni 2010)
(6) Gua Maria Ratu Kenyo, Wonogiri (15 Juni 2010)
(7) Gua Maria Mojosongo, Solo (16 Juni 2010)
(8) Gua Maria Mawar, Boyolali (17 Juni 2010)
(9) Gua Maria Kaliori, Sokaraja (19 Juni 2010)

Setelah dari GM Ratu Kenyo di dekat Pracimantoro, kami masih sempat mencari Gua Maria Sendang Kelayu, lokasinya dekat Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, di desa Ngadipiro-Ngadirejo. Jalan menuju lokasi berupa semen beton dua lajur pararel untuk ban mobil menapak, di tengahnya masih bebatuan, menyusuri sungai Bengawan(?) menurut peta. Sebenernya kami sudah sampai di kaki bukit menuju ke GM tsb., tapi kami urungkan perjalanan ke sana, sebab jalannya dibuat dari bebatuan dan curam sekali - sekitar 30 derajat kemiringannya, hanya cukup satu mobil saja dan... licin karena hujan.

Di gereja dekat situ, tidak ada seorang pun yang tinggal, penduduk yang umat Katolik pun tidak ada seorang pun yang tinggal dekat situ. Misa diadakan sekali dalam sebulan, pada Kamis Legi(?)Benar-benar terpencil dan tidak tahu apakah medan jalan cukup aman untuk dilalui. Penduduk di situ tidak menganjurkan kami untuk meneruskan perjalanan, sebab tidak ada satu pun orang yang tinggal di GM tsb.

Kami akhirnya berhasil mengunjungi 9 GM, setelah kami mendapati satu buku berjudul "Ziarah Gua Maria di Jawa" yang dibuat oleh RL Soemijantoro, terbitan PT Dian Tirta, Cetakan ketiga, November 2006, yang kami beli di GM Candi Hati Kudus Yesus, di Ganjuran, Yogyakarta.

Sila tunggu cerita saya nanti ya!

GM-8 : A Friend In Need Is A Friend Indeed, Right!

Sudah lama banget saya gak setir sendiri kelilingan Jawa. Terakhir itu tahun 1990-an. Jadi kemaren itu saya koq ya bener-bener tak tahu diri dan sotoi banget. Beraninya jalan naek mobil sendiri, setir sendiri bertiga nyonyah dan si Dede.

Daerah 'rambahan' perjalanan ziarah saya kemaren itu Jawa Tengah. Meski Jateng dan Jatim masih termasuk wilayah WIB, sama seperti Jabar dan Jakarta, juga BSD tentu, tapi secara alamiah dan sudah kodratnya, mentari lebih cepat terbenam di Jateng dan Jatim, dibanding di wilayah barat, jeh!

Jadi, perjalanan kemaren, dari Solo saya berrencana menuju Temanggung. Dengan asumsi jarak yang tidak begitu jauh, rutenya Solo-Boyolali-Salatiga-Bawen-Ambarawa-Secang-Temanggung, mampir di Boyolali masuk ke desa Musuk sebentar, ada satu GM - Gua Maria di sono, maka saya merasa tenang saja berangkat dari Solo sekitar pukul 14:00 setelah makan siang sate buntel di Tambak Segaran dan ngombe dawet terkenal enak di Pasar Gede, masih diselingi chit-chat dengan 2 keponakan yang meneruskan usaha cihu (kakak ipar) buka toko di Ketandan, Solo.

Di Boyolali cuma sebentar, sempet motrek-motrek pura Hindu yang katanya punya penganut sekitar 10 KK saja, masih lumayan dibanding 3-4 KK saja untuk warga Katholik di sana. Jangan bandingkan desa Musuk segede desa di Jakarta ya. Sebab namanya desa ya bener-bener udik keringetan punya, adanya
lereng perbukitan satu gunung. Walau jalanan sudah rata dan dibuat satu arah - saking sempitnya cuma muat satu mobil, jadi untuk menghgindari papasan 2 mobil lawan arah, dibuat satu arah memutari desa.

Menuju Salatiga sekitar pukul 16:00-an, ndak diperhitungkan ada kemacetan menjelang keluar Salatiga.

Jadi, akhirnya saya ikuti petunjuk arah jalan alternatip menuju Ambarawa, tidak lewat Bawen yang mestinya lebih macet lagi. Akhirnya masuk ke Banyubiru. Hari sudah pukul 17:00-an, dan cuaca mendung. Dan, tak lama, menjelang pukul 17:30, udara makin gelap. Sampai di ujung Banyu Biru, tanya penduduk setempat arah yang enak, diberitahu ada jalan desa yang merupakan 'short cut' menuju Temanggung. Saking 'culun'nya, saya ikuti saja.

Makin gelap saja keadaan. Sebab jalan itu adanya di lembah bukit. Jalannya mulus, namun berliku-liku dan sesekali melewati lereng yang di kanan ada jurang cukup tinggi. Yang tidak saya perhitungkan, dan tidak tanya, bahwa jalan itu sepi sekali, berliku-liku dan naik-turun bebukitan. Jarak antar satu desa ke desa lain dipisahkan sawah dan hutan kecil. Dan, saya baru kali itu lewat jalan tsb.

Makin gelap udaranya, padahal waktu baru menunjukkan pukul 18:00-an.

Sampai akhirnya saya cukup lega mendapati jalan lebar dan mulus sangat. Tapi saya tidak tahu mesti ambil arah mana, ke kanan arahnya menunjukkan Ambarawa, ke kiri menuju Magelang. Bingung sendiri, jalan tidak ada penerangan. Jadi kami memutuskan berhenti di pinggir jalan, mau tanya pada orang yang lewat.

Menyetop mobil yang lewat sesekali agak sulit, sebab jalannya sedang menanjak ke arah kiri. Coba menghentikan yang naik motor, yang mestinya lebih mudah, ternyata tidak berhasil. Ada sekitar 5 orang yang saya hentikan, tidak ada yang mau berhenti. Padahal saya sudah teriak-teriak memanggil pengendaranya. Sementara gerimis mulai turun dan udara makin gelap, makin sepi saja.

Eh, agak lama, ada satu motor yang turun dari arah kiri, jalan di sisi kanan, dan berhenti menanyakan ada apa. Ternyata itu kayaknya motor ke-3 yang saya tadi hentikan, mereka balik lagi untuk menanyakan keadaan saya. Mungkin akhirnya mereka merasa kasihan dan memutuskan balik kanan untuk membantu saya.

Barulah saya merasa lega, ternyata saya mesti ambil jalan ke kiri menuju Magelang, untuk nanti belok ke arah Temanggung di Secang.

Sayang sekali, saking gugupnya dan cukup tegang, saya lupa menanyakan nama kedua orang yang baik hati tsb. Ternyata daerah tempat saya berhenti itu, tak lama ketemu desa cukup ramai bernama Jambu. Di peta Mudik Lebaran yang saya jadikan pedoman tidak jelas tertera jalan 'short cut' itu. Baru tahu ketika baca peta Semarang yang ada Jateng-nya, jalan berliku-liku itu ternyata ada di sisi barat Danau Rawa pening, jalannya sudah benar, lebih singkat, hanya saja timing-nya yang kurang pas: gelap. Dan, petunjuk arahnya cuma menyebut Magelang, tanpa ada Secang atau Temanggung.

Akhirnya saya tiba dengan selamat di Temanggung sekitar pukul 19:30-an. Waktu saya ceritakan kepada sohib saya, OHT, yang ketemu di milis sebelah dan ternyata masih 'get connected' secara silsilah dengan nyonyah saya, baik OHT-nya maupun isterinya, yang rumahnya saya inapi, ternyata dia sendiri yang sering berkendara sendiri, tidak pernah lewat jalan tsb.

Anda pernah lewat jalan itu?

June 20, 2010

Kecap Anda Nomer Berapa Ya?

Baca di milis sebelah, ttg enak-tidaknya suatu makanan tertentu, katanya makanan yang "enak" itu ditentukan dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana kita lahir dan dibesarkan. Rasa makanan yang pertama kita kenal / santap lah yang pasti menjadi barometer untuk membandingkan dengan aneka rasa bacang yang kita konsumsi dalam hidup.

Saya koq setuju dengan pernyatan Bung Suhana Lim di milis BT tsb.

Contoh paling sederhana dan pas adalah kecap. Kecap selalu nomer 1. Tidak ada kecap yang mengklaim dirinya sebagai nomer 2, nomer 3 apalagi nomer 100 toh?

Itu klaim semestinyalah tidak mengada-ada.

Coba saja anda sebut, kecap apa yang paling enak menurut anda? Yang nomer-1, nomer wahid, numero uno, dai-ichi? Tentu saja kecap yang anda kenal sejak anda mulai bisa mencecap rasa makanan yang dimasak oleh ibu anda di rumah. Sebagai penyedap masakan atau pun cocolan tahu, tempe, atau apa pun saja.

Tidak ada kecap yang lebih enak dari kecap yang anda kenal sejak kecil itu. Karena merek itulah yang pertama anda kenal, anda 'gauli' sejak kecil sampai anda meninggalkan rumah - sekolah di luar kota, luar negeri, bekerja dan bahkan berkeluarga. Merek itu sudah menjadi 'brand preference' yang menancap erat bagai jangkar di memori database anda. Setiap kali anda makan kecap merek lain, mestilah tanpa sadar, secara refleks dibandingkan dengan merek tsb.

Makanya waktu saya diminta tolong untuk merekomendasikan makanan khas Cirebon yang banyak mempergunakan kecap, nasi lengko, oleh seorang TM yang punya job bikin acara program makanan enak khas daerah, disponsori oleh satu merek kecap dari Jakarta, saya bilang: kayaknya sih percuma saja anda 'memaksakan' merek tsb ke masyarakat Cirebon.

Nyatanya tu teman teuteup ajah maksa - di satu adegan makan-makan tahu gejrot di Cirebon, yang dibawakan satu 'pakar' yang sukanya nendang makanan, eh, makan makanan yang nendang, dikecrotinya sepiring tahu gejrot dengan kecap bermerek sponsor. Padahal tahu gejrot will never, never, ever dikecrotin kecap apa pun juga, jeh!

Hasilnya? Nihil banget kayaknya sih, tentulah dwong dweh!

Lanjut dengan tulisan Bung Suhana Lim, Ihwal enak-tidaknya suatu makanan: hal ini bukan hanya berlaku bagi makanan tertentu saja, tetapi semua jenis makanan lainnya. Daripada mesti membanding-bandingkan rasanya, why not just enjoy the diversity in life!

Jadi, kecap anda merek apa nih?




PS: Cerita ttg si kecap, bisa anda baca di sini dan di sini, plus di sini.

June 08, 2010

Copy Paste Tanpa Ijin - Bisa Ajah Bener, Jeh!

Copy paste yang dimaksud, tentu saja kegiatan membuat copy atas foto atau karya tulis, termasuk cerita dan resep oleh orang lain, tanpa ijin pemiliknya - mencuri, yang diambilnya dari media internet atau media lain, untuk keperluan pribadi orang tsb secara komersil dan menguntungkan diri sendiri, atau untuk berbanggaan: seolah itu karyanya, padahal mah boleh nyomot milik orang lain, jeh!

Sudah terjadi berkali-kali dan muncul lagi dan lagi. Gak bosan-bosannya mereka mencuri begitu. Bahkan mungkin justru yang di'curi', yang jadi kurban yang lama-lama menjadi bosan.

Tindakan pencegahan tentu mesti dilakukan, misal dengan membuat watermark yang cukup besar pada foto-foto yang hendak dipublikasikan di internet, dengan besaran file yang sekedarnya saja (sekitar 50 kb?), dalam format paling sederhana (.jpg?) Jadi kalau sampai mereka teuteup ngotot mau 'nyolong', mereka mesti berusaha dulu: menghapus watermark-nya, memperbesar fotonya, merubah format file-nya dulu.

Kata pepatah: bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh. Kalau saja para kurban dan 'prospek' potensial kurban pencurian itu mau kompak, mungkin bisa menghadapi para pencuri dan 'prospek' pencuri. Caranya kompak? Nah ini yang masih mesti dicari.

Pertanyaannya: bisakah kompak ya?

Soalnya, yang ada, kayaknya sih ada semacam 'persaingan' di antara 'aktivis' yang suka memuat resep atau foto atau cerita di internet. Jadi, kalau sendiri bukan yang menjadi kurban, sukaan sih masa bodo ajah. Toh bukan gw yang jadi kurban. Apalagi kalau yang jadi kurban itu 'pesaing'nya, atau orang yang tidak disukainya, alih-alih simpati, bahkan mungkin disyukurinya pula. Rasain lu, makanya jangan nyebelin, jangan sok lu! Bagus tu pencuri, biar kapok dah, tahu rasa dah lu!

Jadi, mencuri itu bener atau salah? Ternyata tergantung bagaimana anda bersikap. Kalau anda menyebalkan, mungkin si pencuri itu justru dianggap pahlawan - sudah membalaskan sakit hati orang yang tidak menyukai anda. Bahkan mungkin mereka akan pro ke si pencuri itu. Bisa saja terjadi toh?

So, begitukah hidup di dunia maya ya?

Batere Kamera Merek Compatible.

Paling sebel kalau lagi motrek, batere-ne enthek. Dari pade kesel jadi melethek dhewek, mending juga beli batere baru untuk cadangan, jeh!

Jadi saya ke toko kamera tanpa nama di lantai dasar di ITC Permata Hijau. Sepertinya ITC itu di mana-mana bikin pusat pertokoan, ya gak bisa elite ya. Entah mengapa. Memang sudah dari sononya mereka cuma mau bangun tempat juwalan yang laku - kios dan tokonya ajah yang laku, dagangan mereka laku tidak mah bukan urusan developer toh.

Jadi, walau namanya lokasi di daerah elite tempo doeloe, Permata Hijau - beken sebagai lokasi perumahan elite yang termasuk pertama dibangun di Jakarta, ITC Permata Hijau ya sama ajah dengan ITC di lain-lain lokasi. Toko-toko juwalan kayak di Glodok, mesti tawar-tawaran dulu, jangan sampai ketipu kejeblos harganya kemahalan.

Juga anda mesti waspada ama para pedagang golek - golongan ekonomi lemah, yang mau tak mau mesti diistimewakan oleh pengembang disediakan tempat khusus bagi mereka, walau mereka cuma sedia satu lemari dua tanpa nama, juwalannya bisa apa ajah, dari racun tikus 'maker - mati kering' sampai minyak sereh yang cuma berupa parfum doang - aromanya sih sereh, tapi tidak ngefek apa-apa.

So, ada satu toko kamera digital yang kelihatannya saja mewah. Tapi gayanya tetep ajah ala Glodok. Pertama kali saya tanya batere kamera, dia tanya kameranya merek apa. Saya tunjukkan saja kamera dan baterenya. Canon, Ixus 85 IS. Baterenya NB-6L 3.7 V 1.000 mAh (Li Ion). Penjaga toko melihat daftar harga dari mapnya, lalu tanya mau pake garansi atau tidak. Tanpa garansi Rp 190 rebu, dengan garansi Rp 235 rebu. Berarti harga garansinya selama 6 bulan adalah 45 rebu.

Karena baru survey harga, saya cuma bilang terimakasih dulu. Gak tanya-tanya lebih lanjut takut mengecewakan si penjajanya toh. Saya cek di i-net, ada satu toko yang suka terima servis kamera, dan ada daftar harga untuk baterenya. Saya mungkin salah lihat, tapi kayaknya harga batere Canon di situ Rp 225 rebu, tapi tokonya ada di Gunung Sahari, jauh juga. Ditelepon ke toko itu, katanya sistem sedang down gak bisa cek harga dan stock.

Jadi besoknya saya ke toko yang di ITC itu lagi mau beli saja. Selisih harga 10 rebu cukup wajar untuk ongkos ke Gunung Sahari toh?

Tapi, ternyata mereknya bukan Canon. Katanya kalau Canon tidak bergaransi dan harganya gak mungkin segitu. Padahal kemarennya toh saya tunjukkan kamera dan batere yang saya punya. Juga, harganya ternyata berubah, bukan lagi 235 rebu tapi cuma Rp 190 rebu pake garansi, dan tanpa garansi cuma Rp 170 rebu, dijawab tanpa melihat daftar harga.

Langsung saja saya gak yakin lagi ama harga mereka, segera saja saya ngeloyor pergi.

Pas mesti ke Sunter, pulangnya saya sengaja mampir ke toko yang jual Canon. Ternyata saya salah baca, harganya Rp 369 rebu tapi stocknya kosong. Merek Canon dan benar tanpa garansi - sebab jarang rusak katanya. Masuk akal juga, jeh!

Jadi saya ke Pasar Baru, makan sup kambing (bening) dulu di dekat situ, baru ke pertokoannya. Toko-tokonya sudah banyak yang mulai tutup. Pas dekat eskalator, ada satu toko kamera besar - lupa nama tokonya. Saya tanya batere Canon seperti saya tanya ke toko di ITC Permata Hijau. Jawabnya sama, tidak jual yang asli Canon. Karena harganya mahal. Dia tawarkan merek ATT yang sama seperti dengan yang ditawarkan oleh toko di ITC.

Harganya? Rp 235 rebu. saya bilang mahal, orangnya bilang ndak semahal Canon yang asli. Tapi saya bilang, sama-sama gak asli, mereka jual mahal. Saya mau keluar dari toko, dia langsung menawarkan jadi Rp 190 rebu - jangan-jangan itu toko yang sama dengan yang di ITC ya? Saya cuma senyum ajah dan tetap berlalu mencari toko lain.

Di toko kedua, mereka menyebutnya dengan yang kompatibel - halusinasi dari 'tiruan'. mereknya sama juga ATTitude, buatan Taiwan katanya. Harganya Rp 185 rebu. Setelah ditawar-tawar, akhirnya deal dengan harga Rp 170 rebu. Mereka dengan sabar mengajari saya untuk charge dulu baterenya selama 4 jam, dan bagaimana nanti mengklaim garansi-nya kalau sebelum lewat 6 bulan ada kerusakan, yakni yang paling utama menunjukkan nota pembeliannya.

So, sudah benarkah cara saya beli batere ini ya?

June 06, 2010

How Do You Like Your...... Nasi Goreng?

Nasi Goreng, kayaknya ini menu yang paling gampang dibuat. Konon kabarnya, ujian bagi seorang koki adalah cara bagaimana dia memasak nasi goreng. Benar-tidaknya tidak usah diusut, sebab sesi kita kali ini bukan soal kebenaran ttg kabar tsb. yang bisa saja cuma sekedar kabar burung. Dan, namanya kabar burung itu ya bisa saja bener, tapi mungkin juga salah.

Mengapa nasi goreng disebut paling gampang? Ya karena anda tinggal cemplang-cemplung bahan, sesuka hati anda, lalu srang-sreng-srang-seng, jadilah sudah nasi goreng ala anda. Mau pakai daging apa? Ayam, sapi, kambing, babai, atau hasil laut - udang, cumi, ikan, kepiting? Sila saja anda masukkan. Mau asin atau manis? Mau merah atau kuning atau ijo? Mau pake pete atau jengki? Mau pake sayur? Monggo. Mau pake cabe? Mangga atuh, euy!

Satu hal yang pasti, nasi goreng itu dibuat sesuai kehendak yang membuatnya. Kalau anda pesan nasi goreng di resto, lalu tak sesuai dengan kehendak anda, ya sorry deh. Anda boleh saja tambahi garem, tambahi kecap atau kondimen lain. Tapi, intinya nasi goreng yang sudah anda pesan tidak bisa diubah lagi. Just take it or leave it, tapi anda teuteup mesti kudu harus bayar dong!

Ibarat nasi goreng, begitu pun dengan teman anda.

Anda bisa memilih teman anda, tapi anda tidak bisa membentuk teman anda sesuai kemauan anda. Sudah dari sono-nya memang sudah begitu toh? Kalau anda suka berteman dengan dia, ya terima saja apa adanya. Mungkin anda bisa memoles sedikit, dengan memintanya jangan suka ngupil di depan anda, misalnya. Tapi, kalau ternyata dia masih suka ngupil di belakang anda, ya apa boleh buat tuh!

Jangankan cuma sekedar teman, entah temen beneran di darat, atau sekedar contcts di MP - apapun predikatnya, atau friend di FB, atau jejaring sosial lainnya di i-net, bahkan temen hidup anda - suami atau isteri anda sekalipun, tidaklah mungkin anda membentuknya sesuai keinginan anda. Ada saja hal-hal yang mustahil atau hil-hil yang mustahal anda 'perbaiki' - kalau anda anggap itu adalah kesalahan, yang mestinya sangatlah subyektip - salahnya cuma menurut anda seorang doang sih, jeh!

Daripada anda kesal mesti 'memperbaiki' nasi goreng anda, ya mendingan sih nikmati saja. Mungkin agak keasinan, ya gak apa. Anda jadi tahu ada nasi goreng yang asin. Besok-besok bisa anda coba yang lebih manis. Kalau kurang pedas, ambil saja lada atau sambal, campur sendiri. Make yourself comfortable with your nasi goreng, so you can have a lovely day after enjoying it. Right? Or left?

Jadi, mau sarapan nasi goreng ala apa nih pagi ini?

June 01, 2010

Di Kandang Kambing Mengembik, Di Glodok.......Bercepek-nopek?

Masih lanjut cerita dalam seminar "Peranan Komunikasi Etnik Tionghoa Bagi Pembentukan Kesadaran Kebangsaan" di Bandung itu.

Atas pernyataan seorang hadirin yang bilang bahwa orang Tionghua senengnya berbasa mereka sendiri, gak mau pakai basa Indonesia, seorang pembicara menjawab: baguslah bahwa 'Soempah Pemoeda'
dulu tidak pernah memaksa kita semua mesti berbasa satoe - basa Indonesia, tapi sekedar 'mendjoendjoeng' basa persatoean - basa Indonesia.

Jadi, ndak masalah sebenarnya kalau urang Sunda berbasa Sunda dengan sesama mereka di alun-alun Bandung, atau wong Jowo nganggo boso Jowo untuk komunikasi dengan sesama mereka di Pasar Gede di Solo sono. Kalau orang Tionghua berbasa Tionghua, dengan sesama mereka di Glodok, apa anehnya atuh, euy?

Malahan, karena si pembicara bermata sipit, berkulit agak kuning langsat, dan bisa bilang cepek-nopek, justru diuntungkan ketika belanja di Glodok bersama temannya. Dia bisa dapat harga lebih murah dibandingkan temannya yang 'asli' bermata belo dan tak mengerti apa itu cepek.

Ketika temannya protes ke si engko pemilik toko, kenapa si pembicara dapat harga lebih murah, dengan entengnya si engko bilang: lha dia 'kan cekha-nging (Hak-ka) aka 'orang sendiri', jeh!

So, anda masih mau meringkik di kandang kambing tah?






PS: Gambar diambil dari sini.

Semua Orang Tionghua Kaya, Tah?

Masih dalam seminar "Peranan Komunikasi Etnik Tionghoa Bagi Pembentukan Kesadaran Kebangsaan" di Bandung itu, ada satu mahasisiwi(?) yang hadir membuat pernyataan yang cukup menggelitik, katanya orang Tionghua cenderung maunya eksklusip, gak gaul, karena mereka kaya.

Semua orang Tionghua mestilah kaya. Benarkah?

Rasanya sang mahasiswi tsb. mesti diajak ke Tangerang, melihat para Tionghua Benteng, atau Cinbeng - Cina Benteng, dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di kawasan Sewan dan sebagian daerah 'udik' kawasan Tangerang, misalnya, mereka adalah 'pribumi' - sebab leluhur mereka sudah mukim di sana selama puluhan tahun, atau bahkan sudah ratusan tahun(?).

Warna kulit mereka sawo matang, Hitachi - Hitam Tapi China, dan sebagian besar dari mereka aslinya menjadi petani atau buruh tani. Rumah mereka sangat sederhana, lantainya masih tanah. Dan, banyak di antara mereka yang miskin, jeh!

Atau sesekali kunjungi Medan di pinggirannya, atau Pontianak. Di sana orang Tionghua cukup dominan, sampai-sampai basa mereka, dialek Hok-kian di Medan dan Tio-ciu di Pontianak, dipakai sebagai basa pengantar sehari-hari oleh kebanyakan warganya. Kalau anda seorang Tionghua dan tidak bisa berbasa dialek mereka, anda pastilah dibilang bukan orang Tionghua. Sila baca ceritanya di sini.

Profesi mereka juga berragam, ada yang bahkan menjadi tukang becak (baik kayuh maupun motor), kuli di pasar, bahkan babu di rumah-rumah orang kaya atau buruh cuci pakaian dan buruh kasar di perkebunan.

Jadi, benarkah orang Tionghua itu kaya semua dan maunya eksklusip?

Rasanya ya ndak juga. Kalau soal eksklusip, siapa tah yang tak suka mendapat perlakuan khusus, gak usah antri ketika check in di bandara, duduk di sofa empuk dan wangi tanpa asap rokok di lounge eksekutip, dapat fresh orange dengan kursi lega di pesawat? Berangkatnya di antar limo panjang dengan supir berdasi? Kalau anda punya kekuatan dan uang, mestinya anda juga suka 'kan?

Saya juga suka, bukan karena saya Tionghua, jeh!

IT'S WORLD TIME: