December 30, 2010

Mau Bersopan-sopan Tapi Justru Menyesatkan?

Ini kasus, eh, cerita lama. Tentang sesuatu yang berhubungan dengan, apalagi kalau bukan........makanan, jeh!

Entah dari mana asal-usulnya, yang jelas banyak (gak tahu berapa, jelas lebih dari 100 - kalau dihitung dari jumlah penjajanya) orang Solo yang doyan makan, sorry, daging anjing. Dimasak dengan gaya Solo-nan: tongseng dan sate, kemudian muncul menu baru; rica-rica ala Manado, bung!

Anda tahu 'kan bahwa anjing adalah the next men's best friend, kata wong Amrik sih. Dan di sana - di negara bagian tertentu, konon kabarnya menyembelih, memasak, menjajakan dan/atau memakan hewan bernama K-9 itu termasuk pelanggaran hukum yang bisa dikenakan hukuman bui.

Jadi, begitulah pula di Solo, nampaknya. Orang masih malu-malu menjajakannya, dan peminatnya masih malu-malu juga menikmatinya. Beda misalnya dengan umumnya orang Manado di Sulawesi sono yang terang-terangan menikmatinya, atau sebagian orang Tapanuli di Sumatera itu.

Wong Solo terkenal halus budi-basanya. Jadi, mereka lantas menawarkan menu berdaging anjing itu dengan sebutan 'Sate & Tongseng Jamu'. Bertahun-tahun mereka merasa lumrah saja dengan kehadiran warten - warung tenda dengan label 'jamu' tsb., suka-tak-suka, mau-tak-mau, mereka bertoleransi menerima kehadirannya.

Mengapa disebut 'jamu' sebagai ganti kata 'anjing'nya?

Gak tahu persis, mungkin karena daging anjing konon katanya bersifat 'hot', jadi dianggap sebagai 'jamu' afrodisiak penambah perkasa kaum lelaki - walau hanya beberapa saat ketika malem-malem dingin sehabis diguyur UDKP - Udan Deres Kekepan Penak?

Yang jelas, ketika masyarakat makin terbuka dan demokratis, sesudah orde bau tumbang akibat repotmasih, maka muncul protes dari sebagian masyarakat yang tidak nge-fans atau nge-like (ada 'fans page' yang disalinnama menjadi 'like page' di FB- Facebook tuh!) dengan pemakaian istilah 'jamu' ini.

Sebab, katanya ada banyak yang 'tersesat' mengira itu bener-bener jamu, sehingga ada yang lantas pengin mencoba keampuhan sang 'jamu' pemerkosa, eh, pemerkasa lelaki, padahal ajaran agamanya tidak membolehkannya menikmati daging hewan tsb. Protes berseliweran di seantero kota, termasuk di FB, twitter, MP - pokokna mah rame pisan, euy!

Sebagai pamong praja yang baik dan bener, lantas bupati(?) menanggapi protes tsb. dengan mengeluarkan peraturan resmi-tak-resmi, agar supaya sudi apalah kiranya para saudagar yang umumnya mayan guren dengan resto tenda K-5 yang menjuwal menu hewan bernama lain K-9 tapi padahal benernya cuma K-4 saja itu, mengganti nama menunya. Dilarang keras menggunakan nama 'jamu' - sebab menyesatkan, juga merusak citra jamu tradisionil sesungguhnya yang lagi naek daun itu.

Apa dong gantinya? Bagaimana kalau...gukguk ajah?

Hehehe.... ada benernya, cukup merujuk langsung ke 'mahluk'nya, sebab memang tu hewan malang biasa diterjemahkan suaranya ke dalam basa Indonesia dengan 'guk-guk-guk' - ingat lagu 'Heli'?

Kupunya anjing kecil, kuberi nama Heli. Heli...guk-guk-guk...

Ya sudah, daripada 'menyesatkan' masyarakat awam dengan nama 'jamu', maka digantilah namanya menjadi 'gukguk'.

Ada gukguk guling?

December 26, 2010

Rame-rame (Nonton) Pertandingan Pake Emosi.

Anti klimaks: 3-0, positip untuk Mal.

Setelah rame-rame eforia kemenangan sesaat lalu, media dan (hampir) semuanya mendukung tim yang dadak jadi seleb. Semuanya pada komen yang bernada yakin sangat sampe terkesan OD, eh, OE - Over Estimate tuh, jeh!

Lalu, bacalah status dan twitter dan media jarsos - jaringan sosial lain malam ini, mestilah komentar-nya sudah bisa anda duga - gak perlu ditebar-luaskan lagi di mari ya.

Saya cuma jadi ingat jaman masih culun di tanah tumpah darah saya di (mana lagi).... Cerebon, euy!

Cerebon is a small city ajah sih. Jadi kalau ada pertandingan tenis, ya palingan juga di lapangan tenis di Pertatean itu. Para jawara tenis nasional, regional atau internasional yang asal Cerebon, mestilah pernah berlatih dan menang di sana - kalau gak menang, tentu saja gak bisa menyandang gelar jawara dwong, dweh, jweh!

Saya pernah diajak nonton tanding tenis di lapangan tenis (tentu) yang the one and only itu. Oleh seorang temen kakak kelas, tetanggaan rumahnya di kawasan Pasar Pagi (lagi). Padahal saya mah waktu kecil cuma seneng maen badminton doang yang lebih merahayat jelata - tenis mah pan maenan para menak elite tuh, jeh!

Asyik nonton, tentu saja mau-tak-mau, suka-tak-suka, anda mestilah terbawa suasana, emosi dan eforia penonton yang ada di lapangan. Melihat ada yang berhasil memasukkan bola, tentu saja saya ikut bersorak. Saya gak memihak sesiapa pun, sebentar yang kanan masuk, saya tepuk tangan. Yang kiri giliran masuk, ya tepuk tangan juga.

Lagi kesenangan ikut bersorak, tiba-tiba saja saya dipoke , di'handuk' (towel), dijawil teman saya - bagus dia juga cowok, kalau saja dia cewek, mungkin saya merasa dilecehkan tuh!

Saya menoleh, dia berbisik: mending meneng bae, aja melu-melu keprok. Maksudnya, sebaiknya saya jangan ikut bersorak.

Mengapa?

Sebab ada yang panas - maksudna ada bandar atau petaruh yang ketar-ketir berdebar-debar menanti hasil akhir. Teman saya kuatir kalau nanti mereka kalah, lantas cari kambing item - bisa-bisa mereka menyasar ke saya.

Tadi saya baca status satu temen saya, Rainsy M. - katanya dia dimaki-maki dan kemudian diblock oleh satu temen kontak-nya di FB - Facebook, gara-gara dia menjagoi lawan main yang ternyata menang malam ini.

Tadi anda pasang taruhan ke pihak mana?

PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

Makan-makan Enak Masa Kecil di Udik - A: Ayam Goreng.

Udik saya tentu saja Cirebon, wong saya lahir dan besar di Cerebon sih, jeh!

Ayam goreng, tentu saja anda kenal dengan baik. Ada banyak rupa dan warna ayam goreng. Ayam goreng favorit kami, anak-anak Cerebon, jaman saya kecil, tentu saja 'Ayam Goreng Bahagia'.

Lokasinya di sekitar Jl. Bahagia, makanya secara gampang disebut saja AGB - Ayam Goreng Bahagia. Karena ada banyak warung penjaja AGB, berjejer di sepotong jalan itu, kayaknya semuanya tanpa nama.

Kami punya favorit, langganan masing-masing, sesuai selera tentu saja. Favorit saya adalah yang ke-5 dari kiri, dan ke-5 dari kanan - hehehe.... benernya mah poho deui, lupa lagi. Karena hampir semuanya terasa sama saja. Lha, ayam goreng bumbu kuning, dengan bumbu yang sama, dan nampaknya mereka masih bersodara semua.

Yang menjadi favroti saya punya sambel cocolannya yang khas (segera ditiru oleh semuanya) yakni sambel uleg yang dikasih terasi, dicampur gerusan kacang tanah agak kasar, baru kemudian ditumis dengan minyak agak banyak. Biasanya kami masih mencampurnya lagi dengan kecap, dan mereknya tentu saja Tjap Matahari atau Oedangsari, dong!

AGB termasuk yang sering kami santap. Apapun acaranya, makan di luar mestilah milih AGB - belum musim 'fried chicken' soal-e.

Saya dan teman-teman lebih suka mendatangi warung AGB pas pagi-pagi benar, sekitar pukul 05:00. Dan, side order favorit saya adalah: jantung goreng. Jantungnya ndak disate macam yang anda biasa temui di warung buryam, tapi dionggokkan begitu saja di piring kecil, lha jantungnya juga kecil-kecil - belum musim ayam broiler yang gede-gede jantungnya dan brutunya, jeh!

Sepiring kecil jantung yang dikumpulkan dari ayam-ayam stock hari itu, dimakan dengan nasi hangat, cocol dulu pake sambel kacangnya, di pagi hari yang dingin, sementara sepotong paha masih menunggu giliran dicubiti dagingnya. Wah..... pokok-na mah itulah kenikmatan dunia pada masa itu dah, euy!

Anda mau nyomot jantungnya?

Marketing - Konsep BBMA - Bagi Balon Mancing Anak.

Kalau ingat promo resto, saya suka ingat ama Mr. Manny - seorang expat yang dikirim dari pusat, California, USA, untuk menangani resto fast food CFC dulu di Jakarta.

Sebagai pemain baru, sesudah KFC dan TFC, kami mengadakan promo, sebagai kegiatan untuk lebih mendekatkan diri dengan konsumen, dengan cara membagi-bagikan balon bertangkai, berlogo dan nama CFC, kepada anak-anak yang datang bersama orangtuanya. Jurus yang efektip, mengingat anak-anak mestilah ditemani orangtuanya, dan umumnya mereka akhirnya makan di tempat juga. Tentu saja anak-anak suka sekali, waktu itu, sekitar tahun 1985-an, belum musim games elektronik, apalagi internet tuh, jeh!

Karena membagikannya pas hari libur dan hari Minggu, Mr. Manny yang mesti keliling mengecek dapur resto - dia memang bagian dapur, merasa repot sekali mesti membagi tugas kepada anak buahnya, sebagian kasir diperbantukan untuk membagikan balon. Padahal pelanggan banyak berdatangan, antri untuk bayar, dan anak-anak mereka pada ribut minta balon-nya.

Mabok dia menghadapi hal itu, antrian jadi panjang, membludak keluar dari area antri di dalam resto, waktu itu baru buka cabang di GMP - Gajah Mada Plaza, yang sekarang tempatnya jadi McD kalau gak salah - atau sudah jadi si TJ tuh? Mengalahkan KFC yang berlokasi di lantai 2 atau 3 GMP juga.

Jadi, pas meeting mingguan, Mr. Manny komplain keras di depan forum, terutama ngadu ke boss bahwa bagian promosi dan marketing - waktu itu saya yang jaga pos itu, bisanya cuma merepotkan saja. Hari Minggu sudah rame pengunjung, ngapain mesti bagi-bagi balon lagi? Merepotkan saja tuh!

Si boss dan saya cuma senyum, kebetulan saya memang koordinasi dengan boss langsung untuk masalah promo. Dengan enteng saya tanya balik: kalau pas sepi, balon-nya mau diberikan kepada siapa?

Mr. Manny mau berdebat lagi, tapi keburu seluruh forum tertawa, sebab analisanya sungguh mencerminkan ketidak-mengertian-nya akan arti promo. Jadi, cep-klakep meneng bae-lah dia, diam sejuta kata seribu basa. Walau tak mengerti basa-nya, dia juga mafhum bahwa mereka semua mentertawakan dirinya atuh, euy!

Belakangan, saya baru tahu - berdasarkan konsep ADD -Analisa Duga-Dugaan.

Ternyata, kebanyakan (tidak semua lho!) expat yang dikirim ke Indonesia, adalah mereka yang baru 'lulus' atau hendak diuji ulang kelaikannya. Banyakan sih mereka lebih memilih mengirim yang masih culun bin blo'on. Sebab yang pinter-pinter sih tentu sayang di'buang' ke Jakarta. Mending juga dimanfaatkan di negara sendiri, mencari profit lebih gede lagi toh?

Lagipula, yang pinter mah mana mau dikirim ke negara entah-berantah di mana lokasinya (di mata mereka) ini. Kalau pun mau, mestilah 'berat di ongkos' - minta fasilitas dan gaji lebih gede, sebagai kompensasi 'dibuang' ke negeri nun sangat jauh di mato 'kan?

Beberapa kali bekerja bagi perusahaan yang mesti menggaji expat, entah Amrik, Oz atau pun Nihon-jin, Filipino, or Singaporean, baru saya bisa menarik kesimpulan asal-asalan berdasarkan konsep ADD ini - perlu studi lebih lanjut, tentunya, kalau mau memperoleh data yang lebih sahih dan bikin feasibility study dalam bidang ini sih ya.

Anda mau sponsorin 'studi banding' macam gini tah?

Nostalgia - Teman Saya Hilang di RRT (3) - Parfum.

Tahun 1966 itu si Imyang mestinya masih umur 15-16 tahun, kelas 3 SMA THHK. Cirebon itu termasuk kota 'udik', kecil - masih ingusan, walau gak dekil. Kalau anda mau ke luar negeri, pilihannya jaman itu atau naik kapal laut, atau naik kapal terbang. Mesti ke Jakarta dulu, yang ada pelabuhan udara dan pelabuhan lautnya yang besar, buat sandar kapal laut besar, jeh!

Nah, buat kami, anak-anak sekitaran Pasar Pagi, Cirebon, Jakarta itu boleh dibilang nun jauh di mato. Gak tahu di mano letaknyo tu, oiiii!

Siapa tah yang mampu ke Jakarta? Ongkosnya masih mahal. Hanya beberapa orang saja yang memang berbisnis mesti kulakan, baru bisa dan mampu pergi ke Jakarta pada jaman itu. Naeknya spoor langsam kelas ekonomi, atau paling juga kereta Gaya baru yang lebih cepat larinya, atau suburban - travel antar kota yang pake mobilnya Chevrolet, travel satu-satunya jaman itu yang melayani trayek Cirebon-Jakarta pp cuma satu: Damai (masih ada sampai sekarang, usaha angkutan saja kalau gak salah).

Jadi, ketika akhirnya sekolah kami, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, ditutup paksa oleh pemerintah orde bau, gedung sekolahnya disita dan dijadikan STON atau STMN - gara-gara masalah politik waktu itu. Papahnya Imyang memutuskan untuk mengirimnya melanjutkan bersekolah, di mana lagi kalau bukan di ......... RRT!

Karena mesti naek pesawat, Imyang mengemas barang bawaannya memakai koper kulit yang besar. Bukan koper kaleng atau rotan seperti yang biasa dibawa mereka yang naek kapal laut. Kami tidak mengadakan pesta perpisahan, belum musim waktu itu. Juga tidak mengantarnya ke Jakarta, berat di ongkos atuh, euy!

Imyang berangkat sendiri ke Jakarta, ada saudaranya yang menunggu di sana dan mengurusnya di bandara Kemayoran. Naek pesawatnya kalau gak salah Thai Airways.

Lama kemudian, barulah kami terima kabar darinya. Via snail-nail par avion yang amplopnya dikasih garis patah-patah warna biru-merah, tentu, belum musim e-mail sih, jeh!

Isi suratnya panjang lebar. Yang saya ingat cuma ini:

"....enak pisan numpak pesawat, gratis mangan-nginum jus jeruk murni asli (biasa kami minum 'jus' encer dalam botol yang dijajakan pedagang keliling). Pramugari-ye ayu-ayu kabeh. Basa Inggris-e blesak (jelek), masak waktu transit ning HK dan nunggu di dalam pesawat, lawang-e dibuka, si pramugari ngomong-e: It's hok outside. Maksud-e sih [hot] tuh. Tapi, parfumnya..... nyegrak (mencolok) pisan, dari jarak 500 meter sajah kecium wanginya tuh!"

Ya. Itu saja yang masih saya ingat.

Sejak itu si Imyang tidak pernah berkirim kabar lagi. Terlebih setelah di RRT muncul demam dahsyat RK - Revolusi Kebudayaan. Komunikasi terputus, kami tak tahu lagi dia mukim di kota mana, sekolah di mana.

Hilang begitu saja, tak berbekas, bagai ditelan bumi yang merekah - bak kubur si Sam Pek yang merekah terbelah - agar si Eng Thay bisa masuk, manjing, larut menjadi satu, berpadu dalam satu liang lahat, sebab kasih mereka tak sampai tuh......

Anda tahu dia ada di mana?

Nostalgia - Teman Saya Hilang di RRT (2) - Mangga.

Masih ingat mangga gedong (gincu) manis yang ada di meja makan rumah Imyang? Yang saya dikasih satu untuk digerogoti sambil menemani dia mandi itu?

Nah, sekali waktu Imyang membual bahwa mangga itu tidak dibelinya dari pasar. Metik di pohon? Bukan. Punya pohon sendiri? Bukan juga. Dikasih sodaranya? Bukan pula. Barter dengan pesawat - kayak barteran ama Thailand dengan beras ketan dulu itu, lho? Tentu saja bukan, jeh!

Jadi, dari mana tuh mangga kalau bukan dibeli?

Kecepatan tangan!

Itu jawabnya. Yang dimaksud kecepatan tangan adalah..... ambil tanpa diketahui penjajanya, jadi gak usah bayar toh?

Ya. Bener. Anda menebak tepat sekali. Dia mencuri mangga dari penjaja di pasar yang los-nya bersebelahan dengan los beras mamahnya.

Saya penasaran. Dia lantas membuktikannya. Saya diajak menyeberang jalan menuju pasar. Sambil jalan menuju los beras yang agak dalam letaknya, kami mesti melwati los buah-buahan, Imyang disapa para penjaja buah-buahan yang los-nya terletak di bagian depan pasar, karena para saudagar buah itu kenal dengan mamahnya.

Sambil menyapa begitu, tangannya menyentuh tumpukan demi tumpukan mangga gedong yang menjulang tinggi, merah-merah, ranum-ranum itu. Tiba di toko beras mamahnya, dia tunjukkan yang ada di tangannya: sebuah mangga merah ranum dan matang.

Benar. Ternyata dia memang punya ilmu kecepatan tangan. Tadi saya perhatikan, dia hanya menyentuh tumpukan mangga di bakul buah besar, cuma menyentuh saja lho. Eh, ternyata ada satu buah yang 'ikut' nempel di genggaman tangannya tuh, euy!

Jadi, si Imyang ternyata pencuri?

Hehehe..... jangan praduga tak bersalah. Benernya sih tu mangga dibeli mamahnya. Setiap kali si Imyang mempraktekkan kebolehannya dengan kecepatan tangan, si pedagang buah akan melapor ke mamahnya, dan menagih pembayarannya. Hanya saja, dia gak tahu bahwa si pedagang itu tahu, begitu pun mamahnya - hanya saja mereka tak mau memberitahu si Imyang.

Mangga gedong gincu itu ukurannya kecil, bisa 'ditilep' dalam genggaman tangan tanpa terlihat. Dengan sedikit latihan, anda bisa juga menirukan cara si Imyang - asal saja anda punya mamah yang jual beras di sebelah los buah. sebab si pedagang buah matanya jeli, gak mungkin terlewatkan olehnya secepat apa pun tangan anda menilep tu dagangannya atuh!

Di samping ukuran buahnya kecil, pelok (biji)nya besar, banyak seratnya pula, mana kulitnya tebal. Paling enak makan mangga gedong itu dibejek-bejek dulu sampai gembur, lalu dilubangi sedikit kulitnya pada bagian ujung, baru kemudian dihisap-hisap jusnya dari lubang kecil itu.

Kayak minum jus langsung dari buahnya ya - jaman itu blender belum ditemukan sih, setidaknya di toko di Cirebon gak ada yang jual tuh. Sesudah jus-nya habis, barulah kulitnya dikupas dan sisa-sisa daging buahnya yang masih menempel di serat-nya yang melekat erat di peloknya itu, digerogoti dan dihisap-hisap....rasanya asam-asam manis-manis dan seger-megerrrr......

Anda mau ikut menggerogoti tah?

December 22, 2010

Selamet Hari Ibu?

22 Desember, diperingati sebagai hari ibu di Indonesia. "Ibu" di sini merujuk ke siapa ya:

(a) ibu-ibu secara umum, mereka yang menjadi ibu bagi anaknya, atau

(b) ibu-ibu secara umum, sesiapa saja yang pantas dipanggil ibu - bisa jadi wanita usia lanjut (walau tak punya anak), atau

(c) ibu kandung anda.

Mungkin anda pernah dengar lelucon yang berbentuk dialog:

(A) Pak, apakabar?

(B) Bapak? Emang saya nikah dengan ibu kamu?

Kita dibiasakan memanggil 'orang lain' dengan 'bapak', sebagai ganti 'tuan' yang dianggap merendahkan, warisan kolonial, dan di rumah, anda biaya juga memanggil 'pak' atau 'bapak' kepada ayah kandung anda. Ibu anda sendiri (mungkin) memanggil 'bapak' kepadanya tuh, jeh!

Untuk perempuan, sebutannya menjadi 'ibu' menggantikan kata 'nyonya' yang juga dianggap warisan kolonial yang merendahkan, dan di rumah juga memanggil 'ibu' kepada ibu kandung anda.

Sekarang, kalau ada 'Hari Ibu' begini, yang dimaksud itu ibu sebagai ibu kandung (mother) atau ibu seperti panggilan kita kepada setiap perempuan dewasa, berumur, secara umum?

Padahal, kalau saja sebutan 'tuan' dan 'nyonya' plus 'nona' untuk yang masih bujangan tetap dipakai, mestinya anda ndak akan rancu lagi ya antara 'ibu' (sebutan) dengan 'ibu' (kandung).

Selamet hari ibu - ibunya siapa?

PS: Gambar di'pinjam' dari MS Office ClipArt media file.

December 12, 2010

Adat (Kuno?) Mengembalikan Rantang, Jeh!

Jaman kemasan kotak makanan berbahan plastik sekali pake belum musim, kalau mau berkirim makanan, kami selalu pakenya rantang aluminium yang bersusun-susun dan bertangkai penjepit itu. Kalau cuma satu, biasanya rantang dibungkus kain lap bersih. Nantinya rantang tsb. akan dikembalikan oleh penerima hantaran.

Dimensi waktunya sekitar tahun 1985-an, kemasan sekali buang kayaknya sudah mulai musim, cuma belum begitu populer sih. Jadi, waktu (alm) sohib saya suka 'langganan' minta masak babai hong, nyonyah saya membawakan serantang terbuat dari stainless steel. Tanpa lap pembungkus, sebab pengait tutup-nya fleksibel, bisa untuk 2 susun atau satu saja.

Nyonyah sohib saya termasuk orang 'kuno', jadi seperti sudah diajarkan oleh orangtua kami dahulu, mengembalikan rantang kosong itu dianggapnya pamali. Jadi, besoknya selalu sohib saya mengembalikan rantang itu ada isinya, jeh!

Isinya tentu saja bermacam-macam, yang sering sih pastel tutup, macaroni schotel dan aneka penganan Londo. Nyonyah sohib saya itu yang biasa dipanggilnya 'aling' itu lho.

Jadi, barter-nya cukup 'fair'. Sohib saya dapat makanan kesukaan-nya jaman sekolah di Taiwan, tapi nyonyahnya gak ikut makan, sementara 'kembalian'nya disukai oleh nyonyah saya tapi saya gak doyan.

Bagaimana adat menerima hantaran sekarang ya?

BT vs BB vs BM.

Di milis sebelah, ada TM (temen milis) yang curhat ttg gaya penjual rumah yang 'mencurigakan' dilanjut oleh TM lain yang merespon ttg broker yang (juga) mencurigakan. Jadi saya akhirnya terpancing buat ikut cuap-cuap nih....

Katanya, dalam dunia perbokeran, eh, perbrokeran, ada istilah BT - Broker Tradisionil, ini istilah yang dibuat oleh para 'property agent' yang pake PT - perseroan terbates, ada (papan) namanya, ada lisensinya, afiliasi ke properti agent nginternasional.

Jadi, semua yang tidak pake afiliasi, apalagi kagak punya PT - rekeningnya jadi pribadi, dianggap BT - coba ya, bete gak sih kalau anda dikasih predikat BT gitu ya? Jadi, kalau gitu, yang punya lisensi bolehlah kita kasih predikat BB - Broker Berlisensi(?).

Apa bedanya?

Yah..... secara prinsipil dan basically sih gak beda-beda amat dalam menjalankan bisnisnya, sama-sama broker oge tuh. Yakni menjadi broker (kalau disebut calo ntar pada marah pula tuh!) aka perantara antara penjual dengan pembeli.

Mana yang baik dan benar?

Tergantung pada cantolannya, eh, pada individu-nya masing-masing ajah sih. Juga tergantung keperawanan, eh, kepercayaan anda ajah. Kan hukumnya sudah jelas:kalau ragu ya just ignore or delete aza, jeh!

Yang BT gak punya PT bisa ajah bekerja dengan profesional, calon penjual dicek dulu surat-suratnya (kalau bodong ya dilupakan) diminta kelengkapan suratnya(IMB, SPJB, dll), dicek harganya ketinggian atau kerendahan, dicek fisik apa bener rumahnya, lokasinya, dll.

Calon pembeli diantar melihat-lihat rumahnya, dikasih tahu plus-minus lokasinya, keadaan rumahnya. Menjadi penengah antara pembeli vs penjual kalau-kalau ada dispute, dua-duanya sama-sama dilindungi kepentingannya. Kalau terjadi transaksi, dibantu urusan notarisnya, bahkan ada juga yang kasih ekstra servis mencarikan bank kalau anda perlu KPR.

Yang BB? Halah, namanya juga manusia, ada yang BB - baik & bener, ada juga yang GBS - gak baik & salah.

Ada BB yang menekan harga yang diminta pembeli, serendah mungkin, lalu kalau ada yang tertarik dan kasih tanda jadi (sudah positip toh), seolah dia yang beli - lantas dijual dengan harga tinggi-tinggi kepada prospeknya - bisa sajah kejadian, walau mungkin umumnya gak begitu ya. Tapi itu dulu, sekarang mah boro-boro mau buntung kalau begitu, bisa-bisa tekor mbayar pajak bulak-balik tuh!

Dari pengalaman saya beli-jual tanah dan rumah, pertama kali beli tanah, broker-nya belerot. Sampai bingung sebenernya tu tanah 'milik' siapa, istilahnya'milik' itu listing pertama pemilik kepada BB yang mana. Lha, akhirnya ada agent yang curhat, dia cuma kebagian sedikit sekali, padahal dia yang 'kenal' saya.

Katanya ada aturan khusus untuk broker berbagi fee (split commission) begitu, tapi, sorry, kalau BT gak masuk itungan, dikasih alakadarnya ajah sudah kudu kamsiah - thank you, euy!

Namanya 'listing' (waktu kita jadi penjual nih) ada ekskulsip dan non eksklusip- maunya BB sih eksklusip (aneh istilahnya: eks = keluar, terbuka, tapi mereka maunya 'tertutup', cuma dia seorang), teorinya sih canggih tenan: katanya nanti diiklankan (di kaca jendela kantornya), juga melalui media (mbayar dhewe), dilisting di buletinnya, tapi lantas bilang juga harganya koq ketinggian, ditakut-takuti bahwa SPJB bikin harga jadi rendah, pajak-nya mesti begini, begitu. Belum bayar PBB - wah... pembeli pasti gak mau dah. Ditunggu sampai 2 tahun gak payu-payu, setiap ditanya cuma bilang harganya kemahalan, sampai saya merasa 'minder' dhewe dan harga terus diturunkan tuh!

Lha, saya akhirnya jual dhewe via BT amatir (bukan profesi-nya) yang kenal ama calon pembeli, semuanya gak ada masalah, harga sesuai permintaan sejak awal. Semuanya bisa diatur, pembeli juga gak cek and ricek surat-surat, cuma cek fisik, akhirnya lancar-lancar ajah. Pembeli lihat, survei, minta second opinion ama anak-anak dan sodara-sodaranya, beres. PBB dan IPL dibayar belakangan, sesudah uang dibayarkan dan pembeli minta masuk rumah.

Sementara sebelumnya para agen BB datang dan pergi silih berganti, bawa'prospek' yang aneka macam: ada yang ngomel-ngomel kenapa tangganya dibikin begini, kenapa kamarnya di sini (aneh, tapi nyata ya?), ada juga yang cuma survei dan diakhiri dengan maksibar (pas jam-nya sih) rame-rame sekampung, ada teteh, bibi, paman, keponakan, ada backpacker kumplit dengan gandengan 'cewek eksotis'nya juga pernah dibawa lihat-lihat, bukannya under estimate ttg kemampuan finasialnya (back packer mau stay mapan - atau cuma mengharap 'test drive'doang?), kesannya koq tu broker asal bawa prospek ajah kejer target visit ya?

Ya sudah. Memang BSD begitu gede lahan-nya, katanya antara 6.000-8.000 hektar, jelas menarik sekali bagi prospek pembeli dan tentu saja para broker properti. Sampai-sampai ada 2-3 pemegang lisensi yang sama di radius seputaran BSD ajah, mereka jadi saling bersaing dhewe - tapi ya, tetep ajah kompak dalam hal komisi atawa fee mah atuh, euy!

Lha, BM itu apa?

O, itu lho, Broker Malu-malu (cenderung malu-maluin), yang ini istilah gawean saya dhewe. Yakni orang yang merasa gengsi jadi BT, jadi ngaku-nya pembeli biasa, gak mau anda tahu kalau do'i tuh BT, padahal mah dia teh BTP - broker tulen profesional sangat - nyari untung-na teh gede pisan, jeh!

Caranya, ya itu tadi, dia cari prospek serius, lalu bertindak serius jadi prospek pembeli ke anda, bawa orang sekampung sebagai alibi bahwa dia orang bener-bener seurius (nanti saling bilang, seolah sudah positip mau mbayar tanda jadi), datangnya deket-deket jam makan siang ajah, mayan kalau yang punya rumah ngajak maksibar toh?

Yah begitulah namanya bisnis, her name is also effort sih ya?

December 10, 2010

Hura-hura Nasional 98 (2) - Keberuntungan Pemula?

Masih lanjut cerita ttg ronda kampung ketika masih musim hura-hura nasional 1998 dulu itu. Menunggu subuh bakal bosyen-mosyen kalau cuma ngobrol dan ngupi dengan jaburan doang sih ya. Jadi kami pun iseng main kartu, dengan taruhan kecil-kecilan doang.

Mulanya saya cuma jadi penonton pasip, gak ngerti cara main-nya soal-e. Lama-kelamaan, saya jadi terpaksa 'belajar' dan ikutan main, sebab saya jadi mengerti caranya sih, jeh!

Permainan yang populer waktu itu adalah 'sam-gong', jelas ini istilah adaptasi dari dialek Hok-kian. Sam = tiga, gong (mungkin dari 'kong') = nol. Samgong = 30.

Cara mainnya gampang, kita pasang taruhan, bandar membagikan kartu remi yang dikocok dari 1 atau 2 set, tergantung jumlah pesertanya ajah. Masing-masing peserta, termasuk bandar mendapat 3 lembar kartu. Lalu kita lihat jumlah nilai kartu yang kita peroleh. Targetnya mencapai nilai 30. Kalau kurang, boleh minta tambah kartu. Tapi kalau lebih, dianggap void dan kalah. Lawannya tentu saja sang bandar.

Kalau anda beruntung, anda mendapat kartu raja 3 lembar sekaligus, tapi mungkin saja bandar juga memperoleh nilai 30, maka anda akan kalah. Lebih beruntung lagi kalau anda memperoleh 3 kartu pertama dengan nilai kecil, as, 2, 3, dan kalau anda meminta tambahan kartu, mendapat nilai kecil-kecil lagi, sampai anda memperoleh 10(?) lembar kartu dengan total nilai di bawah 30, maka anda menang - mengalahkan bandar yang mencapai nilai 30. Asal bandar tidak memperoleh nilai kecil dengan jumlah kartu yang sama.

Yang menang bergiliran jadi bandar, jadi ndak ada bandar tetap. Celakanya, karena saya menang terus, akhirnya saya lebih sering jadi bandar (hampir) tetap. Mungkin saja ini keberuntungan pemula ya?

Hasil kemenangan biasanya ludes lagi sih, sebab begitu subuh tiba, langsung kami ramai-ramai mencegat tukang lontong sayur yang lewat, sampai-sampai ada satu tukang lonsay yang mangkal dekat pos menunggu kami bubar.

Yang traktir? Siapa lagi kalau bukan pemenangnya dong.

December 07, 2010

Sotoi Soal Smoking Di Bioskop.

Baca cerita mBak Arie di sini. Tentang smoking di tempat umum, yang benernya sih sudah ada aturannya, tapi ya begitulah - katanya aturan dibuat untuk dilanggar toh, jeh!

Eh, saya jadi ingat pengalaman 'sotoi' (so tahu) saya ketika jadi turis kere di HK back in the year of 1991-1992. Lupa lagi persisnya. Tapi ingat persis ceritanya.

Saya pergi sendiri, dalam rangka 'tugas' kantor nyari sample barang-barang souvenir untuk promosi. Itu resminya, padahal mah cuma sekedar bonus jalan-jalan (MICE) kerana saya berhasil menggoalkan proposal budget iklan Rp 1 M (jaman US$ masih sekitar Rp 2.000-an ajah, kurs resmi jadi US$ 500.000 - nilai sekarang jadi Rp 4,5 M tuh!) untuk satu merek produk susu formula.

Jadi, karena iseng gak tahu mesti ngapain, malam hari saya nonton bioskop entah apa namanya yang lokasinya di pengkolan satu jalan di area Causeway Bay, di seberang Sogo (saya nginap di apartemen di atas Sogo), ada mini market di bawahnya, saya beli cemilan dan karcis, minta duduk di balkon - loteng.

Pas lampu dimatikan, pas saya duduk di barisan depan, eh, ada bule di belakang saya yang baru datang duduk langsung kebal-kebul menghembuskan napas terakhir, eh, asap rokok. Dia enak ajah smoking di ruang tertutup. padahal setahu saya ruang publik, apalagi tertutup mestinya dilarang merokok, tuh!

Jadi, saya so-toi menoleh ke arah si bule, saya bilang: Excuse me, can you stop smoking? Si bulenya mendekatkan kepalanya ke muka saya, lalu bilang: Sorry, but this balcony room is for smoking area, sambil menunjuk ke signage kecil menyala di tembok.

Hehehe..... giliran saya yang tengsin-nya bukan alang kepalang. Sambil nyengir, saya cuma bisa bilang: Ooops, Sorry.

Sorry, sorry.... sorry, Jack.....

PS: Foto diambil dari MS Office ClipArt media file.

IT'S WORLD TIME: