March 11, 2010

Jadi Pembuat Ciamsi di Jaman Edan.

Setting waktu mesti mundur ke tahun 1966-an, lokasinya tentu saja masih di kawasan Cirebon, the shrimp city - small city with bigger opportunity, jeh!

Musim-nya lagi musim erek-erek, entah boleh nyomot dari basa apa tu kosakata ya? Mirip 'erek' (e-sate) dari basa Sunda yang artinya 'mau'
. Mungkin saja memang berasal dari basa Sunda, yang maknanya: mau, mau!

Ya. Siapa tah yang tak mau dikasih uang berlipat-lipat? Dengan pasang nomer yang anda taksir, bisa dapat minimal 20 kali lipat - kalau anda beruntung dan nomer tebakan anda keluar?

Jaman itu bisalah disebut jaman edan, jaman judi bersimaharajalela.
Semua orang pada asyik-masyuk ngebahas 'ciamsi' untuk bisa mendapat arahan menebak nomer yang 'cun' - jitu. Setidaknya di Cirebon waktu itu, di kota lain sih entah ya. Lha, jaman belum musim i-net, gak bisa dapat info ttg hal remeh-temeh begini dari blog MP atau statu FB toh?

Ciam-si mestinya dicomot dari basa Tionghua dialek Hok-kian, itu merujuk ke selembar kertas bergambar berupa oret-oretan tak menentu yang bisa terbaca nomer-nomer sesuai persepsi dan analisa anda. Biasanya disertai syair yang nyerempet-nyerempet ke arah.......... seks? Hehehe.... tentu bukan!

Tentu saja menyerempet-nya ke arah kode nomer.

Semua orang pada duduk nongkrong di mana-mana saja di depan meja agen nomer erek-erek yang dibuka tiap malam, di kasino yang mengambil lokasi di bekas gedung bioskop Bima-Kresna yang semula bernama Mars-Ceres, 2 bioskop twin yang ada di bilangan Jalan Bahagia itu.

Tua-muda, pria-wanita, besar-kecil, boss-boss dan para tukang becak, saudagar gaplek dan kuli panggul beras di pasar, pada ikutan, bahkan nenek saya suka iseng ikutan masang dan beli ciamsi-nya. Saya yang seringnya diminta tolong beli ciamsi, berupa lembaran kertas stensilan - belum jaman fhoto-kopy. Ada banyak beredar ciam-si buatan sesiapa saja dengan nama berbau dukun Ki Samber Nyowo, atau 'pek-kong' Wong De Sit.

Sekali waktu, saya iseng bikin gambar oret-oretan mirip ciamsi. Saya berikan ke nenek saya untuk dibahas - istilahnya keren banget, gak kalah ama anggota dewan yang terhormat yang barusan ajah selesai sesi-nya ngebahas kasus BC itu.

Eh, besoknya, pulang sekolah saya lihat ada sepiring laragudik di meja, itu kuwih kesukaan saya banget. Tumben amat ene (panggilan saya untuk ema - nenek, mestinya ini salah kaprah, ene = emak - mama, dari dialek Hok-kian) membelikan laragudik sepiring berisi 9 potong besar - sesuai dengan angka undian yang keluar semalam, khusus untuk saya, jeh!

Rupanya ene baru saja menang dapat erek-erek karena tebakan angkanya cun - pas, tepat, yang didapat dari hasil pembahasan ciamsi buatan incu kasayangan-na anu bageur pisan ieu (cucu kesayangan-nya yang baik hati sangat dan tidak sombong inih = saya). Menangnya berapa saya lupa lagi, yang jelas mestilah lebih besar dari harga 9 potong laragudik nan nikmat sangat itu.

Sejak saat itu, resmilah sudah saya menjadi anggota PPCCI - Paguyuban Pembuat Ciamsi Cun International dengan nama samaran Pek Kong Wu Loong Pendolagu (pendoyan lara gudik) - sesajen-nya mesti sepiring lara gudik.

Anda mau bahas ciamsi juga tah - ben melu edan-edanan?






PS: Gambar ciamsi dipinjem dari sini.

IT'S WORLD TIME: