March 14, 2010

Aceh - Mulai Lagi, Tah?

Apa yang anda persepsi-kan kalau mendengar atau membaca kata 'Aceh'?

Mungkin anda akan ingat DOM - Daerah Operasi Militer dan GAM - Gerakan Aceh Merdeka, 'stempel' yang dibuat menjadi stigma untuk Aceh oleh rezim Orba - Orde Bau, eh, Baru. Lalu Bencana Tsunami 24 Desember 2004 yang memakan kurban sekitar 300.000 orang penduduk Aceh (mencapai lebih separuh dari 'kurban' politik G-30-S 'karya' perdana Orba: 500.000 orang), dan sekarang mulai marak diberitakan media cetak (koran, majalah) dan elektronik (radio, TV dan i-net) bahwa Aceh menjadi 'pusat' pelatihan teroris?

Seminggu ini, ketika ada 'teroris' ditembak mati di Pamulang, Tangerang Selatan, langsung saja media cetak dan elektronik 'berlumba' memberitakan ttg teror dan teroris, dan dilanjut dengan berita-berita gencar setiap saat, setiap hari ttg 'pusat' latihan teroris di Aceh itu. Berita teror ini rasanya sudah cukup menerorkan, menjadi teror tersendiri bagi pembaca, pendengar dan pemirsanya.

Buat saya, Aceh adalah sesuatu yang baik, yang manis, yang sederhana, baik hati, penolong.

Yang pertama saya tahu, Aceh adalah nama untuk rambutan yang manis, berrambut cukup panjang (setidaknya tidak 'cepak' macam rambutan Betawi - Ropi'ah), berwarna merah kekuningan, buahnya cukup tebal, manis tak berarair, dan yang paling khas..... ngelotok - daging buahnya dengan mudah terlepas dari kulit ari bijinya.

Itu ketika saya masih anak-anak, lahir dan besar di Cirebon, tapi rambutan Aceh sudah ada di sana. Dan, sekarang saya punya pohon (rambutan) Aceh di halaman belakang rumah yang buahnya lebat sekali tahun lalu - ada sekitar 30 kilo-an hasil panen buahnya.

Ketika saya kuliah dan tinggal di asrama di Yogyakarta, saya kenal satu, eh, dua orang senior asal Aceh. Yang satu teman sekamar, biasa disebut 'bapak buah' - karena sudah tahun ke-3 tinggal di asrama, namanya Irwansjah - kuliah di IKIP negeri Yogyakarta jurusan Teknik Elektro, dan satu 'kakak' buah - dia sudah tahun ke-2 di asrama, tidak sekamar, namanya M. Sayuti, saya lupa lagi kuliahnya di mana.

Kedua-dua teman Aceh saya ini pendiam - tapi enak kalau sudah mulai ngobrol, taat sembahyang tepat waktu, tapi bukan seorang 'fans' - fanatik kepada agamanya - Islam. Baik hati, suka menolong, toleran. Menghargai pendapat orang lain, terbuka, ndak ngotot kalau diskusi - seminggu sekali di asrama kami ada acara latihan diskusi, tentang apa saja. Kalau pas ada acara malem dansa - kami mengundang warga asrama puteri, kedua teman Aceh saya tidak pernah ikut, tapi suka ikut urunan beli konsumsi-nya. Juga tidak pernah menunjukkan rasa tidak senangnya, atau mengritik kami yang 'hobi'nya dansa-dansi, jeh!


Ketika saya bekerja dan dapat tugas di Medan, menjadi anggota IdI ('d'-nya kecil: Ikatan detailer Indonesia), kebetulan sekali saya satu distributor dengan perusahaan obat asing yang diwakili oleh satu orang Aceh. Abdul Hakim namanya. Tinggalnya kebetulan satu gang dengan rumah kakak 'angkat' saya, di Gang Sei Sikambing, Glugur By Pass.

Belum lama saya di Medan, belum dapat kendaraan inventaris khas detailer: Vespa. Jadi saya mesti sewa kepada tetangga yang anaknya punya Vespa. Tiap sore dia antar saya keliling mengunjungi dokter-dokter. Ketika Bang Hakim, begitu saya menyebut teman Aceh saya di Medan itu, tahu bahwa saya mesti menyewa Vespa, dia tawarkan kepada saya untuk ikut berboncengan dengannya saja. Toh tujuan kami sama: visit ke dokter-dokter.

Saya pun terima tawarannya. Sebab ketika saya tanyakan apakah dia tidak merasa tersaingi saya, sebab sama-sama mesti menawarkan obat kepada dokter yang sama, dia jawab bahwa produk kami tidaklah saling bersaing - perusahaannya merupakan PMA - Penanaman Modal Asing, sedang perusahaan tempat saya bekerja adalah PMDN - Penanaman Modal Dalam Negeri. Bahkan dia bilang justru saling sinergis, kalau dokter ybs perlu obat ex lokal untuk pasien menengah-bawahnya, bisa menuliskan resep dengan nama obat saya, dan kalau ada dokter yang perlu obat ex LN, tentunya memilih produk dia.

Begitulah. Karena itikad baik dan niat baiknya, kami bisa berjalan seiring sejalan, dan karena hal ini pula, kami mendapat simpati dari dokter yang kami kunjungi.

Isteri Bang Hakim seorang wanita Tapanuli Selatan, Kak Ida - begitu saya memanggilnya, kalau tak salah marganya Siregar. Jadi kalau ada perhelatan kerabatnya, Bang Hakim mendapat tugas di dapur menjadi.... pencuci piring gelas sendok garpu. Jaman itu belum musim katering toh, semuanya mesti dilakukan bersama kerabat, berbagi tugas. Jadi, kebetulan 'status' Bang Hakim adalah 'tulang' (kerabat ipar?), maka tugasnya ya di belakang layar itu-lah. Mendapat tugas begini, Bang Hakim menerimanya dengan ikhlas dan enteng hati, dengan becanda dia pernah bilang: sudah suratan nasib saya jadi 'tulang', entah kapan jadi 'daging'nya ya?

Setelah saya mendapat inventaris kendaraan, hubungan kami tetap baik. Bang Hakim pula yang memperkenalkan saya dengan makanan khas Medan, seperti: Pecel Medan (yang jual sih teuteup wong Jowo, lupa lagi tempatnya, agak ke luar kota), Misop (mie yang diberi kuah sup daging sapi), burung liar goreng - yang enak: Burung Punai (di pinggir kota) juga...... duren Medan nan legit, manis itu, dong!

Tidak lupa juga perkenalan perdana saya dengan nasi briani khas Aceh berdaging kambing, bernanas dan berkismis, dan berrempah sangat nan hangat dan nikmat, ketika ada kenduri di rumah Bang Hakim syukuran ulang tahun anak-nya.

Begitulah. Aceh yang saya kenal, jauh dari kesan 'horor' seperti yang digambarkan oleh Orba dengan GAM dan DOM-nya, ndak pernah saya merasa 'ngeri' kalau berhubungan dengan orang Aceh. Walau saya belum pernah ke Aceh, semasa di Medan cuma sampai Pangkalan Susu - daerah Sumut dekat perbatasan dengan Aceh, saya yakin penduduk di sana ramah, baik hati, suka menolong seperti Bang Hakim, Bang Irwan dan Bang Sayuti yang 'mewakili' orang-orang Aceh yang saya kenal.

Pemerintah sekarang kalau tak salah adalah 'produk' reformasi yang menggulung rezim Orba, tapi kayaknya sudah mulai 'latah' ikut-ikutan cara Orba: membuat stigma yang 'negatip' ttg Aceh - entah disengaja karena sedang mengkampanyekan sesuatu atau apa, tentu saja saya tidak tahu. Yang mengherankan tentu saja, mengapa media koq ya sepertinya ikut membantu 'kampanye' ini ya?


Seperti halnya orang Bogor yang tidak suka - pernah ada yang 'protes', dengan istilah "Banjir Kiriman Dari Bogor" - untuk merujuk ke banjir tahunan yang selalu melanda Jakarta (sebab aliran air sungai yang bermuara di Jakarta memang tentu saja berasal dari hulu yang kira-kira adanya di daerah Bogor dsk-nya itu), saya yakin saudara-saudara kita, penduduk dan warga Aceh tentu saja tidak akan senang mendapat pemberitaan gratis sekalipun ttg 'pusat pelatihan teroris' ini.

Kalau saja saya orang media, mungkin saya akan melawan 'kampanye' ini.


IT'S WORLD TIME: