March 03, 2010

Indra Penghidu Pemicu Memori.

Baca respon mBak Shanti atas komentar saya atas album fotonya di sini, saya jadi teringat cerita yang berhubungan dengan bebauan, aroma.

Kalau anda mencium aroma rumput yang baru saja ditebas, mestinya anda akan teringat kampung halaman anda di puncak gunung yang sangat pelosok, ndesit - lebih udik dari ndesa aka ndeso gitu lho.

Kalau terhidu oleh saya aroma tahi kuda, saya langsung teringat ke satu di antara dua hal ini: atau (1) suasana pangkalan per (dokar, istilah Cerebonan) di samping Pasar Pagi, di pinggir kali Sukalila (agak aneh namanya kali - sungai kecil ini, seberang jembatan yang mengarah ke muara, namanya jadi Kali Baru) yang cukup ramai dan hiruk pikuk pada masanya, ketika per masih boleh masuk kota, sebagai moda transportasi selain becak; atau (2) Nasi Kimlo Solo yang top banget.

Apa hubungannya Nasi Kimlo Solo dengan tahi kuda?

Jelas erat sekali. Sebab si nasi kimlo Solo itu memang mangkalnya di pangkalan andong di kawasan Balong, seputaran Pasar Gede, Solo. Sama seperti per di Cirebon, andong juga ditariknya oleh kuda.

Dan kuda itu mestilah membuang kotoran berupa tahi kuda. Kalau cuma satu dua ekor, ambune tentu tak kan ke mana-mana ya. Lha, kalau kuda-kuda satu pangkalan andong pada menggembol tahi-nya di karung di bawah pantat mereka, dan pada berceceran atau sengaja dikumpulkan di satu tempat dekat-dekat situ, tentu saja ambune menghabring ke mana-mana atuh, jeh!

Saya ingat per di Cerebon itu sekitar tahun 1960-an, dan nasi kimlo Solo itu sekitar tahun 1966-an.

Saya ndak mengerti mengapa hubungan bebauan begitu eratnya dengan memori kita. Begitu terhidu ('mencium' dengan hidung - to smell, beda dengan 'mencium' - to kiss, yang memakai bibir) aroma atau bebauan tertentu, langsung saja secara sak-kal (instant) memori aka ingatan merasuk ke suatu keadaan tertentu, ketika anda pertama kali menghidu bebauan tsb.

Saya ingat sekali keadaan dan suasana ketika mama saya meninggal dunia.

Waktu itu saya belum mengerti apa arti 'meninggal dunia'. Mama saya meninggal dunia karena melahirkan adik saya paling kecil (anak papa dan mama kami yang ke-8). Saya ingat bagaimana tembela, tembelo aka peti mati yang dibuat dari kayu jati utuh, besar dan berat, diletakkan di tengah ruko papa saya, dengan disangga bangku kecil dari kayu kokoh di depan dan belakang peti mati tsb. Ada foto mama saya di altar kecil di depan peti mati, dengan tempat hio dan persembahan berupa buah-buahan dan sekerat daging dan ayam utuh (samseng?) sebagai ritual sembahyang. Waktu itu belum ada rumah duka yang bisa disewa, jadi umumnya 'rumah duka' ya di rumah tempat tinggal kami.

Kalau ada tetamu yang ikut berbela sungkawa datang, akan ada petugas panitia yang memberinya sebatang hio menyala, lalu mereka berdiri dengan takzim di depan foto mama saya, memanjatkan doa, menaik-turunkan hio [yang digenggam dengan dua tangan mengatup] di atas kepala mereka, lalu hio ditancapkan di gelas besar yang berisi beras sebagai 'pegangan' batang hio, dan mereka akan menyoja [mengepalkan kedua tangan, yang satu menutupi yang lain] ke arah kami - anak-anak yang berdiri di belakang peti, dan kami mesti membalas soja mereka.

Lemari-lemari toko dikesampingkan dan ditutupi kertas putih, pintu-pintu terbuka dengan daun-daunnya dicopot semua dari engselnya, ada tirai putih dari kain belacu digantungkan di atas pintu-pintu, dengan belahan (?) dua yang diikat dan disangkutkan ke kiri-kanan pintu, sebagai 'kode' bahwa yang meninggal adalah seorang perempuan. Tarub didirikan di trotoir depan ruko kiri-kanan, untuk para tetamu duduk dan mengobrol, dengan hidangan kacang + kuaci di atas piring, dengan suguhan teh hangat dalam gelas belimbing.

Kain belacu yang sama mesti kami kenakan, untuk anak-anak lelaki berupa baju dan celana yang dijahit terbalik, sepotong kain belacu diikatkan di kepala kami - seperti Rambo. Rok terusan dan kerudung dari kain belacu mesti dipakai untuk cici dan adik saya yang perempuan. Di belakang dan samping kiri-kanan di dinding ruko, digantungkan bentangan kain-kain dengan tulisan dalam huruf Hanzi dan hiasan tempel berupa gambar burung hong dan bunga-bunga, pernyataan turut berdukacita dari kerabat, handai tolan dan teman-teman papa saya.

Waktu itu saya baru berumur 6 tahun. Semua 'gambaran' itu akan terlihat jelas sekali oleh saya, kalau saya mencium bau eau de cologne merek 4711. Sebab minyak wangi itu-lah yang dipakai sebagai pengharum ruang ketika mama saya meninggal dunia ketika itu.

Aroma apa mengingatkan apa bagi anda?







PS: Gambar dipinjam dari sini.

IT'S WORLD TIME: