January 01, 2010

Tahun Baru - Baju Baru, Sepatu Baru.... Semuanya Serba Baru?

Setiap kali ada pergantian tahun - kita sebut tahun baru, saya selalu ingat akan cerita yang pernah dimuat di majalah yang sudah almarhum. Lupa persis judulnya, mungkin Panca Warna atau Star Weekly.

Waktu itu, saya masih awal-awal SD, baru bisa baca. Jadi bacaan apa-apa saja saya 'lalap' habis. Majalah anak-anak, Si Kuntjung, koran - Warta Bhakti, Panca Warna, Star Weekly, bahkan Liberty yang dari Surabaya, saya suka ikut baca. Umumnya jaman itu koran dan majalah selalu terlambat tiba di Cirebon. Kebanyakan media terbitan Jakarta dan kota besar lainnya. Pasokan majalah Liberty dari Surabaya saya peroleh dari engku (adik misan mamah) saya.

Apa hebatnya baca koran dan majalah?

Kalau anda bersekolah di sekolah berbasa Indonesia, entah swasta atau negeri, tentu itu hal biasa saja. Tapi saya sejak TK sampai SD, cuma sampai SD saja - belum sempat tamat, bersekolah di sekolah berbasa Tionghua, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, jadi basa Indonesia menjadi basa ke-2. Hanya karena papah saya menikahi mamah yang 'asli' kelahiran Cirebon (persisnya sih di udik: Walahar, Kuningan, Jawa barat), maka di rumah kami bercakap dalam basa Indonesia.

Back to the story.

Jadi pernah pada edisi Imlek majalah tsb., saya baca ttg persiapan orang-orang menyambut Imlek. Tahun baru Imlek tentu saja menyambut tahun baru sesuai penanggalan Imlek (tahun ini jatuh pada 14 Februari 2010), atau persisnya sih tradisi menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi.

Keluarga Tionghua di Indonesia, pada sekitar tahun 1950-an itu, tentu saja masih kental tradisinya, budaya-nya. Saat itu pemerintah baru merdeka 5 tahun, mungkin para pejabat dan pemimpin kita masih 'demam' idealisme membangun bangsa, jadi mereka tidak peduli anda siapa, asal mendukung NKRI, anda boleh bebas melaksanakan tradisi anda, jeh!

Jadi, kalau menjelang Imlek - sekitar seminggu sebelumnya, keluarga Tionghua di Indonesia, umumnya bebenah. Rumah dibersihkan, dikapur temboknya (jaman itu belum ada cat tembok RTU - Ready to use) dengan cara anda beli kapur di toko kapur, campur air dan mengecat tembok rumah anda menggunakan 'kuas' berupa ikatan jerami yang dikeprek bagian ujungnya.

Selesai rumah dibereskan dan dikapur putih bersih, perabot yang usang diperbaiki atau diganti perabot baru, jendela diberi gorden baru jahitan ibu RT sendiri (jaman itu, kalau anda seorang perempuan, mesti bisa menjahit, memasak dan membuat kue kalau mau mendapat 'sertifikat' siap nikah), ibu-ibu mestilah mulai sibuk menggelepung (membuat tepung dari beras ketan) untuk lantas mulai membuat dodol aka kue keranjang berramai-ramai, ada yang nguleni, menyiapkan citakan berupa daun pisang yang dipanaskan dulu, atau kertas kaca tarok di dalam keranjang kecil, memasukkan adonan ke keranjang, menyalakan kayu bakar, memasak air di langseng besar, mengukus adonan dalam keranjang bambu itu.

Yang tinggal di 'kota', mungkin akan mulai menabung membuat kukis semisal nastar, katetong (lidah kucing), kue jepit, dan lain-lain. Kami anak-anak mesti bantu mamah, atau cide - cici paling gede, paling besar, mengipasi arang pemanas oven (belum musim oven gas atau oven listrik).

Begitulah, kami sekeluarga mestilah bergotong royong swa sembada dalam hal apa saja. Jaman-nya masih sedikit penduduk, belum musim KB, jadi ada benernya banyak anak banyak rejeki - khususnya yang perlu banyak tenaga kerja trampil dan murah - gratis, bahkan ya?

Boro-boro mau sewa orang melabur tembok, mendingan uangnya dibungkus kertas minyak merah (kertas yang sama untuk menghias tutup toples beling) dijadikan angpao untuk anak-anak yang minimum per keluarga punya 5 orang, bahkan ada yang 12, dari satu mamah dan satu papah!

Kue-kue kering? Beli di supermarket ajah? Atau pesan lewat para ibu bakul online yang mesti tambah ongkir - ongkos kirim? Halah, in your dream. Supermarket-nya belum juga ada blue print-nya, apalagi internet-nya, mungkin masih dipakai militer AS untuk melakukan tugas intelijen mereka, memata-matai semua negara demi keuntungan mereka sendiri.

Jadi, kalau tahun baru, semuanya serba baru. Anda berhak mendapat baju baru, celana baru - seringnya memakai kain dengan corak seragam untuk semua anak, laki perempuan. Sepatu baru, tas sekolah baru. Pokokna mah semuanya serba baru.

Di cerita itu, ada satu yongen (anak muda) yang entah mengapa punya pemikiran 'aneh'.

Dia tidak mau melabur rumahnya, tidak bercukur rambut maupun janggutnya, tidak memakai baju baru, celana baru, sepatu baru. Juga tidak menyiapkan kue kering apalagi dodol. Bahkan tidak masak-masakan istimewa di rumahnya untuk makan-makan bersama seluruh keluarga.

Miskinkah dia? Tidak. Orangtuanya cukup berada. Dia sendiri sudah bekerja dan mendapat gaji. Hanya saja, dia merasa, apa sih bedanya hari kemarin (31 Desember 2009) dengan hari ini, 1 Januari 2010. Atau kalau Imlek nanti, 13 Februari 2010 dengan 14 Februari 2010. Toh anda tidak mengalami guncangan ketika ada pergantian hari, apa bedanya dengan hari-hari lain? Pergantian yang terasa nyata cuma menurunkan kalender tahun 2009 dan menggantung kalender tahun 2010.

Yang lain? Semuanya tetap sama: udara tetap udara yang sama anda hirup kemaren, jam juga tetap berputar searah jarum jam (tentu dwong!) yakni ke arah kanan, jarumnya masih sama, ada detik dan menit dan jam. Kalau jam digital seperti sekarang, malah cuma titik nyala-padam bergantian, lalu angka-angkanya berubah.

Untuk apa semua serba baru? Berboros uang untuk melabur rumah, beli kain baru, beli bahan-bahan kue - sampai mesti antri di TBK - Toko Bahan Kue, mengelepung tepung beras ketan, menjahit baju, membuat kue, memasak makanan mewah yang cuma setahun sekali itu. 'Membakar uang' membeli kembang api.

Membangun semangat baru? Kenapa tidak setiap hari anda membangun semangat baru? Bukankah setiap hari memang anda mesti bersemangat? Kemaren, hari ini dan besok. Itu istilah kita untuk pergantian waktu. Mengapa mesti menunggu setahun sekali baru semuanya diperbaharui?

Pemikiran orang di dalam cerita pendek di majalah itu, mungkin saja penulis-nya sendiri yang mengalami hal itu, pada masa itu saja sudah menjadi semacam 'terobosan', ketika adat-istiadat tradisionil masih dipegang dan dijalankan dengan teguh dan kukuh, kuat.

Dibandingkan sekarang, yang adat-istiadatnya justru sudah kendor, malah nampaknya kita mulai mengadopsi adat barat(?) dengan hal-hal serba baru, berbagi hadiah (dulu menggunakan angpao, memberi hadiah dalam bentuk 'mentahan', anda bisa beli apa saja hadiah yang anda suka). Jor-joran membakar kembang api. Padahal itu semua cuma pemborosan saja.

Kalau anda memang perlu sepatu baru, baju baru, ingin makan kue-kue, masakan enak yang mewah, bukankah semuanya sekarang sudah tersedia di mana-mana? Anda bisa pesan apa saja melalui kompi anda dari rumah. Bayarnya juga cukup gesek kartu plastik saja. Mau Visa Card, Master Card atau BCA Card?

Anytime, anywhere, anything.... kapan saja, di mana saja, apa saja bisa anda beli dan dapatkan. Mengapa mesti sengaja memboroskan diri pas tahun baru?

Selamat tahun baru (Imlek)!

IT'S WORLD TIME: