January 16, 2010

Buto Ijo, Kolor Ijo dan Burjo!

Saya lupa persisnya kapan, mungkin ketika saya masih TK, sekitar tahun 1950-an akhir. Di Cirebon beredar desas-desus, waktu itu sih belum musim istilah isyu atawa gosip, masih sebatas desas-desus ajah, tapi sistem-nya sudah pake MLM - Mulut Lewat Mulut, dan cukup efektip tuh!

Seluruh kota geger, heboh.

Orangtua yang masih punya anak balita, termasuk saya mestinya waktu itu, pada berebut beli kalung bambu kuning, yang dibuat dari sepotong kecil bambu kuning dengan diameter sekitar 5 mm dan panjang 15-20 mm, diberi seuntai tali kasur warna hitam yang dimasukkan ke dalam lubang buluh bambu kuning tsb.


Kalung bambu kuning itu, konon sebagai penangkal sang Buto Ijo.

Kabarnya, konon, si Buto Ijo suka sekali menculik anak-anak balita, untuk dijadikan tumbal dan 'mainan' semacam boneka Barbie dan Kent hidup di rumahnya bagi anak-anak si Buto Ijo, atau dijadikan budak belian yang mesti memijati sang Buto Ijo, atau kemudian dimakan setelah bosan dijadikan mainan anak-anaknya, jeh!

Saya tekankan 'jeh'-nya di situ, sebab artinya 'jeh' di situ adalah 'katanya'. Katanya, Buto Ijo itu begini, begitu. Sebab belum pernah ada satu pun orang yang benar-benar pernah amprokan ama si Buto Ijo, melihat dengan mata kepalanya sendiri. Jadi si C bilang kata B, dan B bilang kata si A. Kalau ditanya terus, akan panjang katanya, katanya, dan katanya terus.

Saya juga pakai tu kalung bambu kuning, katanya Buto Ijo tidak akan menculik anak yang sudah pakai kalung Buto Ijo. Entah apa sebabnya, katanya sih sebab di dalam bambu kuning ada bekas yayang-nya, first love si Buto Ijo yang cantik dan sakti mandera guna.

Kalung bambu kuning mesti beli di pasar ama seorang kakek-kakek ompong, berikat kepala ala bandana yang dipakai si Rambo [kayaknya Rambo terilhami si kakek ompong tuh ya?], yang anehnya, si kakek bisa ditemui pada saat yang bersamaan di beberapa pasar di kota Cirebon: Pasar Pagi, Pasar Balong, Pasar Kanoman, Pasar Kesepuhan, Pasar Kramat, dan pasar-pasar laen. Berpakaian serba hitam, dengan baju model pangsi kancing terbuka, kaosnya warna ijo pupus, celana pangsi sedengkul agak gombrong sehingga ternampak kolornya pun warna....ijo(!), ciakah - ndak pakai alas kaki, sambil ngudut rokok daun kawung yang mati apinya.


Jaman itu, kami tidak pernah terpikir bahwa bisa ajah ada banyak kakek sepantaran sama-sama ompong (dental care health belum populer toh), yang juwalan kalung bambu kuning di pasar, memakai baju seragam dan aksesori yang sama.

Ini agaknya yang kemudian banyak ditiru oleh produsen atau pelaku konsep brand communications jaman sekarang, ketika meluncurkan produk baru: pakai SPG yang cantik berseragam sama. Jadi anda terpapar secara solid di mana-mana saja anda belanja ke supermarket mana-mana saja. Supaya 'brand image'nya nancap erat di benak anda, istilah marketing communications consept-nya sih ya?

Eh, yang teringat brand image-nya atau SPG-nya yang kenes cantik itu sih?


Waktu itu, beberapa kali saya pernah didatangi Buto Ijo ketika tidur siang. Rasanya seluruh badan dadak sontak tidak bisa bergerak, kaku, kemeng, hendak berteriak minta tolong pun tak bisa, lidah terasa kelu. Ada Buto Ijo di samping ranjang saya, menyelipkan tangannya yang besar di bawah badan saya, meraba-raba bagian pantat celana hansop saya, seolah hendak membopong saya tuh..... Secara refleks (berkat latihan terus-menerus) segera saja saya merapal mantera yang diajarkan (sorry, mantera-nya rahasia, jadi ndak boleh saya ungkapkan di sini ya) sambil memegangi potongan bambu kuning. Benar, langsung tangannya ditarik lagi dan si Buto Ijo pergi. Lega sudah saya meneruskan tidur dan mimpi makan permen soklat setoples penuh.

Belakangan saya baru tahu bahwa 'Buto Ijo' itu cumalah si mbok pembantu rumah kami yang memang bertubuh tambun, diminta mamah saya untuk memeriksa apakah saya ngompol atau tidak.


Geger Buto Ijo sebentar kemudian sirna, pelan-pelan kalung bambu kuning penangkal si Buto Ijo juga sudah hilang entah tarok di mana. Padahal waktu 'musim' dan 'demam' Buto Ijo, tu kalung diwanti-wanti ndak boleh dipakai kalau hendak download BAB pagi hari ke toilet jongkok, sebab dikuatirkan khasiatnya hilang sirna terkena hawa jelek dari sana.

Seperti awalnya bertiup tak tahu dari mana, begitu pula sirna-nya sas-sus (begitu biasa media djeman doeloe menyingkat 'desas-desus') ttg Buto Ijo itu ya lenyap begitu saja, tiada bekas, tiada pesan dan kesan apa-apa.

Penggambaran ttg rupa si Buto Ijo begitu seram, makin besar, makin besar terus. Dari cuma seperti orang dengan tubuh seberat 100 kilo, membesar terus sampai setinggi pohon asem di pinggir jalan yang puluhan meter itu. Hehehe.... pohon asemnya sendiri ndak pernah diukur, tapi kami biasa menyebutnya puluhan meter ajah orang juga percaya. Ngapain juga mesti naek pohon asem lantas membuktikan bener-tidaknya toh? Iseng amat sih!


Penggambaran si Buto Ijo bisa berkembang begitu, karena daya imaginasi orang-orang yang suka dan gemar akan sas-sus begitu terus saja mengembangkannya.

Maklumlah, jaman itu belum ada TV yang gencar dengan tayangan infotainment-nya, jadi ibu-ibu ya cuma bisa bergunjing dan bersas-sus secara MLM, sambil metani tumo (mencari kutu rambut) secara massal di gang-gang (bukan geng, tapi gang - jalan kecil dan sempit) di kampung-kampung.

Bentuk muka si Buto Ijo ajah bisa berbagai versi: berrambut gimbal, bertaring, bermata tiga, bertanduk, berlidah cabang dua, pake piercing anting besi kuning di lidahnya, dan seterusnya. Beda sekali dengan penggambaran si Kolor Ijo yang pernah meramaikan kota metropolitan Jakarta dan sekitarnya belum lama ini, dan mestinya anda masih ingat seperti apa dia.


Jaman Kolor Ijo beraksi, jaman sudah serba IT - Information Technology begitu maju. Internet sudah jadi makanan hari-hari kita. Program komputer untuk visual, begitu canggihnya. Sehingga anda bisa dikasih suguhan 'penampakan' di TV yang seolah-olah beneran tu Hantu Kolor Ijo tertangkap kamera. Soal mengapa ndak ditangkap secara harafiah dan diserahkan langsung ke yang berwajib dan berwenang, itu mah gampang ditebak: lha program acara TV-nya pan langsung tamat kalau begitu sih dwong, dweh, jweh!

Katanya si Kolor Ijo sukanya 'metik' gadis perawan? Eh, bukan, janda muda dan kaya raya juga dia mau (siapa yang tak mau toh?). Halah, namanya juga isyu dan gosip (jaman berubah, 'sas-sus' sudah ditinggalkan di belakang tuh), anda bisa meneruskan dengan bumbu sesuai imajinasi anda. Maunya kolor ijo itu rupawan, bagai sang poangeran naek kuda putih seperti gambaran Oom HC Andresen di Eropah sana? Hehehe... sorry ya, jaman IT sih ya kudu seragam, fokus, supaya rating TV terdongkrak naek dengan pesat dong!

Saya ndak ngerti, kenapa hal-hal yang berbau mistis, hantu begitu, koq ya dikaitkannya dengan warna ijo. Ijo dalam basa inggris itu 'kan green. Green, go green is something nice. Penghijauan juga bagus maknanya, tapi itu adaptasi dari greenery, basa Inggris juga. Matanya ijo, ini ungkapan berkonotasi negatip. Padahal, uang Amrik biasa juga disebut 'green bucks'. Apakah ada hubungannya antara kedua hal itu?

Eh, buto atawa buta itu pan raksasa ya? raksasa itu dalam basa Inggris ya giant. Lha, itu ada pasar besar aka hipermarket dari Jepang yang bermerek Giant dengan warna huruf-nya Ijo semua, apa bukan Buto Ijo jadinya ya?

Ah, dingin-dingin begini cuacanya, mending juga makan semangkuk burjo - bubur kacang ijo panas-panas ya. Mau pake santan susu, atau tidak. Kalau pake santan dan susu, jadinya Kacang Ijo Santan Susu. Kalau tidak, ya jadinya Kacang Ijo Sonder Santan!

Anda mau yang mana?








PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

IT'S WORLD TIME: