January 08, 2010

Handfruit of Tengiri Fish Brains Air Flown to Solo.

Eh, mumpung masih hangat (cerita) otak-otaknya, saya lanjut dengan otak-otak buatan ce-em ['e' pertama 'sate, 'e' kedua lemah] aka besan saya, mertuanya adik saya yang asli Jakarta, tinggal di bilangan Jalan Kartini, yang pernah buka kedai makan di Grogol, juga bikin dan jual otak-otak, tentu!

Karena hand = tangan, fruit = buah, jadi handfruit itu maksudnya tentu saja buah tangan aka 'oleh-oleh'. Ya kali ini saya mau cerita ngoleh-olehi cici angkat saya yang mau balik terbang ke Solo.

Pernah sekali waktu saya mesti hadir di rumah duka RS Yang Seng Ie (di mana coba, anda tahu gak?) masih di bilangan Big Mango aka Mangga Besar, Jakarta barat. Yang meninggal adalah papahnya cici (kakak perempuan) angkat saya. Cici angkat saya ini yang menikah dengan cifu (kakak ipar) saya di Solo, setelah cici setengah (half sister) saya meninggal dunia.

Cerita ttg cici angkat ini tentu pernah anda baca, ketika saya mesti kerja di Medan dan tinggal di rumah adiknya cici angkat saya itu, yang tentu saja jadi cici dan koko (suaminya) angkat saya juga, secara otomatis.

Ingat ajah teori A = B, B = C, lalu otomatis A = C toh?

Nah, karena kedua cici angkat saya itu hadir di rumah duka juga, jadi selesai penguburan, saya tawarkan mau bawa oleh-oleh apa untuk kedua cici saya pulang. Yang satu ke Solo, yang satu tentu ke Medan.

Cici yang ke Solo lantas ingat bahwa anak-anak tirinya, yakni para keponakan saya, suka pesan otak-otak untuk oleh-oleh dari Jakarta. Keponakan saya (anak cici setengah saya) ada 4 yang sudah berkeluarga dengan masing-masing 2-3 orang anak. Ditambah satu cifu dan anak kandung cici angkat saya.

Beliau minta dibelikan otak-otak sebagai oleh-oleh.

Jadi saya langsung sajah bilang oke, no problemo. Adiknya yang hendak balik ke Medan, semula tidak pernah tahu otak-otak di Jakarta begitu beken sebagai oleh-oleh khas Jakarta, cuma tanya: apakah enak? Tapi cicinya bilang lu pasti doyan, jadi beliau juga minta dipesankan.

Saya tanya: mau bawa berapa?

Lha, saya pikir paling juga beli berapa puluh begitu toh.

Eh, dengan mantap cici yang Solo bilang 300 (tiga ratus)!

Saya agak terkejut juga dengernya.

300?

Ya. 300!

Ya sudah, karena saya sudah kadung tawarkan, tentu saja saya mesti belikan. Adiknya yang hendak pulang ke Medan minta dibawakan 50 bungkus saja, dia cuma sekeluarga dengan 5 anak dan belum tahu apakah pada suka makan pepes otak-otak. Di Medan (waktu itu, sekitar tahun 1989-an) kayaknya otak-otak mungkin belum begitu populer, kalah ama makanan enak-enak ala Medan yang sudah ada dan belum masuk ke Jakarta.

Sebenernya juga masih wajar-lah orang pesen 300 bungkus pepes otak-otak untuk oleh-oleh. Isinya pan cuma sa-emplukan (one bite size) adonan, walau nampak sekilas dari luar sih gede bungkusnya - trik saudagar yang 'nakal' - isinya dikurangi terus. Lha, kalau seorang makan 10 ajah sekali makan, 300 bungkus dimakan sekeluarga 15 orang cuma kebagian berapa per orangnya tuh 'kan?

Saya tanya nyonyah mesti beli di mana, kayaknya Ny. Sulaiman sudah menghilang pada waktu itu. Belum ada lagi saudagar besar sekelas Ny. Sulaiman yang mungkin sanggup menerima order partai besar begitu, 350 bungkus sekaligus, jeh!

Baguslah nyonyah saya ingat bahwa mertua adik saya yang di Jalan Kartini terima pesanan kuwih-muwih, kukis dan cake LL - Lapis Legit (enak tuh buatan ce-em saya itu!), juga biasa bikin dan jual pepes otak-otak di kedainya di Grogol. Segera saja saya hubungi adik saya, tanya nomor telepon rumah mertuanya (belum musim hape) dan tanya beliau.

Baguslah beliau sanggup terima pesanan itu, lead time cuma 2 hari sebelumnya. Jadi tenang sudah saya bisa menunaikan 'tugas' mulia memesan 350 bungkus otak-otak sekaligus buat oleh-oleh terbang ke Solo dan Medan.

Walau dibumbui ketegangan pas hari H-nya.

Rupanya ce-em saya juga belum pernah terima pesanan sekaligus 350 bungkus. Jadi manajemen waktu-nya agak meleset, kapal terbang akan take off jam 15:00 (mesti check in jam 13:00) dan otak-otaknya belum selesai dibakar semua pada jam 11:00 Cukup menegangkan juga menungguinya. Sekitar jam 12:00 baru selesai, saya buru-buru ke Mangga Besar menjemput kedua cici angkat saya, dan mengantar keduanya ke bandara Soekarno-Hatta, dengan satu dus besar isi otak-otak masih panas fresh from the griller, jeh!

Anda tahu berapa harga per bungkus saat itu?

Kalau gak salah, kayaknya sekitar Rp 600 dan kurs US$ sekitar Rp 1.900, jadi saat itu saya belanja pepes otak-otak senilai Rp 210.000 (belanja bulanan di Golden supermarket satu trolley, sudah berikut susu kaleng sekitar Rp 5.000 per 400 gram, baru sekitar Rp 150.000) atau kalau dikurs US$ pada waktu itu = US$ 110 dan kalau dikurs balik ke IDR sekarang jadi Rp 1.028.500 (Satu juta dua puluh delapan ribu lima ratus rupiah) dengan kurs BCA hari ini, 08 Januari 2010 yang Rp 9.350 per US$.

Kalau dibandingkan harga otak-otak sekarang yang berkisar sekitar Rp 2.500 - 3.000 (?) jadinya ya Rp 875.000 - Rp. 1.050.000. Ini tentu berkat inflasi selama 20 tahun ya?

Anda pesan berapa otak-otaknya?



IT'S WORLD TIME: