January 21, 2010

Liften - Numpang Ikut Mobil Yang Sejalan.

Saya pernah cerita ttg cara 'backpacker' menghemat untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain, yakni dengan cara 'liften' - menumpang kendaraan yang hendak menuju ke tempat yang sejalan. Jaman dulu, ketika transportasi kendaraan umum masih sulit dan jarang, besar kemungkinan anda bisa melakukan 'liften' ini, dan pengendara mobil mau membawa anda.

Jaman sekarang, transportasi begitu mudah dan murah, setiap detik ada kendaraan umum yang lewat pating sliwer, mungkin anda tidak gampang mendapatkan 'liften' dari pengendara mobil pribadi. Mereka terutama karena alasan keamanan, tidak mau sembarangan menaikkan penumpang yang tidak dikenalnya, jeh!

Tapi, di Jakarta sudah mulai umum ada 'tumpangan' atawa 'omprengan' bagi orang-orang yang searah - biasanya dari luar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi atau Bogor, dengan 'bayar' ongkos yang lebih murah dari taksi, misalnya. Biasanya mereka akan 'berlangganan' janji ketemu di satu titik tertentu, untuk menuju Jakarta. Baik berangkat maupun pulang kerja.

Jaman belum ada ojek, belum juga terpikir untuk 'langganan' bayar omprengan begitu, biasanya sih teman sekantor yang searah akan ikut 'ngompreng' gak bayar begitu. Termasuk saya sendiri. Saya suka ngompreng ikut teman saya yang tinggal di Grogol. Pagi saya ke rumahnya, sore saya di'drop' di ujung jalan menuju rumah saya.

Lama-lama, teman saya merasa tanggung, jadi saya seringnya di'drop' di depan rumah. Katanya, tanggung, tinggal belok sedikit - masih jauh berliku-liku sebenernya sih, ada sekitar 5 kilometer lagi.

Saya pikir, ini cara yang baik dan benar, dan simpatik.

Jadi sekarang saya terbiasa ikut meneladani cara teman yang kemudian jadi sohib saya itu: saya suka sekalian antar teman kantor yang sejalan. Bahkan kalau pun bukan teman sekantor, kalau sejalan tentu saya antar, diusahakan sampai di rumahnya saya drop dia.

Saya ndak pernah bayar kepada teman saya. Begitu pun saya tidak pernah menerima bayaran dari teman yang saya antar. Padahal, jaman bensin boros diminum mesin mobil seperti sekarang, gara-gara macet mulu di Jakarta, kadang tak sadar kalau jalan dari BSD ke Jakarta, apalagi sampai ke daerah Kelapa Gading, ya bensin isi 40 liter seringnya sisa 10 liter doang.

Intinya, tolong-menolong sesama teman itu ndak mesti dihitung harganya. Nilainya tak bisa dihitung dengan harga bensin toh? Jadi saya sudah merasa wajar saja kalau teman yang saya antar itu cukup bilang terima kasih, tak kurang dan tak lebih. Kalau pun lupa berterima kasih, ya ndak apa. Saya tidak pernah mengharap apa-apa, hanya sekedar ingat saya suka numpang sohib saya dulu, jadi saya sekarang membalasnya dengan cara yang sama.

Tapi, pernah ada seorang teman yang baru saja saya kenal di darat (A) datang dari luar kota. Saya sih merasa wajar kalau saya jemput di hotelnya, antar-antar dia selama di Jakarta ke pertemuan dengan teman-temannya, sampai saya drop di bandara Soekarno-Hatta. Eh, lalu ada teman-nya yang tinggal di Jakarta - (B), dan punya mobil sendiri tapi tidak bawa, minta antar pulang ke rumahnya - walau tidak sejalan, di daerah sekitaran Jakarta utara, ya saya antar sekalian juga.

Ndak ada apa-apa sih, saya ndak merasa terbebani sama sekali walau mesti keliling dari kawasan SCBD ke rumah tu teman (B) lalu ke bandara. Kalau pun mereka tidak berterima kasih, ya tidak apa-apa. Lha, wong mobil saya ya cuma mobil gerobak, yang mungkin saja tidak terasa nyaman bagi mereka - mungkin mengharap naik limo? Saya juga tidak pernah mengingat-ingat hal ini.

Hanya saja, saya koq merasa heran, beberapa waktu kemudian, tiba-tiba saja dua orang itu, tanpa sebab-sebab yang jelas bisa kemudian membuat gosip yang bersifat fitnah ke arah saya.

Cara berterima kasih yang "unik" ya?





PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

IT'S WORLD TIME: