January 09, 2010

Makna Kekerabatan Djeman Doeloe.

Kemaren ngomongin soal 'tengiri fish brains' (otak-otak ikan tengiri) dan majalah 'jadul' Intisari, mau tak mau 'mesin waktu' membawa saya ke jaman dulu kala. Ketika nilai-nilai pertemanan masih dianggap......... sakral.

Ya. Sakral. Kalau mau angkat saudara ada upacaranya khusus soalnya tuh!

Jaman dulu, ketika komunikasi masih belum secanggih sekarang, belum ada internet, apalagi FB, MP dan media social network lain-lain, sesama manusia masih mesti mengandalkan komunikasi secara tatap muka langsung. Face-to-face, interface begitu. Jadi bisa jelas terbaca tulus atau tidak tulusnya seseorang dari air muka, mata dan gesture-nya ketika bersosialisasi. Pan mata itu katanya jendela hati, jeh!

Saya ingat waktu itu (1960-an) anda bisa ikut menumpang gratis ikut naik prahoto atau oto sedan untuk bepergian secara AKAP - antar kota antar propinsi. Istilah jaman itu adalah 'liften' (basa Belanda, entah apa arti harafiahnya, ada hubungan dengan lift aka escalator tah?) dan anda cukup bawa rangsel, istilah sekarang dicangih-canggihkan menjadi backpacker.

Jaman itu anda bisa ber-packpacker secara liften begitu, sebab transportasi AKAP belum seramai sekarang. Bus AKAP sudah ada, walau masih sederhana, dengan body campuran antara logam dan kayu. Jendelanya masih dibuat dari kayu yang membingkai kaca, begitu juga kursinya terbuat dari kayu dan rotan dianyam yang jadi tempat ideal untuk...... sarang tumbila!

Bus AKAP ada, tapi frekuensi dan kuantitas-nya tidak banyak. Jadi bertualang secara liften yang sangat ngirit ongkos (gratis) adalah alternatip yang bisa anda ambil untuk bepergian dari kota-ke-kota, bahkan kalau anda beruntung, bisa ditraktir makan enak oleh pengemudi mobilnya di jalan.

Dalam hal liften ini, pengemudi prahoto dan/atau oto sedan juga sebenarnya senang mendapat 'teman' seperjalanan, jadi semacam simbiose mutualistic - saling menguntungkan gitu, win-win solutions ya. Sebab jaman masih sepi, bisa saja mereka jadi 'boring' (maksude merasa bosyen) sendirian menyetir menempuh perjalanan jauh. Juga lebih 'aman' dari sisi keamanan, maklumlah, jalanan masih sepi, jaman itu masih suka ada begal iseng yang menghadang anda di tengah jalan - ya iyalah, kalau menghadang di pinggir jalan mah bukan mau membegal dong.

Apalagi kalau anda berdiri di pinggir jalan-nya sambil mengepalkan tangan mengacungkan jempol mengarahkan ke jalan di depan, itu kode untuk minta liften tuh, jeh!

Jadi, ada satu engku (adik mamah) misan saya di Serbejeh (Soerabaia) yang memang otodidak dan menjadi 'street fighter' - berjuang demi sesuap nasi dan segenggam berlian-nya di jalanan menjadi supir prahoto, pernah sekali waktu dapat muatan dari Serbejeh menuju Jakarta.

Perjalanan ditempuh lewat jalur selatan, melalui Madiun-Solo dan kemudian berbelok ke arah Semarang via Salatiga, sebab beliau hendak singgah di rumah satu twaku (kakak lelaki mamah saya) yang masih sepupu dengan engku saya itu.

Lantas, entah karena memang sudah berjodoh, prahoto tua bekas angkutan tentara bayaran Gurkha jaman perang dulu, bermerek Thames yang bermoncong pesek itu (sering juga disebut 'tambi' - sebutan tentara bayaran etnis Gurkha - India) ternyata mogok di pinggir jalan, persis di mulut kota Salatiga. Hari sudah mulai gelap, engku saya coba mengotak-atik mesin prahotonya tidak juga berhasil menghidupkan kembali sang mesin. Kenek-nya sudah ketar-ketir takut didamprat engku saya sebab kurang teliti memeriksa kondisi mesin ketika hendak berangkat.

Dan, hari pun makin gelap dan gelap, dan sunyi sepi saja.

Eh, siapa nyana ternyata tempat prahoto engku saya mogok itu, berdekatan dengan satu garasi yang jaman itu sih belum perlu memakai pintu model krapyak yang dikerek ke atas-bawah dari alumunium yang full menutupi pintu ala ruko begitu, tapi cukup pakai pagar bambu yang masih berlubang-lubang. Jadi orang di dalam rumah bisa melihat situasi di luar, begitu pun sebaliknya.

Rupanya, deru mesin yang ngos-ngosan, ngek-ngek-ngek... ngek-ngek-ngek.... ketika coba distarter berkali-kali oleh si kenek, pakai starter engkol besi untuk memutar kipas mesin di hidung pesek mobil itu (sekarang kayaknya mobil sudah gak pake model engkol beginian lagi sih ya), terdengar oleh pemilik garasi yang juga ternyata masih 'sejawat' punya armada angkutan truck aka prahoto seperti juga engku saya.

Sang tuan rumah keluar menghampiri engku saya, berbasa-basi sejenak, lantas menjadi cukup akrab, secara mereka masihlah TS - teman sejawat seperti halnya sesama dokter 'kan saling menganggap satu sama lain sebagai TS begitu. Mereka langsung terlibat dalam diskusi seru, belum jaman milis, jadi diskusi mesti secara tatap muka toh, mengenai mesin yang ngadat. Diotak-atik berdua, tetap tidak bisa dinyalakan tuh mesin. Kalau sekarang anda mau menyalakan mesin sih gampang: siram bengsin dan nyalakan api, beres tuh!

Akhirnya kedua-nya menyerah pada nasib dan jodoh mereka, mesin tak bisa hidup, mereka sudah kecapekan. Jadi tuan rumah mengajak engku saya bermalam saja dulu di rumahnya, dengan sajian makan malam ala kadarnya (soto babat ala salatiga?) dan kamar tidur pun seadanya, jangan tanya hotel pada jaman itu ya.

Besoknya, tu mobil langsung hidup distarter tanpa banyak cingcong.

Rupanya itu memang jalinan jodoh yang mesti dilakoni engku saya dengan oom Hien (kalau tak salah beliau bersne Kwee), begitu akhirnya saya dan kedua anak engku saya memanggil TS-nya di Salatiga itu, sebab sejak itu kedua beliau akhirnya secara resmi tak resmi, saling mengangkat dan mengikatkan diri menjadi saudara angkat.

Hubungan kekerabatan persaudaraan angkat antara keduanya ini berlanjut sampai lama. Sampai ketika saya kuliah (1974-an) di Yogya, saya masih suka mampir ke rumah Oom Hien kalau ke Salatiga, atau ke Solo, sebab Oom Hien punya rumah di Solo, dan ada satu anak gadis-nya yang sebaya dengan saya tinggal di sana dan bersekolah di SAA - Sekolah Asisten Apoteker "Warga", kalau tak salah namanya adalah Kwee May Lian. Jaman itu, ketika masih SMP-SMA, sesama kami, anak keponakan engku dengan anak-anak oom Hien sudah suka chatting juga, belum pake BB atau i-net sih, masih pake snail-mail aka surat yang perangko-nya bisa pilih mau biasa, ekspress, kilat atau kilat khusus untuk memastikan tingkatan kecepatan waktu surat-surat itu tiba di tempat tujuan.

Sayang sekali, sesudah kami dewasa, bekerja dan berumah tangga, dan sejak oom Hien dan engku saya kedua-duanya meninggal, tali persaudaraan angkat ini terputus begitu saja. Memang jodoh kami hanya sampai di situ saja mungkin ya.

Mungkin anda kenal keluarga oom Hien juga?


IT'S WORLD TIME: