January 28, 2010

Nguber Layangan Putus.

Anak-anak sekarang mungkin patut dikasihani. Gak bisa menaikkan layang-layang toh? Padahal, maen layang-layang itu melatih ketangkasan berstrategi, mesti pandai membaca arah angin. Tarik ulur tali layang-layang ndak bisa sembarangan, mesti belajar dulu. Ada ilmunya. Belum lagi membuat gelasan tali atau benang layang-layang, itu ada formula resep rahasianya tuh, jeh!

Supaya layangan anda ndak disangkut oleh 'lawan', anda mesti pasang buntut di ujung bawah layang-layang, dibuat dari kertas panjang selebar sekitar 50 mm, dilem saja ke ujung bawah layang-layang. Panjangnya terserah selera sajah, makin panjang makin baik.

Kode etik pemain layang-layang adalah dilarang menyangkutkan benang ke layang-layang yang pakai buntut begitu. Buntut itu tandanya masih 'amatir', masih belajar. Masih anak bawang begitulah, masak anak bawang ditantang adu tali layang-layang yang bergelasan itu. Lha, benang yang biasa dipakai para amatir sih cukup benang (cap) Jagung, tidak pakai gelasan, sekali tebas juga putus tuh!

Nah, kalau layang-layang beradu, tentu ada pihak yang 'kalah' dan putus tali-nya. Dan, mestilah layang-lyang putus tali itu terbang melayang dibawa angin ke mana saja. Ada banyak anak-anak yang suka menguber layang-layang putus. Biasanya sih cuma anak-anak kampung saja yang mau bersusah payah menguber layang-layang putus tali tak bertuan itu.

Siapa saja yang bisa menangkap layang-layang tak bertuan, menjadi pemiliknya secara sah. Cukup anda sentuh layang-layangnya atau talinya yang berjuntai ke tanah ketika melayang-layang begitu, maka anak-anak lain tidak akan berusaha merebutnya.

Kalau yang 'pro' sih akan membawa galah bambu (adu panjang) yang ujungnya diikatkan serumpun ranting-cabang pohon untuk melibat benang atau tali layang-layang yang sedang terbang mendarat tak tentu arah itu. Makin panjang tentu makin tinggi dan makin besar kemungkinan menggapai dan melibat tali layang-layangnya toh?


Namanya anak-anak, tentu saja ada yang berusaha curang. Jadi perebutan layang-layang putus sering berakhir dengan adu jotos. Dan... layang-layangnya dirobek-robek karena saling ndak mau ngalah. Patah sudah tulangnya, tak lagi bisa dipakai.

Sekali waktu, koko saya penasaran ama layang-layang miliknya sendiri yang kalah ketika adu tali. Jadi, begitu putus, dia menguber itu layang-layang. Tentu saja mesti berebut dengan anak-anak lain. Nah, pas tu layang-layang nyangkut di pohon mangga di halaman Losmen Semarang di depan jejeran toko tempat tinggal kami, koko saya dengan sigap naik ke atas pagar tembok dan berhasil mendahului anak-anak kampung yang berusaha melibat benang dengan galahnya.

Karena ada begitu banyak anak yang berebutan, ketika koko saya turun dari pagar tembok, dia ndak melihat ada satu botol bekas limun yang dipakai untuk membeli minyak lentik (minyak kacang) tergeletak dekat tembok. Jadi, tentu saja botol itu tersenggol kakinya dan tumpahlah isinya. Rupanya ada satu anak kampung yang ikut berebut layang-layang, padahal dia sedang disuruh ibunya beli minyak di Pasar Pagi di dekat situ.

Tentu saja anak itu minta ganti.

Koko saya ndak mau menggantinya, juga anak-anak lain mendukung koko saya sebab salah anak itu sendiri kenapa meletakkan botol berisi minyak di dekat lokasi perebutan layang-layang, dan ikut berusaha berebutan. Anak itu tentu saja pucat pasi dan menangis, takut dimarahi ibunya.


Baguslah papah saya tahu hal ini, saya diminta memanggil anak itu dan ditanya. Lalu papah saya menasehati anak itu supaya jangan lagi ikut berebut layang-layang putus kalau sedang disuruh oleh ibunya. Lantas ditanyanya harga sebotol minyak berapa, langsung papah saya memberinya uang untuk beli minyak sebagai gantinya.

Dulu anda main layang-layang juga-kah?










PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

IT'S WORLD TIME: