February 28, 2010

Sego Kucing - Untuk Kucing, Tentunya, Jeh!

Sego kucing, katanya bukan sego untuk (makan) kucing. Tapi untuk makan yang pelihara kucing. Ini istilah populer di Yogya. Kota dengan penduduk yang relatip lebih kreatip. Selalu ada hal-hal kreatip yang baru muncul dari sono. Banyak kreasi seni ciamik-ciamik diproduksi dari sono tuh!

Jadi sego kucing itu sego (nasi) barang sekepel-dua, dikasih lauk iwak (bisa iwak ayam, iwak peda, iwak empal - arti harafiah iwak = ikan) serba sesuwir-dua, dikasih sambel terasi sedulit, dibungkus kecil-mungil supaya bikin gemes yang makan. Kalau kurang bisa tambo ciek-duo, kalau duwit pas-pasan ya gak usah tambo, apalagi nyomot ubo rampe-nya yang segambreng enak-enak kabeh ituh, jeh!

Kayaknya sego kucing itu bukan hal baru deh.

Mungkin saja mereka 'terilhami' oleh cara kami, saya dan adik-kakak saya, memberi makan kucing kami di rumah.

Jadi, ceritanya waktu kami kecil, kami semuanya 7 bersaudara dengan selisih usia sekitar 1-2 tahun sajah, pengin memelihara kucing seperti teman-teman tetangga sepermainan kami. Mereka semua hampir pada punya peliharaan, entah kucing atau anjing.

Kebetulan suatu pagi yang gerimis, ada seekor anak kucing yang terlantar ditinggal induknya di depan pintu rumah kami, ngeyang-ngeyong dengan memelas sekali. Padahal itu kucing telon - berwarna tiga bulu-nya, merah-kuning-ijo kayak lampu bangjo - lalu lintas gitu, katanya sahibul hikayat sih kucing pembawa hoki tuh.

Jadi, mamah kami - otoritas urusan dalam negeri di rumah, kasih nyala lampu hejo, boleh kami memelihara tu kucing, under one condition: asal kami mau bertanggungjawab dari sisi kebersihan-nya (membersihkan produk download-an dia, besar dan kecil) dan konsumsinya - memberi pakan.

Kami pun bersepakat dan bersetujuh (memang 7 bersodara sih 'kan?) untuk membagi tugas bergiliran untuk mengurus sang kucing yang dikasih nama si Betty - Beulang Tyga. Pas, bertujuh, bergiliran seorang sehari, jadi 24/7 - kayak Mc.D juga toh. Gak tahu apakah dia berjenis kelamin jantan atau betina, atau in between. Toh, sesama kucing sih ndak akan saling memperolok juga, walau ada yang berburuk rupa sampai takut bercermin, walau juga mungkin agak-agak aneh kalau dia jantan bernama Betty.

Jadi, mula-mula kami kasih makan dengan wadah piring kaleng rombeng. Porsinya gede, sesuai porsi kami makan. Tentu saja selalu gak habis. Lha, si Betty mulutnya kecil, begitu pun perutnya. Selalu gak habis nasi sepiring dimakannya. Mubazir. Mamah menegur kami, tentu saja beliau tak suka kami membuang nasi dengan sia-sia, ingat kata nenek dan kakek kami: nasinya bisa nangis kalau disia-siakan tak dimakan tuh, jeh!

Lama-lama, saya pikir kenapa gak dikasih porsi sego kucing ajah. Sekepel dua nasi dikasih lauk iwak peda. Logika yang sangat gampang ya. Beres? Solving the problem? Yes. Only half the way. Sebab ternyata teuteup gak dihabiskan nasinya, cuma peda atau gesek (gereh, ikan asin kering) yang ditarok di samping nasi yang dihabiskannya.

Saya pun bikin riset dan studi, googling lewat cerita temen-temen tetangga ajah sih -- mau cari info di internet tapi belum musim waktu itu toh, dan hasilnya adalah ini: saya bikin nasinya seperti prosedur membuat nasi tutug oncom - sekepel dua nasi putih, saya campur dengan lauk-nya, entah iwak apa saja, terutama peda - kesukaan si Betty. Dicampur aduk, diremas-remas (bukan dirames) pakai tangan saja [kalau nasi tutug oncom sih saya lihat dicampur-aduk-nya pakai centong nasi sih] sampai tercampur rata, remah-remah daging ikan bercampur rata dengan bulir-bulir nasi.

And...... the result is as we expected before: si Betty makan dengan lahapnya sego kucing yang saya bikin. Jadi, sejak saat itu tidak lagi ada nasi sisa yang munbazir yang tidak dimakan si Betty. Finally, we found a win-win solution - si Betty makan dengan lahap dengan porsi pas, kami pun tidak lagi ditegor mamah karena menyia-nyiakan nasi yang tidak dimakannya.

Jadi, anda doyan sego kucing juga tah?









PS: Gambar di'pinjam' dari sini.

IT'S WORLD TIME: