February 06, 2010

Rumah Berjendela Tanpa Kaca.

Begitulah keadaan rumah pertama kami waktu selesai dibangun.

Tahunnya 1984, selesai dibangun, pemborongnya masih punya hutang uang muka, penyelesaiannya ya swa-swa dicincaikeun begitu saja, lha orangnya dah ngabur entah kemana, mau bilang apa? Beberapa anak buahnya ditinggal belum dibayar, ya terpaksa kami mesti membayar mereka. Si mandor pemborongnya sudah tahu sih ya, pasti kami 'mau' membayari mereka.


Jadi, tabungan kami sudah habis blas.

Total biaya yang diperkirakan sekitar Rp 20 jutaan, sudah membengkak jadi Rp 25 jutaan dan masih kurang sekitar Rp 2,5 juta untuk beli kaca jendela dan finishing kecil-kecil lainnya. Begitu ajah kami sudah diuntungkan karena punya simpanan US$, dengan adanya devaluasi US$ 1 dari semula Rp 625-an, menjadi Rp 900-an, kalau tak salah - ada satu kontak MP kita yang mengerti dan tahu persis kronologis devaluasi dulu-dulu, biasanya dia mau koreksi kalau salah, tapi dia dah lama absen nih, jeh!


Saya dan nyonyah coba pinjam ke dua orang ie-ie (adik calon mami mertua), yang satu bilang baru saja beli tanah, sedang yang lain baru saja mengkonversikan rupiahnya ke US$. Jadi kalau mau, pinjaman dalam bentuk US$ dan dikembalikan dalam US$ pula. Saya tolak tentu. Lha, itu 'kan sama ajah kita rugi dua kali, jual US$ dengan kurs dikurangi, dan nanti mesti beli dengan kurs beli.

Saya jadi teringat sohib saya di Yogya.

Saya interlokal dia dan tanya apakah bisa saya pinjam uang dan dibayar secara mengangsur 10 kali. Tanpa banyak cingcong, sohib saya lantas tanya nomor rekening saya dan besoknya sudah langsung masuk. Kebetulan sama-sama punya rekening di Bank Niaga, jaman itu belum musim ATM, jadi kalau transfer uang bisa memakan waktu 3-4 hari, kecuali sama bank-nya.


Rumah akhirnya selesai dipasang semua kacanya.

Begitu selesai, eh, langsung ada yang datang menengok dan menanyakan apakah rumah kami hendak dijual. Iseng kami tanya, dia bilang berani bayar Rp 100 juta, untuk rumah bertanah 13 x 20 m dan bangunan 13 x 14 m. Waktu itu real estate belum seramai sekarang, harga segitu memang agak di atas rata-rata. Tapi kami membangun untuk tinggal, jadi tentu saja kami tolak.


Dua puluh tahun kemudian, 2004, kami mesti pindah ke BSD, dan rumah kami dibeli oleh tetangga belakang rumah, dengan harga Rp 800 juta. Kalau dihitung kurs US$ saat membangun yang sekitar US$ 1.000, berarti nilainya saat itu US$ 100.000 dan saat dijual tahun 2004 kurs US$ 1 = Rp 8.000-an, nilainya adalah US$ 100.000 juga ya? Gak untung dan gak rugi tah?

Pinjaman kepada sohib saya lunasi 10 bulan kemudian, saya angsur sebelas kali. Tentu bukan permintaan sohib saya, yang ke-11 itu inisiatip saya sendiri ajah.

Anda punya sohib juga tentu ya?








PS: gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.

IT'S WORLD TIME: