October 19, 2010

Bakso Solo Daging Sapi Asli?

Mungkin anda pernah baca nama warung bakso yang dikasih embel-embel 'bakso Solo daging sapi asli' begitu. Mungkin juga anda gak 'ngeh' ama itu slogan marketing yang mereka pasang ya. Kalau pun anda baca, anda juga gak peduli kenapa mereka pasang kalimat itu toh?

Kemaren Minggu, saya dan nyonyah dan anak saya si Dede yang lagi mudik sebentar buat hadir di pesta perkawinan teman-nya, iseng mampir ke Bakso Titoti di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta. Itu warung menyebut diri sebagai 'Gardoe Bakso', asalnya Wonogiri - yah, masih deket-deket Solo situ sih.

Di Bakso Titoti ini, selain protein hewani dari si bakso, juga lemak dari tetelan kikil sapi, anda bisa milih campuran 'karbohidrat'nya berupa mie, bihun atau...sohun!

Ya, sohun, yang terbuat dari aci (atau kacang ijo kalau versi upper end-nya sih), dengan aroma khas sohun yang agak-agak bau aci gitu.

Nah, sekarang bisa kita masuki her story, eh, his-story aka sejarahnya kenapa ada tagline 'Bakso Solo Daging Sapi Asli' itu.


Kalau anda baca tagline begitu, jangan lantas anda pikir di pasar beredar daging sapi palsu yang dibuat dari kertas - itu cuma hoax di i-net doang, jangan percaya, percayalah samah sayah ajah yah....

Bakso Titot, juga Bakso Botak di Jelambar, Bakso Mahkota di Grogol dan ... , juga bakso aliran Solo dan greater Solo, i termasuk bakso yang mempertahankan tradisi, dengan tetap menyediakan sohun sebagai campurannya.

Waktu masih jaman 'kegelapan' - bener-bener suka gelap, sebab seringnya oglangan, giliran pemadaman listrik karena pasokan dari PLN masih seret, bakso itu dijajakan dengan menggunakan pikulan, dengan dua rombong. Satu berisi dandang lurus tak berpinggang, dengan kompor minyak tanah, dan satu berupa laci-laci berisi perabotan dan bahan baku berupa bakso dan sohun dan di atasnya berupa preparation table, tempat meracik bakso pesenan anda plus wadah sambel, garem, lada, bawang goreng dan rajangan seledri.

Eh, saya gak nyebut MSG ya?

Hehehe.... jaman itu, sekitar tahun 1965-an, belum di'temu'kan MSG versi murah-meriah dikemas dalam sachet yang sekali pake gitu. Adanya juga dalam kemasan kaleng warna kuning emas, buatan Hongkong, berjudul Vetsin, harganya mahal, masih merupakan high end product yang cuma bisa mampu dibeli oleh kaum menak.

Jadi, jaman itu, untuk penggurihnya, mereka pakai tulang sapi dan tetelan + lemak gajih yang menempel. Anda bisa lihat tulang-belulang gede-gede di dasar dandang kuah bakso yang mereka panaskan terus itu, makin lama akan makin gurih tentu, jeh!

Nah, baksonya itu tentu saja berdaging sapi asli. Waktu itu mereka belum tersentuh oleh tangan-tangan 'teknologi pangan' aka food tech yang serba canggih dan complicated, sampai mereka bisa bikin apa saja dengan bahan pengganti, seperti kecap yang semula dibuat dari kedele difermentasi itu, sekarang mah bisa diganti pake gula tetes - sisa masakan gula tebu, atau saus sambel yang bahan pokoknya pake onggok, sisa ampas hasil pembuatan tepung tapioka aka aci, kedua bahan itu (tetes tebu dan onggok) semulajadi sih buat dijadikan pakan ternah tuh - thanks to para food technician yang harahebat dan smart itu ya.

Teknologi pembuatan bakso juga masih sederhana, maklum ajah, mereka baru belajar sedikit dari tauke yang bikin bakso ikan atau bakso babai, dan mereka pun dipaksa untuk menekan COGS - Cost of Goods Sold, lha market potential mereka toh para rahayat jelata yang masih ngikutin konsep P7: Pergi Pagi Pulang Petang Pendapatan Pas Pasan, yang cuma mampu jajan bakso keliling begitu.

Jadi, yang namanya bakso Solo jaman awal-awal kemerdekaan (para penjajanya merdeka dari tauke-nya) begitu, terbuat dari daging sapi alakadarnya saja, asal ada mambu prengus sapinya ajah, dengan campuran kanji aka aci, dan sedikit ajah tepung terigu, yang hasilnya sih ya secara fisik berbentuk bulatan daging aka meat ball, ning ya teksturnya agak-agak kenyal-kenyal kayak onde-onde wedang ronde gitulah, ada lapisan bening menyelimuti sekujur tubuh sang bakso, dengan rasa dominan pedes lada plus asin garem doang. Ning, mereka tetep jaga dagingnya ya dari daging sapi asli, walau mungkin bukan dari bagian yang terbaik-nya.

Kenapa mesti pake kata 'asli'?

Nah, jaman itu, jaman susah, anda punya uang belum tentu ada barang. Ketika bakso Solo yang keliling kampung door-to-door itu, ditawarkan dengan memukul-mukuli mangkuk beling (belum musim melamine) pake sendok bebeknya, makin lama makin populer, makin banyak penggemarnya, tidak saja dari kalangan lowest end di kampung-kampung belakang jejeran toko-toko di straat besar, tapi mulai merambah toko-toko di depannya juga, maka mulailah timbul kongkurensi aka persaingan dagang yang sengti.

Bagian daging yang gak gitu bagus dan murah sangat itu tentu saja jadi rebutan para pedagang bakso. Dan, harganya yang semula murah jadi makin mahal sesuai hukum pasar: supply kurang, demand besar - jadi harga boleh dinaikkan.

Jadi, ada pedagang yang gak kebagian daging murah ini, lantas berimprovisasi secara kreatip: mereka cari substitusi - bak anjuran para food technologist yang canggih itu, mengganti daging murah dari sapi itu dengan daging........ tikus!

Hehehe.... siapa yang bisa bedakan lagi kalau daging sudah dicincang halus dan dijadikan bola daging begitu toh? tentu saja isyu begitu cepet merebak, hati-hati, sekarang ada bakso yang pake daging tikus. Hal ini ditunjang juga dengan adanya berita santer bahwa di desa lagi banyak hama tikus, mereka pada menghabisi padi di sawah - sampai pemerintah menggalakkan kampanye pembasmian tikus swah itu, dengan iminmg-iming hadiah, sampai banyak sekali tikus ditangkap!

Saya gak tahu persis apakah benar ada yang curang pake daging tikus untuk campuran baksonya, mungkin juga cuma hoax - hanya saja jaman itu belum musim internet, jadi Hoax Slayer atau Snopes gak bisa ikut campur menjelaskan secara baik dan bener.

Saya cuma mau kasih tahu ajah, sejak itulah makanya muncul tagline: Bakso Solo Daging Sapi Asli - untuk membedakannya dengan daging sapi-sapian doang, jeh!

Ana pernah makan bakso Solo bukan daging sapi asli?



IT'S WORLD TIME: