October 15, 2010

Menyelesaikan Masalah Tanpa masalah?

Di kalangan pengobatan Tionghua, ada ungkapan: dengan racun melawan racun. Maksudnya, untuk mengalahkan racun dari virus, mesti dipakai racun yang lebih kuat dari si virus, supaya virus-nya mate kabeh, jeh!

Ada slogan iklan dari PN Pegadaian yang pernah gencar dikampanyekan, bunyinya:Memecahkan Masalah Tanpa Masalah.

Tentu saja itu suatu slogan (iklan) yang simpatik. Bayangan yang membaca slogan marketing itu tentulah, kalau anda punya masalah (keuangan), datanglah saja ke pegadaian, serahkan barang anda, lalu anda mendapat uang-nya. Beres. That's it, as simple as that. Masalah anda selesai, diselesaikan oleh pegadaian........tanpa masalah?

Benar. Tanpa masalah, kalau saja jenis hutang anda itu termasuk KTA - Kredit Tanpa Angsuran, jadi anda gak perlu mbayar lagi hutang anda. Tapi, apakah benar demikian? Anda yang lebih tahu tentunya ttg gadai-menggadai itu. Barang anda mestilah dinilai lebih rendah dari harga pasaran, dan anda mesti membayar lebih tinggi dari hutang pokok - dari situlah mereka mendapat 'sisa hasil usaha' aka profit, aka untung aka cwan-nya atuh, euy!

Hari ini, Kompas, 15 Oktober 2010, di halaman Bisnis & Keuangan (halaman 17) memuat headline: Konsumsi Nasi Minta Dikurangi' - Bisa Hemat 1,1 Juta Ton Beras.Lalu ada himbauan untuk ikut kampanye "One Day No Rice" - memakai bahasa Inggris, jadi target-nya adalah orang-orang bule atau setidaknya yang merasa 'bule' - ngerti basa inggris toh.

Cita-citanya dan idenya luhur sangat. Dengan mengurangi konsumsi nasi, sehari dalam sebulan, bisa dihemat 1,1 juta ton beras setahun - kalau saja seluruh rakyat Indonesia, termasuk para wakilnya, pejabatnya dan bos-bosnya yang 220 juta orang itu pada kompak seiya-sekata mau menjalankannya. Dan kalau produksi beras tetap ditingkatkan, sisanya bisa diekspor, dapat devisa senilai Rp 6 triliun - masih lebih rendah dari yang di'boros'kan untuk bail out Bank Century.

Tapi, kalau gak makan nasi, gantinya apa sebagai pemenuhan asupan karohidrat?

Singkong? Jagung? Bukankah kata media, cuma orang miskin dan rakyat jelata yang tak mampu beli beras saja yang makan nasi jagung, singkong, gaplek? Coba ajah anda amati, kalau ada paceklik di satu daerah, gagal panen beras, rahayat-nya 'terpaksa'(kata media) makan nasi aking, singkong, nasi jagung atau gaplek.

Jadi, ukuran orang 'mampu' itu kudu makan nasi, dan sekarang anda mau mereka mengurangi makan nasi dan gantinya apa - ketika mereka sudah 'dientaskan' dari dalam jurang atau lembah kemiskinan?

Mie Kari Ayam di Akay, Pasmo BSD.
Roti? Mie? Coba saja anda lihat pola makan rakyat. Bakmi atau bihun (dari beras juga) digoreng dan diberi lauk + sayur, lalu dijadikan lauk teman makan nasi. Makan roti sebagai selingan, jaburan, cemilan, begitu juga dengan singkong dan turunannya (kuwih-muwih dari bahan singkong).

Cobalah sesekali anda iseng bertanya: sudah makan?

Walau sudah makan bakmi ayam seporsi, ditambah roti beberapa bongkah, jawabannya adalah: belum.

Karena konsep 'makan' yang umum di mari (Indonesia, khususnya Jawa) adalah mesti nasi - mangan ora mangan nek ora mangan sega? Makan (serasa) belum makan kalau belum makan nasi. Walau ada beberapa daerah yang makan makanan lain di luar nasi, misal sagu/papeda di Irian dan Maluku, rasi - nasi dari onggok(?) - ampas proses pembuatan tepung tapioka/aci di daerah Cimahi, nasi jagung di Madura dan sebagian kecil Jatim. Tapi, media sudah kadung menganggap, cuma mereka yang masih hidup dibawah garis kemiskinan saja yang tidak makan nasi - nasi menjadi tolok ukur kemakmuran?

Jadi, kalau anda ndak makan nasi satu hari saja dalam sebulan, bisa menghemat devisa sebesar Rp 6 triliun dalam setahun. Ini sudah menyelesaikan masalah - tanpa masalah? Eh, tunggu dulu, sebagai ganti sehari gak makan nasi itu, berapakah devisa yang diperlukan untuk memasak makanan penggantinya? Katakanlah gantinya adalah roti dan bakmi - berapa banyak gandum yang mesti diimpor untuk membuat roti dan bakmi tsb. ya? Sila anda hitung sendiri ajalah dah, bukan saya yang jadi pakar ekonominya, jeh!

Menyelesaikan masalah, dengan masalah baru-kah?


IT'S WORLD TIME: