July 12, 2010

Tongseng, Tongseng di Kwali, Mengapa Dimasaknya Massal, Sih?

Kira-kira 2 minggu lalu, saya dan nyonyah mesti ke Pasar Pramuka. Pulangnya pas jam makan siang, jadi saya ajak nyonyah makan tongseng di kawasan Jatinegara, PGJ - Pusat grosir Jatinegara. Dulu beberapa kali saya pernah makan di situ, sudah rame, tapi belum ber-sponsor tunggal dan belum 'As Seen on TV'.

Waktu itu memang daging-nya gak empuk-empuk amat, tapi masih edible deh. Harganya juga masih reasonable - cukup pas seperti umumnya harga tongseng. Tapi, kemaren makan di situ, pertama kali bagi nyonyah, kayaknya jauh berbeda.....dagingnya alot pisan, baik satenya maupun tongsengnya - not edible sangat, isinya mung kubis doang. Dan sekarang mereka jadi "TTM"*). Kesan pertama yang membuat nyonyah saya kapok makan di situ, jeh!

Jadi agak-agak berpikirian 'ngeres': apakah kualitas berubah gara-gara sekarang sudah 'go public' sampai 'As Seen On TV' dan bersponsor tunggal, jadi kualitas tidak lagi perlu dijaga, toh orang teuteup pada datang rela antri bejibun? Juga harganya sudah tak lagi biasa, di atas rata-rata sangat!

Saya jadi terpancing untuk bernostalgia nih....

Waktu baru masuk kuliah, seorang teman asal Solo memberikan teka-teki kepada saya: apa makanan yang dibuat dari bahan bangunan? Jawabnya: tongseng - tong dan seng, keduanya nama bahan bangunan. Saya tidak tahu jawabannya, sebab tongseng bukan makanan asli yang beredar di Cirebon, kota tempat saya lahir dan besar sampai SMA.

Tapi, sebenernya saya sudah pernah terpapar dengan tongseng sebelum saya kuliah. Di Solo, ketika saya terpaksa mesti 'ngungsi' ke Solo gara-hara sekolah saya, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, ditutup oleh rezim orba - orde bau. Berharap bisa sekolah di Solo, ternyata tak lama sekolah Tionghua di sana pun ditutup juga, pada akhirnya.

Tongseng yang menjadi 'first encounter' saya di Solo itu, dijajakan oleh penjaja sate keliling. Pake pikulan, dengan rombong bagian depan untuk preparation table dan stock sate mentahan dan nasi, yang belakang membawa sebelanga besar yang dikompori, isinya.... gule. Yang mikul itu asisten-nya. Mungkin itu masih keponkannya yang sedang magang, atau sepupunya si chef yang merangkap jadi sales manager-nya, dia memakai sistem D2D - door to door dan direct sales MLM - mendatangi pintu ke pintu sambil menawarkan secara langsung secara Mulut Lewat Mulut.

Biasanya si mas penjaja, lupa namanya, lewat depan toko cihu (suami kakak
separuh saya) sekitar pukul 11:00-an, what a good timing. Pas menjelang maksibar toh? Kalau cici (kakak perempuan) saya lagi malas masak, pastilah akan dimintanya si mas berhenti, begitu mendengar klonengan sebagai 'icon' SFX-sound effect-nya terdengar kloneng-kloneng-kloneng.....

Biasanya kami memesan tongseng, dengan pilihan imbuhan apa saja terserah selera masing-masing. Si chef akan memasaknya seporsi demi seporsi, dengan pesanan individu, dan personal touch dari tangan si chef. Buat si A akan diberinya tambahan garem, buat saya dan keponakan saya yang bungsu pastilah dagingnya (dari sate yang sudah ditusuki) dibakar dulu, khusus buat saya akan diberi tambahan irisan tomat ijo-nya. Sedang cihu saya lebih suka banyakan ati-nya, kerana beliau mengidap tekanan darah rendah. Ati is good for him, as advised by his doctor.

Tongseng-nya biasanya dimasak pakai kuali kecil, dengan anglo bedrarang kayu nan membara, timbang pas seporsi. Ditaroknya tu kuali bertangkai panjang tambahan pake kayu itu di atas anglo, dan si asistennya akan terus mengipasi si anglo supaya panasnya merata. Sementara si chef akan menumis brambang, mengirisi cabe rawitnya, right on top of the wok, lantas daging + gajih + ati yang dipelorotin dari tusuknya (biasanya ambil daging dari bahan sate), barulah sesudah tercium harum si brambang, diambilnya kuah gule dari belanga di rombong belakang. Tinggal tambahi usus atau babat dari dalam gule - kalau anda suka.

Jadi, tiada akan ada keseragaman rasa dan racikan dalam seporsi tongseng, jeh!

Sebab begitulah ide-nya tongseng dulu diciptakan. To cater for your very
individual taste buds. Bukankah setiap orang itu adalah pribadi yang unik, yang tidak akan ada yang sama - walau kembar sekalipun?

Beda dengan gule, yang sudah pre cooked dimasak di markas, mungkin yang masak juga nyonyah chef, atau siapalah yang jaga markas. Begitu juga empal (gentong) Cirebon, yang mestinya sih mirip-mirip gule, dengan bahan dasar sapi. Gule (berdaging kambing) dan empal, memang dimasak secara massal, ready to serve (RTS) dan ready to eat (RTE), jadi tak mengapa dimasak secara massal dan rasanya seragam. Anda boleh menggaremi, mengecapi atau meladai sendiri - ada sedia wadah garem + lada + kicap manise di meja.

Tapi tongseng? Bener-bener menyalahi pakem yang baek dan bener kalau anda begitu teganya memasak-nya secara massal, sekaligus 10 porsi dalam satu kuali - dengan rasa seragam, ndak bisa minta banyakan tomatnya, atau dagingnya dibakar dulu, atau kubisnya dikit ajah. Apalagi kalau demi cwan gede, gara-gara sudah As Seen On TV dan banyak orang penasaran pengen pada nyoba? Daging alot tak usah dipikirkan, tambahi kubis lebih banyak supaya cost makin rendah, o, tambahkan juga gajih lebih banyak deh!

Jangan sampai tu TTM*) ikut sedia tengkleng juga ya.






*) TTM = Tukang Tongseng Massal.



PS: Foto sate dan tongseng itu berdaging alot punya.

IT'S WORLD TIME: