November 21, 2009

Beli Duren Bangkok Di Bangkok-nya Langsung!

Baca cerita Aph1nk di sini, saya jadi ingat pernah ada urusan kerjaan mesti ke Bangkok. Nginap beberapa malam yang ada insiden ttg nomor kamar, sudah saya ceritakan di sini. Waktu itu penjajagan juwal produk ke Bangkok, ada orang setempat yang antar-antar, seorang ibu muda dan seorang lajang cewek.

Pas malam terakhir, siangnya saya minta diantar ke Carrefour mau beli duren. Pulangnya mau transit di Singapore nengok si Dede. Sejak kecil si Dede suka sekali makan duren, jadi saya pikir mau beli duren Monthong Bangkok yang asli dari Bangkok buat dia makan di Singapore nanti.

Waktu mau pilih-pilih yang sudah ada dalam tray, ibu muda yang nampaknya ndak begitu mengerti ttg duren tanya sesuatu ke petugas yang jaga di bagian duren. Saya jelaskan bahwa durennya mau dibawa ke Singapore buat anak saya. Lalu ibu muda yang antar saya bilang pilih yang masih muda, itu kata si petugas.

Saya disodori beberapa tray yang saya sentuh koq masih keras sekali. Jadi saya merasa si petugas cuma mau bohong ajah, jual yang muda duluan.

Saya tetep pilih yang sudah agak empuk. Ini rupanya kesalahan pertama, sebab yang dikatakan si petugas itu mestinya benar adanya. Kalau pilih yang masih keras, tiba di Singapura mesti sudah masak.

Tiba di hotel saya tarok duren dalam tray di dalam kulkas.

Karena denger-denger di pesawat tidak boleh bawa duren, saya bungkus dengan plastik berlapis-lapis. Lalu masukkan dalam plastik berklip (zipper) dengan sekantong kecil kopi, katanya cukup ampuh menutupi aroma duren yang menyengat. Nah, di sini kayaknya ada kesalahan teknis, makin dibungkus rapat, tu duren jadi makin cepet masak.

Bener saja, tiba di Singapore yang cuma beberapa jam saja tu duren sudah benyek sedikit. Jadi langsung saja kami makan di kamar apartemen yang terletak di Lucky Plaza itu. Mulanya saya kuatir yang punya apartemen ndak mengijinkan kami makan duren di kamar, sebab kalau di hotel ada larangan bawa duren.

Pas saya bayar uang sewa untuk 2 malam -- si encim yang punya apartemen strictly business, mesti bayar di muka untuk sewa kamar, mungkin pernah punya pengalaman buruk ada yang belum bayar sudah ngabur? -- si encim bilang barusan ajah ada rombongan dari Jakarta pulang. Masih ada beberapa tray duren di kulkas yang mereka tinggalkan karena takut ndak boleh masuk pesawat, si encim bilang boleh kami makan, sebab si encim sudah mblenger makan duren. Eh, si encim cakap basa Inggris dengan fasih lho!

Boleh dimakan?

Hehehe.... tentu saja si Dede senangnya bukan alang-kepalang, jadi kami berdua makan dah duren yang ada di kulkas. Kalau saja tahu akan ada 'durian runtuh' begini, saya ndak perlu repot-repot bawa dari Bangkok ya?

Anda mau juga-kah?





PS: Gambar diambil dari wikipedia.

November 18, 2009

Bubui Bulan.... Bubui Sampeu.

Anda mestinya ndak asing dengan cara masak makanan. Ada yang dibakar (panggang), digoreng, disangrai (goreng tanpa minyak), dikukus (rebus), diasap.

Tapi di'bubui'? Pernah dengar-kah?

Kalau anda lahir di lingkungan berbasa Sunda, termasuk Cirebon (Kuningan) dan sekitarnya, mestinya anda tahu bagaimana cara memasak makanan dengan cara di'bubui' ini. Ada lagu-nya berjudul "Bubui Bulan", kumplit dengan menyangrai bentang (bintang) dan nyate panon po-e (matahari).

Ema (nenek) saya aslinya kelahiran Mandirancan, suatu ndesit (lebih desa dari desa) di kawasan lereng Gunung Ciremai sekitaran Luragung, Galaherang sono (ndak tahu, ada gak di peta ya?). Jadi sudah terbiasa memasak dengan menggunakan tungku dari batu bata disusun membentuk huruf U. Dengan power source alam: kayu bakar.

Jangan tanya kompor gas jatah gratisan konversi seperti baru-baru ini yang kabarnya suka ada yang meledak, jaman itu, namanya kompor minyak tanah ajah sudah tergolong alat rumah tangga mewah. Lha, minyak tanahnya ajah masih langka, jeh!

Jadi, ketika mereka mengungsi ke Cirebon karena pecah perang antara tentara Belanda dengan gerilya 'kiblik' (republik) - mereka, kaum peranakan Tionghua terjepit di tengah-tengah (tentara Belanda anggap mereka mata-mata gerilya, dan sebaliknya) maka ema saya teuteup wae memasak dengan cara yang sudah diajarkan secara tradisionil turun-temurun 2-3 generasi: pakai tungku bata dan kayu bakar. Ndak peduli nama kota kabupatennya sudah di Cirebon, toh mereka merasa masih tinggal di kampung, 'kampung' Keprabonan sih.

Walau sebagai cucu kesayangan mereka, ema dan engkong saya, saya teuteup mesti bantu menata kayu bakar dan meniupi api dengan sebatang bumbung bambu dalam tungku supaya tetap menyala stabil. Theme song-nya: Kunyalakan api dalam tungku.... (Koes Plus).

Tiap pagi bangun tidur, ritualnya selalu: cuci muka, nyalakan api pada kayu bakar, dengan diciprati sedikit minyak tanah sebagai pemicu, lalu disorongkan ke dalam tumpukan kayu bakar di dalam tungku, kalau api mulai mengecil, mesti ditiup pakai bumbung bambu yang ujungnya sudah hangus terbakar, ceret besar berpantat hitam legam diisi air dan dijerang di atas tungku.

Dan...... nih dia yang berhubungan dengan judulnya: mem-bubui sampeu (Sunda) aka singkong (Betawi) aka capu (Cirebon) aka ubi kayu (Indonesia).

Caranya?

Masukkan singkong atau ubi (jalar) aka boled (Cirebon) yang masih berkulit alam ke dalam tumpukan abu bekas sisa pembakaran (biasa dipakai sebagai bahan pencuci piring, abu gosok namanya) yang masih ada menumpuk tebal di dasar tungku itu. Lalu ditimbun abu supaya tidak terkena api dari kayu bakar secara langsung. Kalau kulitnya dah mulai meretak-retak, itu tandanya sudah matang singkong atau ubi-nya.

Saya paling senang membantu ema menjaga api tungku karena saya mendapat hak prerogatip untuk makan singkong atau ubi pertama yang matang dibubui begitu.

Pagi-pagi dingin, apalagi di musim hujan seperti sekarang, makan sebongkah ubi atau singkong matang dibubui, dengan cara dicubitin kulitnya sedikit demi sedikit, ditiup-tiup dulu sebelum dikunyah, hangat-hangat dengan teh atau kupi manis.... wah, nikmatnya tidak bisa digantikan dengan uang. Tapi kalau uangnya warna ijo (green buck) 4 atau 5 digit sih boleh-lah kita barter, yuk!

Anda mau bubui sampeu tah?


November 17, 2009

Sepatu Bally Seharga Sebulan Gaji.

Pertama kali saya bekerja di Jakarta, tahun 1977. Boss mengijinkan saya tinggal di lantai-3 dari ruko yang dijadikan kantor yang berlokasi di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Adik boss yang kadang-kadang datang ke Jakarta - dia jaga kantor di Timtim, karena sebaya, sering mengajak kami, saya dan satu rekan kerja saya, ikut jalan ke Glodok untuk makan-makan enak dan belanja keperluannya.

Satu yang saya ingat, adik boss senang sekali belanja di satu toko di kawasan Glodok, Pancoran, jejeran Gloria, lupa lagi nama tokonya. Sebuah toko kecil satu pintu ruko yang khusus menjual barang-barang impor bermerek internasional.

Harap anda catat bahwa tahun 1970-an itu, belum ada barang bermerek yang punya perwakilan atau dealer resmi dan membuka toko sendiri di Jakarta. Belum ada banyak mall berdiri. Yang ada cuma Duta merlin shopping center dan Glodok Plaza pada waktu itu. Kalau anda mau barang-barang impor yang dibawa secara tentengan via udara, anda mesti ke kawasan Pasar Baru (Metro) - untuk baju-baju dan aksesori untuk perempuan, atau ke toko tersebut untuk baju-baju dan aksesori lelaki.

Jaman itu jaman-nya penyelundupan bersimaharajalela. Ada yang kecil-kecilan, bawa beberapa kopor atau tas via udara, ada juga yang besar-besaran. Konon pada waktu itu pernah tertangkap satu pesawat penuh dengan barang selundupan berupa....... CD dan BH merek Triumph!

Satu sepatu yang waktu itu saya idam-idamkan, impi-impikan adalah sepatu merek Bally, semi lars, ndak terlalu tinggi seperti sepatus lars (boot) tapi lebih tinggi dari sepatu biasa. Adik boss dan boss kami selalu memakai sepatu Bally ini. Nampaknya keren sekali kalau pakai sepatu bermerek begitu. Sayang sekali harga sepasang sepatu itu senilai sebulan gaji kami pada waktu itu: Rp 50.000 (kurs USD 1 = Rp 200-an?).

Sampai sekarang saya ndak pernah beli sepatu idaman jaman dulu itu. Pertama, karena model sepatu semi lars begitu sudah ndak mode lagi, dan yang paling utama tentu karena harga-nya tetap saja tinggi setelah saya bergaji lebih besar. Harga di internet ajah masih sekitar US$ 400 per pasang (tergantung modelnya, tentu) dan saya merasa koq eman-eman (sayang) memakai alas kaki dengan harga setinggi itu.

Sepatu anda merek apa ya?







PS: Gambar dari wikipedia.

November 03, 2009

Back to the Future.

Back to the Future - judul film yang dibintangi Michael J. Fox ini bukan film pertama yang menceritakan tentang time machine. Mesin waktu yang bisa membawa kita ke masa depan atau pun masa lalu. Ada film serial berjudul Quantum Leap, juga menceritakan ttg perpindahan masa ke masa. Dan, mestinya ada banyak film lain yang berhubungan dengan mesin waktu ini.

Saya rasa, saya sudah menemukan 'mesin waktu' ini.

Sejak kepindahan saya dari Jelambar, tahun 2004 akhir, pas Lebaran, ke BSD pertama kali, lalu pindah lagi pas menjelang Imlek tahun 2006 ke rumah yang sekarang, banyak barang-barang yang dikemas dalam boks belum sempat dipilah-pilah lagi. Selalu saja ada alasan untuk tidak meneruskan memilah-milahnya.

Beberapa hari ini, pas ndak banyak kesibukan, saya mulai lagi memilah-milah. Selalu susah membuang barang-barang yang tidak 'terpakai' lagi. Saya dikenal suka sekali 'menyusuh' - menyimpan aneka barang remeh-temeh tetek-bengek (tetek-e sopo sing bengek yo?) yang sudah tidak terpakai, sebab sejak kecil sudah terbiasa diajarin untuk menyimpan apa saja, kerana suatu saat bisa saja diperlukan.

Saya masih menyimpan rapor jaman SD, foto-foto, buku-buku album kenangan jaman SMP, SMA, kuliah, catatan harian, surat-surat koresponden dan kartu-kartu ucapan pada sekitar 1970-an, koleksi majalah Intisari sejak 1970-an dan Tempo sejak 1977 ketika saya mulai bekerja dan bisa berlangganan. Juga majalah lain-lain yang gratisan, berkenaan dengan bidang pekerjaan saya. Dan novel-novel yang saya beli pada jaman kuliah, buku-buku referensi, kamus-kamus yang mungkin sudah out of date, kayaknya sih. Nyonyah saya sih sudah berkali-kali komplain, minta agar barang-barang 'susuhan' (nyampah) itu dibuang saja.

Rasanya dibuang sayang toh?

Nah, setiap kali saya menyentuh barang-barang memorabilia (buat saya pribadi) itu, saya bisa secara otomatis mengalami 'quantum leap', kembali ke masa-masa ketika barang itu dibeli atau dibuat. Dengan cukup jelas tergambar di memori saya, suatu flash back ke masa lalu. Seolah ada layar monitor di kepala saya yang memutar kejadian masa lalu, suasananya, aromanya (kalau berkenaan dengan makanan atau bebauan di sekitar tempat kejadian, bahkan bau keringat atau kotoran kuda sekalipun!), semuanya tergambar dengan jelas.

Saya pikir, yang namanya mesin waktu, mungkin ya begitulah terjadinya. Perpindahan waktu ke masa lalu itu terjadi dan tergambar, terrasakan, di dalam pikiran kita.

Bagaimana dengan masa depan?

Berdasarkan database yang ada di catatan pikiran kita, lantas kita bisa 'meramalkan' apa yang kita inginkan. Nah, yang kita inginkan akan terjadi itu, punya rumah baru, misalnya, itu adalah perjalanan ke masa depan.

Sayang sekali, setiap kali saya mesti back to the past begitu, akhirnya saya berhenti memilah-milah barang-barang susuhan, dan berakhir dengan kepala pusing, persis seperti Dr. Sam Beckett dalam lakon Quantum leap itu mengalami sedikit gangguan fisik (kepala pening?) setiap kali berpindah dari satu masa ke masa lain dan mengeluh: Oh, boy....

Hehehe.... benernya alasan ajah sih, supaya gak meneruskan memilah-milahnya tuh.

Anda mau bantu saya?






PS: Gambar diambil dari sini.

IT'S WORLD TIME: