November 18, 2009

Bubui Bulan.... Bubui Sampeu.

Anda mestinya ndak asing dengan cara masak makanan. Ada yang dibakar (panggang), digoreng, disangrai (goreng tanpa minyak), dikukus (rebus), diasap.

Tapi di'bubui'? Pernah dengar-kah?

Kalau anda lahir di lingkungan berbasa Sunda, termasuk Cirebon (Kuningan) dan sekitarnya, mestinya anda tahu bagaimana cara memasak makanan dengan cara di'bubui' ini. Ada lagu-nya berjudul "Bubui Bulan", kumplit dengan menyangrai bentang (bintang) dan nyate panon po-e (matahari).

Ema (nenek) saya aslinya kelahiran Mandirancan, suatu ndesit (lebih desa dari desa) di kawasan lereng Gunung Ciremai sekitaran Luragung, Galaherang sono (ndak tahu, ada gak di peta ya?). Jadi sudah terbiasa memasak dengan menggunakan tungku dari batu bata disusun membentuk huruf U. Dengan power source alam: kayu bakar.

Jangan tanya kompor gas jatah gratisan konversi seperti baru-baru ini yang kabarnya suka ada yang meledak, jaman itu, namanya kompor minyak tanah ajah sudah tergolong alat rumah tangga mewah. Lha, minyak tanahnya ajah masih langka, jeh!

Jadi, ketika mereka mengungsi ke Cirebon karena pecah perang antara tentara Belanda dengan gerilya 'kiblik' (republik) - mereka, kaum peranakan Tionghua terjepit di tengah-tengah (tentara Belanda anggap mereka mata-mata gerilya, dan sebaliknya) maka ema saya teuteup wae memasak dengan cara yang sudah diajarkan secara tradisionil turun-temurun 2-3 generasi: pakai tungku bata dan kayu bakar. Ndak peduli nama kota kabupatennya sudah di Cirebon, toh mereka merasa masih tinggal di kampung, 'kampung' Keprabonan sih.

Walau sebagai cucu kesayangan mereka, ema dan engkong saya, saya teuteup mesti bantu menata kayu bakar dan meniupi api dengan sebatang bumbung bambu dalam tungku supaya tetap menyala stabil. Theme song-nya: Kunyalakan api dalam tungku.... (Koes Plus).

Tiap pagi bangun tidur, ritualnya selalu: cuci muka, nyalakan api pada kayu bakar, dengan diciprati sedikit minyak tanah sebagai pemicu, lalu disorongkan ke dalam tumpukan kayu bakar di dalam tungku, kalau api mulai mengecil, mesti ditiup pakai bumbung bambu yang ujungnya sudah hangus terbakar, ceret besar berpantat hitam legam diisi air dan dijerang di atas tungku.

Dan...... nih dia yang berhubungan dengan judulnya: mem-bubui sampeu (Sunda) aka singkong (Betawi) aka capu (Cirebon) aka ubi kayu (Indonesia).

Caranya?

Masukkan singkong atau ubi (jalar) aka boled (Cirebon) yang masih berkulit alam ke dalam tumpukan abu bekas sisa pembakaran (biasa dipakai sebagai bahan pencuci piring, abu gosok namanya) yang masih ada menumpuk tebal di dasar tungku itu. Lalu ditimbun abu supaya tidak terkena api dari kayu bakar secara langsung. Kalau kulitnya dah mulai meretak-retak, itu tandanya sudah matang singkong atau ubi-nya.

Saya paling senang membantu ema menjaga api tungku karena saya mendapat hak prerogatip untuk makan singkong atau ubi pertama yang matang dibubui begitu.

Pagi-pagi dingin, apalagi di musim hujan seperti sekarang, makan sebongkah ubi atau singkong matang dibubui, dengan cara dicubitin kulitnya sedikit demi sedikit, ditiup-tiup dulu sebelum dikunyah, hangat-hangat dengan teh atau kupi manis.... wah, nikmatnya tidak bisa digantikan dengan uang. Tapi kalau uangnya warna ijo (green buck) 4 atau 5 digit sih boleh-lah kita barter, yuk!

Anda mau bubui sampeu tah?


IT'S WORLD TIME: