Baca kompas harini, 25 Maret 2010, halaman 32, kolom paling kanan, ada sepenggal cerita ttg tokoh pendiri LBHI - Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, ABN (76 tahun), yang diangkat menjadi guru besar di Melbourne University, Australia. Mengingatkan saya pada kejadian kecil di Cirebon sekitar tahun 1974-an (persisnya sudah lupa sih), berarti ketika beliau masih berumur 40-an tahun.
Jaman itu, LBH itu suatu nama yang bener-bener keren, the one and only. Tiada duanya lagi di Indonesia (Jakarta). Pamungkas segala urusan hukum yang buntu. Banyak kasus dimenangkan oleh LBH, khususnya kasus antara rahayat jelata vs penguasa (dan pengusaha?) yang berkuasa. Keadilan berpihak kepada yang benar.
Orangtua saya punya satu ruko di seberang Pasar Pagi, pasar yang lumayan besar untuk ukuran Cirebon pada masa itu. Pasar tradisionil yang ramai, walau dari jalan besar (Jl. Siliwangi d/h Kejaksan) tidak akan nampak kegiatan perdagangan di dalam pasar, sebab bagian depan (dan samping) dikelilingi oleh ruko-ruko yang berjejer sekitar 20-25 pintu dengan lebar sekitar 5-6 meter.
Kayaknya sih itu pasar bangunan lama, peninggalan masa Hindia Belanda, begitu juga rukonya. Saya ndak tahu bagaimana ceritanya, tapi bangunan pasar berikut ruko-nya akan dibongkar dan diremajakan oleh pemda. Kayaknya masa itu memang sedang 'musim' peremajaan, mengekor sukses peremajaan pasar-pasar yang dilakukan DCI Djaja - Daerah Chusus Ibukota Djakarta Raja. Mungkin saja status tanah di sekitar pasar itu adalah HGB yang masa berlakunya 90 tahun (berarti berdiri sekitar 1884-an?) sehingga pemerintah daerah lantas berinisiatip untuk meremajakannya. Persisnya bagaimana, saya tak tahu juga sih, jeh!
Yang saya ingat, kayaknya para saudagar pasar dan pemilik ruko (juga rumah-rumah yang tanahnya ikut dalam lingkungan pasar tsb.) berkongsi meminta bantuan hukum dan 'mengundang' LBHI yang pada waktu itu bener-bener kesohor banget sebagai 'pendekar pembela keadilan' bagi rahayat jelata. Sempet fakultas hukum menjulang posisinya dan sangat diminati banyak anak-anak SMA pada masa itu untuk meneruskan kuliahnya.
Jadi, suatu hari, saya pas liburan dan berada di Cirebon (sudah kuliah di Yogya), suatu pagi saya lihat koq ramai sekali orang-orang berjalan di tengah jalan di depan pasar itu. Rupanya itu rombongan orang-orang LBHI, termasuk ABN pribadi (katanya sih), yang diantar para panitia pihak (calon) kurban penggusuran itu. Mereka berjalan dengan gagahnya, dagu ditinggikan, pakai bajunya model safari (populer sangat pada masa itu), jas berlengan pendek tanpa perlu pakai dasi untuk hem anda, mereka beriringan menuju lokasi pasar, kendaraan yang berlalu lintas terpaksa mengalah, pada berhenti - soalnya masih sepi juga, jalanan cuma diramaikan sepeda, becak dan beberapa mobil pribadi Fiat dan motor DKW (Daun Kawung) atau Ducatti.
Itu saja yang saya ingat.
Berita selanjutnya tidak saya ikuti lagi. Koran masih langka, TV masih BW dan kayaknya berita daerah macam begitu sih kagak masuk hitungan, juga internet belum berwujud sama sekali. Tapi, waktu saya liburan mudik lagi, tu pasar sudah mulai dibongkar. Rupanya keadilan belum berpihak kepada para pedagang (lama) dan pemilik ruko di sekitar pasar itu. Walau pun sudah di'bela' (semula saya pikir meminta bantuan LBHI tidak perlu biaya, lho!) oleh lembaga yang sedang naik daun (di Jakarta) sekalipun!
So, justice for who ya?