Meski judulnya bilang soal 'pribumi', tapi saya ndak bermaksud cerita ttg si SARA nih ya.
Kalau sekarang Kopdaran, biasanya merujuk ke kumpul-kumpul ama sesama temen-temen di i-net, baik milis atau MP atau FB atau lain-lainnya yang saya ndak tahu apa itu. Lha, kalau kopdaran djaman doeloe? Ya tentu saja sama juga, acara kumpul-kumpul sesama temen, entah eks satu kampus atawa temen senasib mondok di asrama.
Tahunnya 1987, bulannya Desember, tanggalnya yang sudah agak lupa. Kayaknya sih belum lama sesudah Natalan. Saya ingatnya karena ada proyek side job dari sohib saya: survei ttg properti di Balikpapan. Sohib saya dapat job untuk melihat prospek satu daerah dekat pantai Balikpapan untuk dijadikan ruko.
Saya ijin cuti ke kantor, seminggu, lalu saya ke Balikpapan.
Eh, kebetulan saya ingat ada teman bekas sekampus, atau bekas teman sekampus(?) yang mukim di Balikpapan. Kerja di perusahaan minyak yang terkenal di sana, dan kabarnya dia sukses berkarir di situ. Jadi saya interlokal ke sohib saya di Yogya [belum musim telepon genggem aka HP, jadi mesti pake telepon station di rumah atawa di kantor], tanya nomor telepon teman kita yang di Balikpapan itu.
Dapat nomernya, segera saya hubungi.
Saya tanya, apakah bisa ketemu kopdaran barang sejenak, sebab waktu itu kira-kira sudah 10 tahunan saya meninggalkan Yogya dan tidak jumpa dia. Saya merasa waktu di Yogya sih cukup dekat, walau bisa saja saya cuma GR doang merasa dekat sepihak ya?
Eh, dapat respon positip. Boleh, datang saja ke rumahku sore ini, katanya. Ya, tentu saya datang, diantar satu orang dari kantor yang punya proyek. Pas hari itu selesai tugas saya survei dan wawancara prospek untuk properti tsb. Besoknya saya sudah mesti balik ke Jakarta.
Jadi, tentu saja sorenya saya datang ke rumahnya. Berbasa-basi sebentar, saya diajaknya ngobrol di dapurnya, sambil dia mempersiapkan makanan dan minuman. Ternyata dia sedang mengadakan acara Natalan bersama teman-teman sekantornya, saya pas datang ketika tamu-tamunya belum pada datang.
Tak lama tamu-tamunya berdatangan.
Dan, segera saja dia sibuk mengurus tamu-tamunya, sementara saya ditinggal sendiri saja di dapur. Saya tunggu sampai sekitar 125 menit, dia ndak pernah balik ke dapur. Entah lupa ada bekas temannya (rupanya benar saya cuma dianggap 'bekas' teman saja) ditinggal di dapur atau ada apa gerangan maksudnya, saya ndak pernah tahu. Sebab saya akhirnya meninggalkan rumahnya lewat pintu samping, ndak pamitan lagi sebab saya tengok dia begitu sibuknya berhaha-hihi dengan teman-teman sekantornya.
Lama kemudian, sekitar 20 tahun, barulah saya tahu penyebabnya, itu pun saya diberitahu sohib saya yang di Yogya: rupanya dia mengaku bahwa dia pribumi ketika wawancara di kantor tempat dia bekerja, sehingga kedatangan saya yang bermata sipit - jika dikenalkan kepada teman-teman kantornya, kuatir bisa membuka 'rahasia'nya sebagai pribumi.
Jadi, anda non-pribumi tah?