Rumah papah saya di kawasan Pasar Pagi, Cirebon, berdagang kelontong, persis di ruko yang tusuk sate, di Jalan Siliwangi (d/h Kejaksan) yang di'tusuk' ama Jalan Pamitran. Pasar Pagi-nya terletak di seberang jalan, cukup luas, melingkupi Jalan Pamitran, dan Kalibaru Selatan, bagian depan, yang berada di Jalan Kejaksan di'tutup' oleh ruko-ruko jaman Belanda.
Ruko-rukonya tentu saja berupa toko, berdagang macam-macam.
Sebelah rumah persis, yang kiri dagang onderdil mobil, yang kanan juwalan aneka supply keperluan bahan bangunan seperti paku, lem kayu (ancur), vernis dan kebutuhan nelayan seperti tambang, kayu soga (entah untuk apa itu ya), ter, dan lain-lain.
Umumnya sih toko kelontong, tapi ada juga toko lampu dan alat-alat listrik, agen minyak pelumas dan stempet (gemuk) Shell, tukang gigi, servis radio, tukang cukur, toko cita Bombay, toko tembako, agen koran dan majalah, toko potret, rumah makan, toko buku dan... toko roti.
Kayaknya ada 4-5 buah toko roti dan kue yang besar dan kecil, yang saya ingat: di ujung jalan, pengkolan Jalan Kalibaru Selatan ada toko Olimpia, dekatnya ada toko Sien - nama pemiliknya Tante Sien (ganti nama jadi toko Sinar pada 1966), di seberang jalan di ruko depan pasar ada toko Sederhana, dekat hotel ada toko Famili, dan jejeran ruko papah saya ada satu toko roti tanpa nama.
Umumnya yang dijuwal di toko roti tentu saja roti manis dan roti tawar yang masih ala 'kampung' tanpa pengawet, belum dipotong-potong itu. Permukaan atau 'kulit' rotinya masih tebal, agak-agak gosong kesoklatan warnanya, bertekstur agak kasar gitu. Juga kue-kue basah jajan pasar, seperti risoles, kroket, lemper, pipis (kue lapis), permen, soklat dan kue kering.
Favorit kami 'kue (roti kering) kodok' - semacam biskuit kecil, diameter 25-30 mm, dua lapis berisi krim kering, dengan topping berupa sedulit adonan gula warna-warni: hijau, pink atau putih, yang dicetak memakai contong, berulir mengerucut jadi kayak kodok penampakannya.
Roti manis yang dimaksud tentu roti isi, juga ada roti keset atau roti sobek, seketul isinya beberapa bongkah yang berisi kombinasi: soklat, nanas atau susu. Kalau yang individu, isinya biasanya pasta coklat, abon [saya baru ingat nih, ternyata BreadTalk bukan yang pertama bikin roti abon tuh], selai nanas, daging ayam atau daging sapi cincang, atau kacang ttanah tumbuk yang diberi gula pasir. Belum musim roti manis isi kiju yang kiju-nya masih merupakan barang mewah nan langka pada jaman itu, jeh!
Harganya sudah lupa lagi. Tapi umumnya cukup mahal. Di atas harga sepotong gepu sudahlah tentu. Saking mahalnya, kami jarang jajan roti isi. Sampai-sampai kami suka merasa iri kepada teman-teman kami yang orangtuanya punya toko roti. Kami pikir, mereka tentu senang sekali, bisa makan roti setiap hari ya?
Pernah juga sih ada pedagang roti rahayat jelata, murah meriah punya harganya, dijajakan dengan wadah berupa baskom, isinya roti goreng mirip bolang-baling tapi lebih tipis teksturnya dan agak gepeng, juga bentuknya tidak beraturan, namanya 'brotak' - entah diambil dari mana nama ini.
Nah, pernah sekali waktu, ada seorang Tionghua encek-encek, kelilingan membawa keranjang rotan, berisi roti-roti manis berisi soklat, kacang tanah + gula pasir ditumbuk, selai nanas, ayam atau abon, yang ditutupi kain serbet bersih, membawa tongkat panjang sebagai penunjuk jalan, sebab beliau tunanetra, dan seorang anak kecil yang menjadi pengantar-nya (si anak sering bandel, sehingga suka dijitak kepalanya pakai tongkat).
Secara konsisten si encek berkeliling mulai sekitar pukul 15:00-16:00 sore. Rotinya masih hangat, fresh from the oven. Yang saya ingat sampai sekarang, rotinya berukuran sama seperti yang dijuwal di toko roti, aromanya juga enak, dengan kulit agak tebal kesoklatan tua, biasanya kami suka merobek kulitnya dulu untuk dimakan terlebih dahulu. Yang penting: harganya lebih murah dari yang dijual di toko roti, sekitar separuhnya.
Tentu saja kami lebih suka menunggu si encek datang di sore hari baru jajan roti isi-nya. Kebetulan si encek datangnya dari jalan arah sisi kanan toko papah saya, jadi selalu beliau singgah lebih dulu di rumah saya. Pada masa itu, umumnya toko-toko di Cirebon akan tutup istirahat pada siang sehabis makan sampai sore hari, buka lagi sekitar pukul 17:00.
Jadi kami berlangganan roti manis isi kepada si encek tunanetra itu. Beberapa kali kami tanyakan, siapakah 'boss' pemilik pabrik roti yang beliau jajakan dengan harga murah, jawabannya selalu tidak jelas. Sampai-sampai di antara kami, anak-anak sebaya sepermainan di lingkungan itu, akhirnya berkseimpulan bahwa bisa jadi pemilik pabrik roti itu adalah seorang dermawan yang berniat membantu kami mendapatkan roti dengan harga murah.
Sampai akhirnya si encek tidak lagi berdagang, setelah beberapa bulan, kami tetap tidak pernah tahu di mana lokasi 'pabrik' roti yang murah hati itu. Tetap menjadi misteri sampai sekarang, dan mungkin sampai selama-lamanya.
Barangkali anda tahu siapa boss-nya?