Jarig, bukan jabrig, bacanya [yareh] - ini boso Londo.
Sebagai generasi 'in between', dengan sebagian orangtua kami yang mengenyam pendidikan di jaman Belanda, tentu saja di antara kami ada yang masih berbasa Belanda, setidaknya bisalah ngomong lekker, ikke [ike], jij. Atau ik hou van je.
Mungkin juga pengaruh kolonial, kalau ada yang jarig, eh, HUT kami mesti ditraktir makan siang bareng di resto, atau kalau yang kaya-raya, the haves, kalau pas HUT ke-17 ya bikin pesta HUT 17 hari 17 malem, ngundang orang sekampung, nanggap jaran kepang, eh, bukan, tentu band pengiring dans dwong, dweh, jweh!
Setting waktu 1974-1976-an. 'Kami' di sini tentu saja saya dan teman-teman saya sekampung, eh, sekampus di Yogya, ding!
Saya termasuk 'golek' - golongan ekonomi lemah, lha bisanya kuliah di Yogya, karena 'uang pangkal'nya cuma Rp 8.000 [dibanding di Salatiga, Satya Wacana - Rp 20.000, dan Surabaya, Universitas Petra - Rp 100.000] dan uang kuliah cuma Rp 2.000 sebulan, termasuk makan 3 kali sehari dan mondok di asrama Realino berapa ya bayarnya, kayaknya sih sekitar Rp 1.000 per bulan kalau gak salah. Soalnya, saya ingat sebulan saya terima wesel Rp 5.000 - itu ajah masih bisa nabung.
Nonton biskup seringnya sih nonton 'film seks', maen-nya tengah hari bolong aka matinee show, cukup bayar Rp 50 aka sekets. Karcis malamnya kalau ndak salah ya Rp 100, itu ajah sudah di gedung biskup kelas Theater, pake Aircon dan tempat duduk jok busa yang nyaman, belum musim biskup XXI aka Studio 21 Cinema.
Jadi, karena kami semua jauh dari rumah, tentu saja kami cuma maksibar kalau ada yang jarig di kelompok atau geng (gang) kami, sekitar 10 orang saja yang suka ngegerombol bareng di kampus atau di luar kampus.
Favorit maksibar jaman itu cuma Ayam Goreng Ny. Suharti (masih kolaborasi suami-isteri) - belum datang saingannya si kolonel KFC, yang di Jalan Adisucipto arah ke bandara itu. Atau RM Colombo di Malioboro sono - heran, ndak pernah ada yang terpikir ngajak makan di Lie Djiong, padahal ada 2 orang anggota gang kami asli Yogya tuh. Kalau yang jarig banyak duit, biasanya kami pesan minuman yang cukup mewah: es kopyor, jus alpokat, atau es Shanghai.
Pas giliran saya jarig, saya sudah mengumpulkan sisa jatah wesel saya beberapa bulan, mereka insist (opo yo boso kito-nyo?) untuk makannya di Bakso Sobo di alun-alun sono. Alasan mereka sudah sering makan di tempat-tempat yang berbau resto, jadi bosen. Pesan minumannya juga cuma sebatas es kelapa muda saja.
Belakangan, saya baru nyadar diri, lha saya pan termasuk 'golek' dibandingkan anggota gang kami yang lain. Ah, memang senang ya punya teman-teman yang begitu pangerten - pengertian seperti mereka.
Dasar saya telmi sih ya?