Baca cerita ttg Sekatenan di Yogya yang diceritakan mBak Shanti di sini, mengingatkan saya pada suasana Muludan (Maulud-an) di Cirebon. Jaman saya masih SD-SMP sekitar tahun 1960-1970-an. Di Jogja dan Solo (juga Semarang?) - Joglosemar, sebutannya adalah 'sekatenan'.
Kalau ndak salah, perayaan Muludan ini berkenaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW - tahun ini pas pada tanggal 26 Februari 2010. Mengutip wikipedia: "Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti 'hari lahir'. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW."
Biasanya, di Cirebon, menjelang hari-H sebulan sebelumnya, ada 'pasar malam' (ceritanya nanti berlanjut terpisah ya) di alun-alun Keraton Kanoman yang letaknya di belakang Pasar Kanoman. Pertanda datangnya Maulud ini biasanya diawali dengan berhembusnya angin puso(?) yang terus-menerus setiap hari, angin yang kering berhembus cukup kencang, tidak enak rasanya kalau menerpa badan kita, begitu kencang-nya sampai-sampai tanah di halaman rumah kakek saya (di kampung Keprabonan) yang biasanya berdebu menjadi 'bersih' tanpa debu halus.
Angin ini kalau gak salah bertiup dari laut ke darat, sehingga umumnya nelayan pada berlibur - mungkin memang sengaja alam meniupkan angin ini supaya para nelayan bisalah cuti barang beberapa hari. Juga tiupan-nya cukup kencang sehingga mangga gedong di halaman rumah 'elang' (gelar ningrat keraton di Cirebon) di sebelah rumah kakek saya sering berguguran, begitu pun dedaunan pepohonan lain, pada berguguran, ngeruntah (nyampah) sajah, persis kayak musim gugur di Eropah atau Amrik sana mungkin ya, jeh!
Dan, biasanya pula, pada 'musim' Muludan begitu ada serombongan anak-anak remaja usia SD-SMP yang berpeci, dengan sarung dikalungkan secara menyilang di bahu, bertelanjang kaki, bergerombol bertiga-tiga atau paling banyak berlima-lima, akan berkeliling kota, berjalan kaki, D-2-D (door to door) mendatangi rumah-rumah dan toko-toko di seluruh kota dan kampung Cirebon, menyanyikan lagu: Tawurji.
"Tawurji..... tawur..... selamat panjang umur!" Begitu kira-kira syair lagu tsb. dinyanyikan di depan-depan rumah atau toko. Memanggil-manggil penghuninya supaya keluar dan menawurkan (menabur, melempar, menyawer) secara harafiah uang recehan logam ketipan (10 sen) atau talenan ('e' - sate) aka 25 sen, atau bahkan ada juga recehan 5 sen atau 1 sen (bolong) yang ditawurkan ke udara, lalu dipunguti secara berebutan oleh rombongan anak-anak (santri?) itu. Mereka akan melaksanakan tradisi CC - coins collecting begini sejak pagi sampai menjelang maghrib.
Mereka akan terus menyanyikan lagu 'tawurji' sampai penghuni rumah atau toko keluar dan menawurkan uang recehan tsb. Kalau anda menaburkan banyak uang recehan, ndak lama rombongan lain akan datang menyambangi rumah anda. Ndak tahu bagaimana caranya mereka berkomunikasi saling berbagi info ini, waktu itu pan belum musim HP tuh ya, jeh!
Jaman itu, waktu saya SD, uang setalen cukup untuk membayar sepotong combro di kantin sekolah. Saya ndak tahu apakah uang receh yang terkumpul itu lantas disumbangkan untuk padepokan mereka, atau untuk pribadi mereka, atau untuk sumbangan lain seperti akhir-akhir ini sedang 'musim' pengumpulan coin untuk ini atau itu dengan kampanye via FB, MP dan milis di i-net itu lho.
Saya ndak tahu apakah tradisi itu masih ada sampai sekarang, juga ndak tahu apa makna lagu 'tawurji' itu, mungkin juga ada 'selamat panjang umur' itu berkaitan dengan HUT Nabi Muhammad SAW?
Pasar malam di alun-alun Keraton Kanoman berlangsung sekitar 30 hari, pada malam hari-H-nya, ada penyucian benda-benda pusaka, sebutannya kalau tak salah 'malam panjang jimat' atau apa gitu, sudah lupa lagi. Juga ada penabuhan 'gong sekati' (gamelan sekati?). Kalau ndak salah, 'sekaten' sendiri juga berasal dari 'sekati' ini.
Bagaimana suasana Mauludan di tempat anda?