Tahun 1966 itu si Imyang mestinya masih umur 15-16 tahun, kelas 3 SMA THHK. Cirebon itu termasuk kota 'udik', kecil - masih ingusan, walau gak dekil. Kalau anda mau ke luar negeri, pilihannya jaman itu atau naik kapal laut, atau naik kapal terbang. Mesti ke Jakarta dulu, yang ada pelabuhan udara dan pelabuhan lautnya yang besar, buat sandar kapal laut besar, jeh!
Nah, buat kami, anak-anak sekitaran Pasar Pagi, Cirebon, Jakarta itu boleh dibilang nun jauh di mato. Gak tahu di mano letaknyo tu, oiiii!
Siapa tah yang mampu ke Jakarta? Ongkosnya masih mahal. Hanya beberapa orang saja yang memang berbisnis mesti kulakan, baru bisa dan mampu pergi ke Jakarta pada jaman itu. Naeknya spoor langsam kelas ekonomi, atau paling juga kereta Gaya baru yang lebih cepat larinya, atau suburban - travel antar kota yang pake mobilnya Chevrolet, travel satu-satunya jaman itu yang melayani trayek Cirebon-Jakarta pp cuma satu: Damai (masih ada sampai sekarang, usaha angkutan saja kalau gak salah).
Jadi, ketika akhirnya sekolah kami, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, ditutup paksa oleh pemerintah orde bau, gedung sekolahnya disita dan dijadikan STON atau STMN - gara-gara masalah politik waktu itu. Papahnya Imyang memutuskan untuk mengirimnya melanjutkan bersekolah, di mana lagi kalau bukan di ......... RRT!
Karena mesti naek pesawat, Imyang mengemas barang bawaannya memakai koper kulit yang besar. Bukan koper kaleng atau rotan seperti yang biasa dibawa mereka yang naek kapal laut. Kami tidak mengadakan pesta perpisahan, belum musim waktu itu. Juga tidak mengantarnya ke Jakarta, berat di ongkos atuh, euy!
Imyang berangkat sendiri ke Jakarta, ada saudaranya yang menunggu di sana dan mengurusnya di bandara Kemayoran. Naek pesawatnya kalau gak salah Thai Airways.
Lama kemudian, barulah kami terima kabar darinya. Via snail-nail par avion yang amplopnya dikasih garis patah-patah warna biru-merah, tentu, belum musim e-mail sih, jeh!
Isi suratnya panjang lebar. Yang saya ingat cuma ini:
"....enak pisan numpak pesawat, gratis mangan-nginum jus jeruk murni asli (biasa kami minum 'jus' encer dalam botol yang dijajakan pedagang keliling). Pramugari-ye ayu-ayu kabeh. Basa Inggris-e blesak (jelek), masak waktu transit ning HK dan nunggu di dalam pesawat, lawang-e dibuka, si pramugari ngomong-e: It's hok outside. Maksud-e sih [hot] tuh. Tapi, parfumnya..... nyegrak (mencolok) pisan, dari jarak 500 meter sajah kecium wanginya tuh!"
Ya. Itu saja yang masih saya ingat.
Sejak itu si Imyang tidak pernah berkirim kabar lagi. Terlebih setelah di RRT muncul demam dahsyat RK - Revolusi Kebudayaan. Komunikasi terputus, kami tak tahu lagi dia mukim di kota mana, sekolah di mana.
Hilang begitu saja, tak berbekas, bagai ditelan bumi yang merekah - bak kubur si Sam Pek yang merekah terbelah - agar si Eng Thay bisa masuk, manjing, larut menjadi satu, berpadu dalam satu liang lahat, sebab kasih mereka tak sampai tuh......
Anda tahu dia ada di mana?