Ini kasus, eh, cerita lama. Tentang sesuatu yang berhubungan dengan, apalagi kalau bukan........makanan, jeh!
Entah dari mana asal-usulnya, yang jelas banyak (gak tahu berapa, jelas lebih dari 100 - kalau dihitung dari jumlah penjajanya) orang Solo yang doyan makan, sorry, daging anjing. Dimasak dengan gaya Solo-nan: tongseng dan sate, kemudian muncul menu baru; rica-rica ala Manado, bung!
Anda tahu 'kan bahwa anjing adalah the next men's best friend, kata wong Amrik sih. Dan di sana - di negara bagian tertentu, konon kabarnya menyembelih, memasak, menjajakan dan/atau memakan hewan bernama K-9 itu termasuk pelanggaran hukum yang bisa dikenakan hukuman bui.
Jadi, begitulah pula di Solo, nampaknya. Orang masih malu-malu menjajakannya, dan peminatnya masih malu-malu juga menikmatinya. Beda misalnya dengan umumnya orang Manado di Sulawesi sono yang terang-terangan menikmatinya, atau sebagian orang Tapanuli di Sumatera itu.
Wong Solo terkenal halus budi-basanya. Jadi, mereka lantas menawarkan menu berdaging anjing itu dengan sebutan 'Sate & Tongseng Jamu'. Bertahun-tahun mereka merasa lumrah saja dengan kehadiran warten - warung tenda dengan label 'jamu' tsb., suka-tak-suka, mau-tak-mau, mereka bertoleransi menerima kehadirannya.
Mengapa disebut 'jamu' sebagai ganti kata 'anjing'nya?
Gak tahu persis, mungkin karena daging anjing konon katanya bersifat 'hot', jadi dianggap sebagai 'jamu' afrodisiak penambah perkasa kaum lelaki - walau hanya beberapa saat ketika malem-malem dingin sehabis diguyur UDKP - Udan Deres Kekepan Penak?
Yang jelas, ketika masyarakat makin terbuka dan demokratis, sesudah orde bau tumbang akibat repotmasih, maka muncul protes dari sebagian masyarakat yang tidak nge-fans atau nge-like (ada 'fans page' yang disalinnama menjadi 'like page' di FB- Facebook tuh!) dengan pemakaian istilah 'jamu' ini.
Sebab, katanya ada banyak yang 'tersesat' mengira itu bener-bener jamu, sehingga ada yang lantas pengin mencoba keampuhan sang 'jamu' pemerkosa, eh, pemerkasa lelaki, padahal ajaran agamanya tidak membolehkannya menikmati daging hewan tsb. Protes berseliweran di seantero kota, termasuk di FB, twitter, MP - pokokna mah rame pisan, euy!
Sebagai pamong praja yang baik dan bener, lantas bupati(?) menanggapi protes tsb. dengan mengeluarkan peraturan resmi-tak-resmi, agar supaya sudi apalah kiranya para saudagar yang umumnya mayan guren dengan resto tenda K-5 yang menjuwal menu hewan bernama lain K-9 tapi padahal benernya cuma K-4 saja itu, mengganti nama menunya. Dilarang keras menggunakan nama 'jamu' - sebab menyesatkan, juga merusak citra jamu tradisionil sesungguhnya yang lagi naek daun itu.
Apa dong gantinya? Bagaimana kalau...gukguk ajah?
Hehehe.... ada benernya, cukup merujuk langsung ke 'mahluk'nya, sebab memang tu hewan malang biasa diterjemahkan suaranya ke dalam basa Indonesia dengan 'guk-guk-guk' - ingat lagu 'Heli'?
Kupunya anjing kecil, kuberi nama Heli. Heli...guk-guk-guk...
Ya sudah, daripada 'menyesatkan' masyarakat awam dengan nama 'jamu', maka digantilah namanya menjadi 'gukguk'.
Ada gukguk guling?