Pas Natalan tahun lalu, hari Minggu-nya kami makan siang di RM Trio, Gondangdia Lama, Jakarta pusat. Resto jadul penuh nostalgia bagi kami, sebab waktu nyonyah mengandung si Koko dan si Dede, dokternya (Dr. Soetopo) praktek di RS Bunda di pengkolan Jl. Tengku Cik Di Tiro, terusannya ya Jl. Gondangdia Lama itu.
Kedua anak-anak kami dilahirkan di RS Bunda itulah.
Selesai periksa, biasanya kami suka mampir makan di situ. Biasanya kami berrombongan periksa pas Sabtu, saya, nyonyah, kedua mertua dan dua ipar. Maklumlah, anak pertama bagi kami, dan cucu pertama bagi mertua saya. Ketika si Koko sudah agak besar, dan si Dede masih dalam kandungan, kami masih suka mampir di situ makan malam, sesudah periksa kandungan nyonyah tentu.
Si Koko menikmati sekali acara makan di situ, sebab di samping resto itu ada jalur KA (sekarang pindah ke atas lewat jembatan layang) yang pada jam-jam sekitar pukul 19:00 itu kereta apinya lewat, dan ada pintu KA yang menutup lalu lintas jalan satu arah itu. Si Koko akan bertepuk-tepuk tangan memandang si loko dan gerbong kereta besar yang panjang itu lewat.
Kemarin, sehabis makan kami mengobrol di mobil, anggota keluarga sudah berkurang dua: mami mertua (almarhum) dan satu adik ipar yang mukim di Bali. Setiap kali makan di Trio, kami selalu ingin-nya memilih menu yang beda dari yang pernah dimakan, tapi selalu gagal. Favorit kami selalu Gurame asam manis, lunpia udang ala Trio, steak babi dan steak sapi.
Lha, makannya pun tidak setiap hari, atau dalam jangka waktu reguler, jadi selalu saja kami tidak berhasil menikmati yang lain. Hanya ada beberapa menu lain seperti huzaren slada, udang lapis, udang wotiap, kodok goreng mentega dan burung dara goreng sebagai ganti selang-selingnya. Padahal mereka menyediakan sekitar 100-an menu, dengan 40-an menu spesial, yang enak-enak semuanya, jeh!
Di jalan, kami bercerita. Tiba-tiba masuk ke suasana sebelum Imlek jaman dulu.
Ipar saya yang memulai, katanya dulu papi mertua saya waktu kecil wajib membantu cici (kakak perempuan)nya membuat kue lapis legit aka spekoek aka layer cake (spice cake). Jaman dulu, oven-nya masih oven arang kayu, ditumpuk di atas dan di bawah oven. Jadi, api mesti dijaga agar konstan panasnya, mesti dikipasin terus. Dan, menjaga api itu tugas si papi mertua saya.
Pembuatan layer cake, sesuai namanya, tentu saja selapis demi selapis. Selapis ditarok di loyang, lalu dipanggang dulu, agak matang, ditarok lagi selapis, begitu seterusnya. Dan, si tukang api, jaga api, maksude, tentu mesti menjaga agar kue tidak sampai gosong tapi juga apinya tidak boleh turun suhunya. Cukup berat, mengipasi arang, menambah arang, menyorong-nyorongkan arang - persis seperti tukang sate membakar sate-nya begitulah.
Sebagai 'upah'nya, papi saya akan mendapat lelehan adonan kue yang menempel di pinggiran loyang. Dikumpulkan dulu sedikit demi sedikit. Kue lapis yang sudah jadi-nya? Jangan harap, itu cuma untuk suguhan tetamu dan barang hantaran dan jatah para senior papi mertua. Maklumlah, jaman dulu, biasa satu rumah besar ditinggali anak-anak, mantu dan cucu dan tentu engkkong dan ema-nya.
Begitu-lah, setiap tahun tugas papi mertua saya menjadi tukang api. Sampai beliau mahir dan menjadi pakar di bidangnya. Sampai akhirnya kakak-nya keluar rumah - menikah, dan beliau sendiri menikah, tugas itu entah diwariskan kepada siapa.
Yang beliau ingat sangat adalah 'upah'nya itu.
Jadi, sekarang saya baru tahu, mengapa ipar dan nyonyah saya selalu mementingkan beli satu loyang kue lapis legit itu setiap Imlek. Walau pun kami bukan penggemar kue yang manis sangat itu, tapi selalu ada disediakan khusus untuk dinikmati papi kami. Kadang berbulan-bulan baru habis semua satu loyang, tergantung ada tamu atau tidak yang mau ikut mencicipi kue lapis legit itu. Lha, papi dan kami semua paling cuma makan sepotong tipis sahaja.
Anda mau sepotong ajah tah?