Jaman saya kecil, rumah tinggal di ruko [rumah toko] - maksudnya, bagian depan buat toko, belakang untuk rumah tinggal. Di belakang deretan ruko, banyak rumah penduduk. Biasanya kami sebut itu sebagai 'kampung'. Biasanya bagian belakang rumah kami ada pintu belakang yang menembus ke 'kampung'.
Teman-teman bermain waktu kecil adalah yang rumahnya sederetan ruko bertetangga, sampai sekitar deretan ke sepuluh atau lebih, kiri-kanan. Juga ada beberapa anak 'kampung' yang sebaya ikut bermain.
Pernah kami bermain ke rumah anak 'kampung', ibunya sedang ngerujak (kangkung) sambel asem. Ini makanan khas Cirebon, satu dari sekian banyak jenis 'rujak'. Kami pernah juga dibagi dan enak sekali rasanya, jeh!
Ada satu teman kami, bertetangga. Tapi rumahnya ndak gabung dengan toko di bagian depan. Ayahnya pegawai negeri, ibunya guru. Masih keturunan ningrat. Anaknya yang bungsu sebenernya tidak sebaya dengan kami, dia lebih tua sekitar 3-4 tahun, tapi senang bermain dengan kami. Namanya Cecep - ini tentu nama panggilan dari basa Sunda, Kasep [ngganteng], dicadelkan menjadi 'encep' atau Cecep. Pembantu rumahnya kalau manggil anak boss tentu pamali menyebut nama, jadi dipanggilnya dengan Cecep, namanya sih Yoyok, jadi Cep Yoyok.
Rumahnya besar, berhalaman luas, menembus sampai kampung juga.
Di samping kamar tidurnya ada secuil tanah kosong yang dibatasi tembok ke sebelah maupun ke depan. Kami suka ngumpul di kamar tidurnya bermain apa saja, namanya apa saja tentu paling juga kartu wayang, gundu, atau geplokan [bentuk orang atau hewan yang beralas rata bisa berdiri, dibuat dari plastik] jaman itu pan belum musim robot atau mobil berremote control, nintendo, apalagi PS-2.
Si Cecep hobinya bercerita, terutama cerita wayang. Kami suka duduk anteng di depan-nya, kalau dia mulai bercerita. Suatu kali, setelah selesai cerita, kami ngobrol ngalor ngidul. Akhirnya muncul ide untuk ngerujak kangkung (sambel asem) ala kampung.
Tanah di samping jendela kamar tidurnya itu kami cangkuli, diberi galengan (pembatas tanah ditinggikan seperti di sawah), lalu diairi. Kami beli kangkung-nya di pasar. Pasar Pagi terletak di seberang rumah saya. Jadi kami mengumpulkan uang, beli beberapa ikat kangkung.
Daunnya kami petiki, direbus dan dibuat rujak sambel asem. Campurannya cuma timun dan toge, dan mie basah kalau mau 'elite' dikit, dengan sambel cabe merah besar yang diberi banyak asem Jawa, terasi dan petis. Lantas kami makan rame-rame, setelah tangkai kangkung yang masih berakar itu kami tanam di 'sawah' agak berair yang sudah kami siapkan itu.
Setelah daun-nya tumbuh lagi, kami lupa setelah berapa lama, rasanya ya lama sekali - sebab kami selalu mengontrol tiap hari pertumbuhannya, sepulang kami dari sekolah. Kami lantas 'panen' daun kangkung, ngerujak sambel asem lagi. Dimakan rame-rame lagi. Begitu panen sampai berkali-kali, sampai akhirnya kami bosan sendiri makan rujak sambel asem ala kampung itu.
Semuanya kami kerjakan sendiri, metik daun kangkung, merebusnya, nguleg sambelnya, padahal kelompok kami sekitar 8-10 orang itu semuanya laki-laki lho.
Anda mau rujak kangkung-nya tah?