Setting waktu sekitar 1965-an. Saya masih SD. Tinggal di rumah ema (nenek) saya yang dekat ama sekolah saya, SD THHK - Tiong Hoa Hwee Kwan, di kampung Keprabonan - ada unsur kata 'prabu' - prabon, sebab memang di situ ada rumah-rumah para ningrat bergelar elang.
Pas libur sekolah. Teman-teman saya anak tetangga yang sebaya suka iseng. Semua permainan sudah kami lakukan. Nangkep kinjeng pake getah kayu jaran (kuda), tulupan (sumpitan) dengan 'peluru' lempung, maen rok umpet (petak umpet) dan lain-lain.
Suatu hari, kami serombongan sekitar 8 orang anak-anak, entah siapa yang punya ide, meminta ban dalam bekas becak yang sudah tidak lagi terpakai kepada tetangga kami yang punya becak. Ban itu kami potong jadi membentuk selang. Beberapa buah ban kami sambung. Lalu ujungnya kami isi tanah kering sampai kira-kira setengah badan ban.
Lalu kami tarok di jalan raya, dengan ujung berisi tanah kering di jalan dan ujung satunya ada di tempat sembunyi kami: pagar tanaman bluntas di halaman rumah orang.
Sasaran kami adalah per - ini nama untuk delman berroda dua yang ditarik kuda di Cirebon, entah dari mana diambilnya nama itu. Kemungkinan besar sih dari pelat baja yang dipakai sebagai per daun untuk memberi sedikit kenyamanan penumpangnya ketika terguncang-guncang roda berban mati-nya masuk lubang di jalan.
Begitu per lewat dan kudanya mendekati ujung ban, seorang di antara kami yang paling besar dan kuat meniup lubang ban, sehingga tanah kering di ujung satunya lagi berhamburan. Tentu saja sang kuda terkaget-kaget mendapati tanah kering berdebu di depannya tiba-tiba saja menghambur begitu.
Kuda yang kaget tentu saja meringkik-ringkik sambil mengangkat kaki depannya. Baguslah sang kusir cekatan menahan tali kekang, walau agak repot juga tapi akhirnya sang kusir bisa mengendalikan kuda supaya baik jalannya. Jadi, jalannya tetap saja tuk-tik-tak-tik-tuk-tik-tak-tik-tuk.... suara sepatu kuda! [theme song: Delman atau Tamasya?]
Sang kusir tentu saja marah kepada kami.
Tapi sebelum sang kusir berhasil meredakan kekagetan sang kuda dan dirinya, kami sudah lari berhamburan menyelamatkan diri. Malamnya rumah kami didatangi Pak RK - Rukun Kampung yang dilapori kusir per karena rumah Pak RK memang di ujung gang, satu per satu kami dinasehati supaya tidak lagi mengulangi perbuatan nakal dan membahayakan kusir dan penumpang per itu.
Engkong saya marah besar kepada saya, saya disetrap mesti membelah kayu bakar dan menjemurnya. Ema yang baik hati, menyuguhkan secangkir kaleng besar kupi kedoyanan engkong, kumplit dengan bubui sampeu favoritnya tentu, yang langsung saja diserbu engkong yang segera masuk ke dalam rumah. Lalu ema saya minta kenek engkong buru-buru membelah-belahi kayu bakar, dan saya cukup menjemur dan menatanya kemudian.
Ema memang selalu baik sih ya?
PS: Gambar diambil dari MS Office ClipArt media file.