DISCLAIMER: Walau mungkin posting saya kali ini 'berbeda', saya sih teuteup ikut prihatin kalau mendengar kabar buruk ttg nasib TKI yang merantau di tanah orang, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, bahkan dibunuh!
Jangan esmosi dan marah dulu, kalau sudah kadung baca judul, baca juga isinya ya.
Karena sudah sering terjadi, mestinya sih, secara teori komunikasi massa ini bukan berita (menarik) lagi - hampir bisa dikatakan berita basi, saking berulang-ulang terjadi lagi, dan lagi.....
Berita di media (lagi-lagi) yang sedang menghangat adalah perlakuan buruk yang diterima TKI di manca negara, kali ini di Arab Saudi(?), setelah beberapa waktu lalu terjadi juga di Malaysia dan Singapura.
Bahkan RI-1 dan RI-2, Jumat siang, kabarnya sampai-sampai mendadak menggelar rapat kabinet terbatas bersama para menteri koordinator membahas permasalahan TKI di Kantor RI-1 kita tercinta. Baca beritanya di sini. Yang gak terdengar berita buruknya kayaknya baru di Hongkong dan Macau - kabarnya cukup banyak juga TKI di sana tuh, jeh!
Kalau menyebut TKI, biasanya bayangan kita mestilah ke... sorry, apalagi kalau bukan......... babu!
Anda boleh protes bahwa sebutan itu kasar, karena banyak pakar ahli bahasa sudah memberi kata pengganti yang dibuat halusinasi (penghalusan) yang nampaknya cuma sebatas angan-angan halusinansi - bayangan dalam pikiran saja: pramusiwi, pembantu rumah tangga, asisten rumah tangga dan entah basa canggih apa lagi yang beredar diam-diam dan memaksakan kehendak untuk supaya harus kudu mesti diterima!
Tapi, tetap saja mereka diperlakukan sebagaimana nenek moyang mereka dulu: babu!
Karena hanyalah cuma sekedar babu, sudah kadung konotasinya bak budak belian, maka sudahlah menjadi suratan nasib mereka (boleh?) diperlakukan semena-mena oleh majikannya.
Majikannya?
Ya. Karena mereka adalah babu, maka mereka sudah diperlakukan bagai budak belian, sapi perahan sejak awal mereka hendak mendaftarkan diri. Kabarnya, mereka mesti bayar sejumlah uang yang besar, kepada para 'calo'nya untuk mendapatkan posisi 'basah' dalam arti harafiah di dapur dan tempat cuci baju. Calo yang partikelir, tanpa nama, punya jaringan mayan canggih, atau pun resmi mengantungi ijin resmi dari pemerintah.
Lihat saja perlakuan petugas yang terkait dalam hal perbabuan ini, baik babu domestik maupun babu terbang. Mulai dari cara jemput bola perantara yang mendatangi rumah-rumah di kampung dan desa nun jauh di udik sono - dengan iming-iming janji yang muluk-muluk, lalu mengirim mereka bak paket titipan kargo, menampung mereka di 'gudang' penampungan, memotong upah mereka sebagai 'ganti transpor' dan akomodasi sebelum mendapatkan majikan. Belum lagi pungutan resmi-tak-resmi di bandara, penjemput 'resmi' berdiploma, yang memotong habis-habisan upah mereka yang ditabung di luar negeri.
Nah, kalau 'saudara' setanah air saja sudah begitu teganya memperlakukan mereka sebagai babu ala budak belian dan sapi perahan, jangan heran kalau para majikannya meneladani sikap mereka toh?
Belum lagi, kebanyakan babu itu rela mandah mau jadi babu karena terpaksa, tekanan himpitan ekonomi, jadi lebih sering tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk menjadi babu profesional. Mana ada sih orang yang ketika kecil ditanya cita-citanya mau jadi apa - jawabnya jadi babu toh? Belum lagi bicara ttg kesiapan mental mereka untuk bekerja di tanah rantau nun di seberang lautan.
Majikan yang kesal, sudah membayar mahal untuk mendapatkan babu, membayangkan mendapat babu yang terampil, meringankan pekerjaan rumah tangga, ternyata jauh panggang dari api - tentu saja membuat mereka kecewa berat. Salah sendiri, kenapa juga mengharap ya?
Jangan mengharap semua majikan bersikap santun, mengembalikan babu salah kirim secara baik-baik dan write off biaya yang sudah dikeluarkan. Namanya orang kecewa, tentu saja sikapnya berbeda-beda namun satu tujuan jua: membebaskan rasa dongkolnya!
Belum lagi kalau menghadapi babu yang suka berpanjang tangan, entah cuma sekedar ikut menyomot makanan atau barang berharga yang tergeletak di meja - karena memang belum disiapkan secara mentalnya. Dan, sorry, mungkin saja ada juga babu yang termakan cerita dongeng cinderella berharap 'naik ranjang' jadi menantu atau pun ratu, jadi lantas mengeluarkan jurus memikat anak sang majikan, atau bahkan majikannya sendiri?
Kita semua cuma mendapat cerita dari satu sisi, tanpa bisa mendapatkan cerita versi para majikan toh?
Kalau saja anda mau merenung sejenak, membandingkan dengan keadaan 'babu' di rumah anda masing-masing, mestilah anda akan berpikir seperti saya juga: tidak semua babu itu bak malaikat yang ideal toh?
Buat media, berita babu dianiaya, tewas, dilecehkan, diperkosa, diseterika, gantung diri, mestinya jauh lebih 'menjual' (iklan maupun medianya sendiri) daripada cerita sukses beberapa babu di Hongkong atau Macau karena mereka membekali diri dengan keterampilan yang cukup dan pendidikan yang memadai dan sikap mental yang profesional - ada banyak yang punya akun MP dan blog tuh, jeh!
Mestinya, kalau memang jadi babu di negeri orang tidak enak, ya jangan ekspor babu atuh, euy! TKI itu 'kan kepanjangannya Tenaga Kerja Indonesia, emang yang dimaksud tenaga kerja itu cuma babu doang tah?
Jadi, sapa suruh datang Jakarta, eh, mau jadi babu ya?
PS: gambar dipinjam dari MS Office ClipArt media file.