July 31, 2010

Nyoba Selat di Dua Tempat.

Bestik itu sebutan wong Solo untuk bistik - beef steak. Walau mengambil dari kata 'beef steak' - beef = (daging) sapi, anda bisa pesen bestik ayam atau bestik daging lain-lainnya.

Beda dengan sate dan tongseng 'jamu' yang lantas diatur pemda untuk bersalin-nama menjadi tongseng dan sate 'gukguk' - supaya gak lagi merancukan prospek pelanggannya, bestik ada yang lantas bersalin rupa menjadi 'selat Solo'.

Selat Solo has nothing to do with celah di laut antara dua pulau, tapi itu masih termasuk bestik juga.

Bestik ala kaki lima yang mayan top dan sudah bergenerasi ke-3 dagangnya adalah Bestik Harjo. Mangkalnya di beberapa lokasi, tapi yang saya tahu cuma yang di dekat Pasar Kembang - bukanya cuma kalau malam ajah. Begitu senja turun dan hari mulai gelap, barulah tenda-tenda bestik mulai berbukaan. Just like the vampire of Pangeran Dracula mulai terbang keliaran mencari makan......

Bestik biasanya menggunakan daging sapi bagian haas, dicincang halus kayak
burger, ning gak dibentuk jadi bunderan tebel ala burger. Dibiarkan ambrul
begitu saja. Dimasak dengan rendaman kuah agak kentel, warna soklat. Kondimen standar-nya ya kentang goreng, buncis dan bortel rebus, juga kacang polong - seringnya kalengan punya. Kadang ada juga daun selada keriting barang selembar dua.

Pilihannya bisa bestik daging, bestik lidah, bestik ayam, plus ati ampela.
Harganya berkisar Rp 10.000 saja, tapi jangan terkecoh dengan harga yang murah - sebab isinya cuma sedikit sekali, mungkin mesti makan 2-3 porsi baru terrasa - apalagi para pemakan nasi. Kudu minta order nasi goreng sebagai extra income,eh, intake supaya terganjal perutnya tuh, jeh!

Kemarennya saya ke Solo, hari pertama diajak temen-2 MP maksibar di Warung Selat Mbak Lies. Sepenglihatan mata kepala saya, selat itu ya gak beda ama bestik. Ubo rampe dan sausnya sama saja, hanya agak lebih kentel ajah. Dan, dagingnya biasa dibuat menjadi rollade - galantine namanya. Dagingnya dicincang or digiling sangat halus, dikasih tepung dan digulung, ditaburi remahan tepung roti tawar dan dibungkus, dikukus.

Seporsi Rp 9.000 cuma dapat 3 iris tipis galantine yang sudah dibentuk bunder dengan diameter sekitar 50 mm saja. Banyakan ubo rampe aka kondimennya, supaya nampak gede porsinya di piring gede, hehehe.....

Yang unik, makan di warung mBak Lies, kalau anda berlama-lama ngobrol akan diparani waiter-nya, walau dengan halus dan sopan, tujuannya jelas: mengusir anda untuk cepet-cepet angkat bokong dan berlalu pergi, karena tempatnya mau dipake buat tamu lain yang baru dateng.

Tiga hari di Solo, hari ketiga-nya diajak makan selat lagi di Omah Selat.
Tempatnya memang yahud punya. Penuh barang antik yang kayaknya sih cukup otentik. Hiasan campur-campur gaya nJowo dan Eropa dan China, ada piring-piring berhiaskan masa lalu dan divider kayu berornamen naga. Suasananya dibikin remang-remang supaya bikin anda betah - agak kontras ama si mBak Lies, jadi anda akan pesen lagi dan pesen lagi.

Kedua saudagar selat itu memakai konsep duduk ala lesehan dengan meja rendah, dibikin supaya 'cozy' - yang di mBak Lies, semua barang yang dirasa 'antik' dipajang di mana-mana ***ada guci dan pot gede dijejerkan di deket meja, bikin kita duduknya mesti ati-ati, takut nyenggol tu guci dan pecah - pecah berarti beli toh? *** sementara di Omah Selat masih mayan tertata rapi. Hanya saja, tisunya teuteup wae pake.... tisu gulung untuk toilet ituh lho, jeh!





Ada variasi unik di Omah Selat - ada selat Sirloin dan Iga. Nyobain sel
at sirloin seharga Rp 15.000 berharap dapat steak panggang madu dengan daging empuk sirloin barang sekitar 100 gram, ternyata dapatnya daging cukup konsisten standar Solo: 3 iris tipis doang. Piring yang gede ditutup dengan hiasan kondimen yang sama: kentang, bortel, buncis dan kacang polong. Yang ini masih mending ada sesayuran dirajang dengan topping mayo dan parutan kiju - walau sekedar basa-basi doang.

Kapan-kapan anda ke Solo, cobalah makan dengan thema: harini themanya bestik dan selat, besok-besok sego liwet, lain hari pecel ndeso yang pakenya bumbu berwarna item-geteng pake wijen ireng. Jangan cuma coba satu dua penjaja, tapi cobalah semua-nya.


Kapan anda mau ke Solo nih?









WARUNG SELAT (mBak Lies) - Tidak Buka Cabang
Jl. Serengan No. 42 RT 03/RW 02, Solo
Tel. 0271 653 332

OMAH SELAT
Jl. Gotong Royong No. 13, Jagalan, Solo
Tel. 0271 656 205

July 21, 2010

May Trip (2) - Ketemu Selebriti Lain, Cuma Dikasih waktu 30 Menit Doang.

Masih hari ke-2 trip-nya The Tomb Hunter. Jadi maksibar pake Ayam Opor ala Rico dan Twa-hoan Goreng Garing. Selesai makan, ngobrol-ngobrol sebentar nunggu waktu pukul 15:00 untuk ketemu selebriti lain, boss Yayasan Nabil - National Building di kantornya di Jalan Limo, seberang ITC Permata Hijau, deket ama kediaman saya sekarang.

Pas jam 15:00 kami tiba di sana. Dikasih tahu ama Bung Didi K. - aktivis di Yayasan Nabil juga, bahwa boss cuma bisa kasih waktu 30 menit saja, akan hadir juga 2 orang dari INTI dan satu wartawan Kompas kenalan Bung Didi. Pertama-tama datang yang 2 orang, yang satu tinggi besar dan satunya agak kurus - ngobrol-ngobrol cukup hangat, bicarakan soal naskah lama dan silsilah, tentu saja, jeh!

Yang dari Kompas ditunggu-tunggu (nanti ada cerita lain ttg beliau yang datang terlambat) lama, sampai kami ketemu boss seleb juga gak datang - akhirnya sang wartawan kesibukan banget jadi batal datang. Jadi kami pun berbincang-bincang dengan boss Nabil, Pak Drs. Eddie Lembong.

Sakling asyiknya ngobrol, waktu 30 menit jadi molor sampai 120 menit. Ngobrolnya berkisar soal silsilah Tionghua, tentu. yang mungkin saja merupakan topik penting-gak-penting-amat bagi seorang wartawan sibuk dari media besar. Kalau wartawan ajah gak anggap penting, saya kuatir anda juga akan bosyen bacanya ya.

So, gak usah diceritakan lagi isinya ya?

Malamnya makan apa ya? Kayaknya sih gak makan bareng, soalnya si TH sudah ada janji sendiri, dan besoknya kami akan ke Bandung.

See you at Bandung, euy!








PS: Lihat komposisi yang berpose dalam foto: yang tengah itu the Tomb Hunter, yang tinggi mengapit di tengah 2 orang yang sama gak gitu tinggi - kebetulan ajah kedua-duanya selebriti terkenal.

July 20, 2010

May Trip (2) - Mau Ketemu Selebriti, Susahnya Oiii!

Hari ke-2 Tomb Hunter (TH) di Jakarta, saya jemput di rumah cihu-nya (suami cici ipar - cici isterinya) di kawasan Gading Serpong. Langsung sarapan dulu di..... mana lagi kalau bukan di Pasmo BSD. Mau makan di Akay tapi lagi tutup, jadi kami pergi ke Bakmi Bebe. Sama-sama kedai bakmi tanpa MSG, berbabai punya. Rasanya sih imbang-imbang, tapi alirannya agak beda. Bakmi Bebe sedia bakut, cukiok (kikil babai) juga babai hong (daging samcwan masak kicap), sementara Akay cuma babai panggang manis dan asin.

Selesai sarapan, kami mencari kerabat TH di kawasan BSD - sektor 1, deket ama Pempek Pondok Ungu. Gak susah nyarinya, karena nyonyah mayan tahu dan kenal keluarga-keluarga Katolik di kawasan BSD, apalagi kalau deket-deket kedai makanan. Paling hapal saya di bidang itu, jeh!

Bernostalgia dengan kerabatnya (paling aman pake istilah kerabat ya, soalnya gak ingat lagi bagaimana hubungannya), ngobrol cukup lama di rumahnya. Potrek-potrek. Lalu kami pamitan untuk mencari kerabat TH yang jadi selebriti di bidang kecantikan di kawasan Bbrother's Land aka Tanah Abang sono.

Benernya sih sang selebriti ini sudah ditelepon sejak beberapa hari lalu. Semalam juga sudah coba dihubungi, tapi semua nomer-nya tidak berbalas pantun aka was dead. Mungkin sudah ganti nomer atau memang lagi cuti terima telepon. Jadi kami go show ajah, untung-untungan. Kalau masih keburu ya dapat seat, eh, ketemu ama beliau gitu lho.

Ternyata setiba di salon kecantikannya yang cukup mewah di kawasan Tanah Abang, Jakarta pusat, kata staf asisten-nya sih beliau ada. Cuma karena gak kenal ama selebriti van Holland yang saya bawa, sang asisten gak berani bangunin beliau yang sedang tidur, katanya sih kelelahan karena baru pulang dari Bali semalam.

Jadi, gatot - gagal total dah misi saya mempertemukan dua selebriti itu.

Sementara itu, paginya, ketika masih di kawasan GS - Gading Serpong, saya ingat TH pengen makan twa-hoan (usus babi) goreng garing, seperti yang pernah dia makan waktu masih sekolah di Jakarta dulu. Dia ngiler abis ketika baca posting di milis sebelah dari satu TM di Bogor yang cerita bahwa ada satu kedai twa-hoan yang enak di Bogor. Posting itu merupakan respon dari diskusi yang saya lontarkan, tentang.... apalagi, kalau bukan makan enak, jeh!

Saya ingat bahwa RM Rico yang punya cabang di KL - Kebayuran Lame dan GS itu sedia menu twa-hoan goreng. Saya coba tanya yang di GS, ternyata mereka holiday on Monday. Saya cek yang di KL, same-same was closed on Mondays, too, tuh!

Tapi, masih ada harapan. Katanya yang di KL kebetulan terima pesanan orang, jadi hari Senin itu masak khusus untuk pesanan. Jadi bisa sekalian dimasakkan kalau mau pesan antar saja sih. Ya tentu saja gayus, eh, gayung segera bersambut. Saya minta twa-hoan goreng garing masak kicap manis itu 2 porsi dan tambahan setengah ekor ayam opor - ini bukan sembarang opor punya, katanya.

Sepulang dari misi yang gagal di Tanah Abang, kami mampir ke rumah saya di KL dulu. Sebab janji berikutnya mau bertemu dengan selebriti yang lain di bidang lain di kawasan KL juga. Ketemu gak ketemu para selebriti, sing penting..... mwakan dwulu, dwong, dweh, jweh!

Twa-hoan goreng garing, kicap-nya disediakan terpisah dalam plastik. Kemripik dan garingnya si twa-hoan masih cukup terjaga, ning ya beda ama kalau langsung dihidangkan selesai digoreng dan disirami kicapnya masih dalam wajan. Tapi, ibarat kata peribnasa ' tiada akar, rotan pun jabi-larrr...', maka nikmati dan syukuri saja yang sudah kami terima, jeh!

Sesekali - gak mesti setahun sekali inih, masukin BBU - Bahan Baku Utama produksi kolesterol, is oke lah yaw.

Menu ke-2 adalah ayam opor ala RM Rico - kabarnya ni resto dulu sih langganan Encek Liem Soei Liong. Ini opor bukan yang pake santen agak kentel, putih sampai kayak dikasih blondo - kayak kolek pisang ala Cerebonan itu, tapi lebih kayak ayam + galantine disiram saus soklat itu.

Ada ayam yang digoreng COSTI - Crispy Outside Soft & Tender Inside dengan warna soklat - kayaknya sih diborehi marinate bumbu ngohiang, plus ada 'isian' aka semacam stuffed chicken, dengan isi berupa daging (babai + udang?) yang dicincang halus, ditambahi tepung, lalu diisikan ke dalam rongga perut sang ayam nan malang itu, lalu dikukus(?) dulu, baru digoreng garing (kulitnya sajah) kalau ada yang pesen.

Karena pesennya cuma setengah ekor (yang terima order bilang cukup untuk berdua), jadi isian-nya sudah terburai. Lalu ada siraman saus soklat kayak bestik Jowo itu, dikasih butiran kacang polong kalengan, bortel irisan dan kentang goreng, juga daun selada sebagai garnish merangkap kondimen. Acar timun dan rawit disertakan sebagai ekstra kondimen.

Rasanya? Tentu saja enak-penak. Makan yang enak itu sangatlah dipengaruhi oleh suasana hati. Kalau anda sedang berbesar hati, ditemani teman yang seiring sejalan - bukan sekedar 'teman' yang mencari kesempatan dalam kesempitan - suka menusuk dari belakang, tentu saja makan apa pun akan terasa enak. Makan tanpa rasa was-was,
hati senang, perut pun kenyang.

Bon apetit!

July 13, 2010

Hidup Itu Cuma Sebatas Hutang-Piutang, Jeh!

(Alm.) Engku (adik lelaki mamah) misan saya, pernah bilang:"Kalau kamu ndak punya hutang, mengapa takut ditagih di tengah jalan?" Nasehat ini disampaikan kepada saya, ketika beliau tahu saya takut pulang sendiri jalan kaki pada malam hari, setelah saya nonton di gedung bioskop dekat rumahnya di kawasan Kenjeran, Surabaya.

Jangan bayangkan keadaan Kenjeran seperti sekarang ya. Waktu itu, tahun 1967-an, listrik belum masuk ke semua kampung di kawasan itu. Rumah engku saya di kampung Lebak Agung, wetane Setro, dekat pabrik Indomill - entah pabrik apa, gak pernah tahu. Saya ingat persis, karena engkim (isterinya engku) mengajarkan saya alamat itu untuk bilang ke tukang becak.

Kalau gak salah bioskop-nya di kawasan Rangkah, dekat Kapas Krampung(?), di situ ada kuburan umum yang sangat luas, di seberangnya ada kuburan W.R. Supratman - pencipta lagu Indonesia Raya itu.
Kalau malam, jam 20:00-an ajah sudah gelap dan sepi sekali. Tukang becak ajah gak mau mengantarkan saya tuh!

Rasanya bener juga. Hidup itu sekedar hutang-piutang. Hari ini saya berhutang kepada anda, karena anda sudah menolong saya. Besok lusa, mungkin hutang saya lunas karena saya punya piutang sudah membeli barang dari seseorang yang perlu uang untuk anaknya berobat. Begitu seterusnya.

Jadi, kalau saya tak punya hutang, mengapa saya takut ditagih di tengah jalan? Logika yang baik dan bener tuh, jeh!

Contoh saja, ketika bulan lalu saya bersama nyonyah dan si Dede mencari Gua Maria Sendang Klayu di daerah Ngadirejo, Ngadipiro, Wonogiri - ndak ada di peta tuh(!), jalan-nya sepi, penduduk jarang, di tepi sungai, dengan jalan batu plus beton secukupnya ban mobil, menyusuri tebing sungai. Kalau saya pernah berhutang, mungkin saja saya di'tagih' di situ: ada yang jahil, usil, memalak saya.

Tapi, karena saya tidak berhutang sebelumnya, maka saya tiba dengan selamat tak kurang suatu apa pun di rumah kembali. Selama pergi dan kembali dari Sendang Klayu yang sepi jarang penduduk, tidak ada yang menghalangi.

Tapi, dari sisi lain, saya mesti anggap bahwa saya sudah berhutang karenanya. Maksudnya, saya sudah diberi 'hutang' bahwa saya tidak mengalami halangan apa-apa, jadi saya mestilah 'membayar' hutang tsb sebelum ditagih. Yakni saya mesti menolong orang lain kalau memang ada yang membutuhkannya.

Back to Surabaya. Karena film-nya bagus - The Sand Pebbles, saya akhirnya nonton juga yang jam 19:00 dan selesai jam 21:00. Dan, balik ke rumah jalan kaki menembus gelap dan sepi, berdua dengan adik misan saya - anaknya engku, tentu.

Anda berhutang apa kemaren?


July 12, 2010

Tongseng, Tongseng di Kwali, Mengapa Dimasaknya Massal, Sih?

Kira-kira 2 minggu lalu, saya dan nyonyah mesti ke Pasar Pramuka. Pulangnya pas jam makan siang, jadi saya ajak nyonyah makan tongseng di kawasan Jatinegara, PGJ - Pusat grosir Jatinegara. Dulu beberapa kali saya pernah makan di situ, sudah rame, tapi belum ber-sponsor tunggal dan belum 'As Seen on TV'.

Waktu itu memang daging-nya gak empuk-empuk amat, tapi masih edible deh. Harganya juga masih reasonable - cukup pas seperti umumnya harga tongseng. Tapi, kemaren makan di situ, pertama kali bagi nyonyah, kayaknya jauh berbeda.....dagingnya alot pisan, baik satenya maupun tongsengnya - not edible sangat, isinya mung kubis doang. Dan sekarang mereka jadi "TTM"*). Kesan pertama yang membuat nyonyah saya kapok makan di situ, jeh!

Jadi agak-agak berpikirian 'ngeres': apakah kualitas berubah gara-gara sekarang sudah 'go public' sampai 'As Seen On TV' dan bersponsor tunggal, jadi kualitas tidak lagi perlu dijaga, toh orang teuteup pada datang rela antri bejibun? Juga harganya sudah tak lagi biasa, di atas rata-rata sangat!

Saya jadi terpancing untuk bernostalgia nih....

Waktu baru masuk kuliah, seorang teman asal Solo memberikan teka-teki kepada saya: apa makanan yang dibuat dari bahan bangunan? Jawabnya: tongseng - tong dan seng, keduanya nama bahan bangunan. Saya tidak tahu jawabannya, sebab tongseng bukan makanan asli yang beredar di Cirebon, kota tempat saya lahir dan besar sampai SMA.

Tapi, sebenernya saya sudah pernah terpapar dengan tongseng sebelum saya kuliah. Di Solo, ketika saya terpaksa mesti 'ngungsi' ke Solo gara-hara sekolah saya, THHK - Tiong Hua Hwee Kwan, ditutup oleh rezim orba - orde bau. Berharap bisa sekolah di Solo, ternyata tak lama sekolah Tionghua di sana pun ditutup juga, pada akhirnya.

Tongseng yang menjadi 'first encounter' saya di Solo itu, dijajakan oleh penjaja sate keliling. Pake pikulan, dengan rombong bagian depan untuk preparation table dan stock sate mentahan dan nasi, yang belakang membawa sebelanga besar yang dikompori, isinya.... gule. Yang mikul itu asisten-nya. Mungkin itu masih keponkannya yang sedang magang, atau sepupunya si chef yang merangkap jadi sales manager-nya, dia memakai sistem D2D - door to door dan direct sales MLM - mendatangi pintu ke pintu sambil menawarkan secara langsung secara Mulut Lewat Mulut.

Biasanya si mas penjaja, lupa namanya, lewat depan toko cihu (suami kakak
separuh saya) sekitar pukul 11:00-an, what a good timing. Pas menjelang maksibar toh? Kalau cici (kakak perempuan) saya lagi malas masak, pastilah akan dimintanya si mas berhenti, begitu mendengar klonengan sebagai 'icon' SFX-sound effect-nya terdengar kloneng-kloneng-kloneng.....

Biasanya kami memesan tongseng, dengan pilihan imbuhan apa saja terserah selera masing-masing. Si chef akan memasaknya seporsi demi seporsi, dengan pesanan individu, dan personal touch dari tangan si chef. Buat si A akan diberinya tambahan garem, buat saya dan keponakan saya yang bungsu pastilah dagingnya (dari sate yang sudah ditusuki) dibakar dulu, khusus buat saya akan diberi tambahan irisan tomat ijo-nya. Sedang cihu saya lebih suka banyakan ati-nya, kerana beliau mengidap tekanan darah rendah. Ati is good for him, as advised by his doctor.

Tongseng-nya biasanya dimasak pakai kuali kecil, dengan anglo bedrarang kayu nan membara, timbang pas seporsi. Ditaroknya tu kuali bertangkai panjang tambahan pake kayu itu di atas anglo, dan si asistennya akan terus mengipasi si anglo supaya panasnya merata. Sementara si chef akan menumis brambang, mengirisi cabe rawitnya, right on top of the wok, lantas daging + gajih + ati yang dipelorotin dari tusuknya (biasanya ambil daging dari bahan sate), barulah sesudah tercium harum si brambang, diambilnya kuah gule dari belanga di rombong belakang. Tinggal tambahi usus atau babat dari dalam gule - kalau anda suka.

Jadi, tiada akan ada keseragaman rasa dan racikan dalam seporsi tongseng, jeh!

Sebab begitulah ide-nya tongseng dulu diciptakan. To cater for your very
individual taste buds. Bukankah setiap orang itu adalah pribadi yang unik, yang tidak akan ada yang sama - walau kembar sekalipun?

Beda dengan gule, yang sudah pre cooked dimasak di markas, mungkin yang masak juga nyonyah chef, atau siapalah yang jaga markas. Begitu juga empal (gentong) Cirebon, yang mestinya sih mirip-mirip gule, dengan bahan dasar sapi. Gule (berdaging kambing) dan empal, memang dimasak secara massal, ready to serve (RTS) dan ready to eat (RTE), jadi tak mengapa dimasak secara massal dan rasanya seragam. Anda boleh menggaremi, mengecapi atau meladai sendiri - ada sedia wadah garem + lada + kicap manise di meja.

Tapi tongseng? Bener-bener menyalahi pakem yang baek dan bener kalau anda begitu teganya memasak-nya secara massal, sekaligus 10 porsi dalam satu kuali - dengan rasa seragam, ndak bisa minta banyakan tomatnya, atau dagingnya dibakar dulu, atau kubisnya dikit ajah. Apalagi kalau demi cwan gede, gara-gara sudah As Seen On TV dan banyak orang penasaran pengen pada nyoba? Daging alot tak usah dipikirkan, tambahi kubis lebih banyak supaya cost makin rendah, o, tambahkan juga gajih lebih banyak deh!

Jangan sampai tu TTM*) ikut sedia tengkleng juga ya.






*) TTM = Tukang Tongseng Massal.



PS: Foto sate dan tongseng itu berdaging alot punya.

July 05, 2010

Nginap di Hotel Prata Semarang - Paginya Dikunjungi si "Die Hard".

Kemaren sore saya dapat SMS dari teman yang barusan mantu di Semarang. Dia menanyakan ihwal kamar hotel yang dia booking untuk saya menginap. Apakah saya lantas menginap di lantai 1 atau lantai 3.

"Phoeng, tq sekali lg utk perhatianmu wkt wedding anakku.. Skedar crosscheck ada kisruh 1 kmr, did u get a room on 1st or 3rd floor? Ini lg kuurus.."

Waktu itu saya dikasih tahu pestanya di Hotel Prata Jasa Semarang - gak salah saya ketiknya, lihat saja foto pertama. Jadi teman saya sediakan satu kamar untuk saya menginap semalam di tempat yang sama. Seperti yang sudah-sudah, biasanya itu berarti kamar hotel sudah dibayari yang mengundang.


Jadi, waktu check out, saya pikir cuma tanda tangan dan minta balik KTP, selesai sudah. Ternyata tidak. Saya ditagih harga kamar untuk menginap semalam. Saya diberi kamar di lantai 1, kalau tak salah kamar nomor 139 - dekat ruang resepsi, itu atas inisiatip receptionist, ketika saya tiba agak mepet waktunya: pukul 17:00-an, sementara pestanya mulai pukul 18:00. Saya pikir itu suatu good gesture pihak hotel yang berusaha menunjukkan hospitality-nya.

Ternyata kamarnya sudah tua, di bagian langit-langit kamar mandi dekat pintu sudah lapuk dan lembab - kayaknya sih bekas bocoran air dari kamar di atasnya, juga saluran pembuangan air shower yang merangkap bath tub agak mampet, air menggenang dulu agak lama baru surut.









Dan, pagi harinya, ketika selesai sarapan dan balik ke kamar, saya mendapat s-u-r-p-r-i-s-e bonus: kami dikunjungi tamu kecil tak diundang yang merayap-rayap di lantai berkarpet - the old style standard for the old hotel room in the old times, yakni si die hard*) nan menjijikkan sangat: the cockroach aka kecoak aka coro!

Saya sudah komplain melalui surat yang mereka sediakan berupa warkatpos ditujukan ke general manager-nya (foto pertama), yang saya yakin akan langsung masuk recycle bin mereka. Sebab isinya bukanlah suatu testimoni yang in favour to their wants, it did not meet their requirements at all, jeh!

Back to the topic: SMS dari teman saya itu.

Jadi, menurut receptionist hotel yang menagih saya, pihak tuan tumah cuma membuat reservasi, dan karena mereka pesta di ruang resepsi hotel, ada diskon khusus bagi para tetamunya yang menginap di hotel tsb. Ya sudah, karena keterangannya jelas dan gamblang. Saya bayar pakai KK saya. Harga 'published rate' 750 rebu ++ menjadi 425 rebu nett.

Ternyata cerita versi teman saya berbeda. Teman saya sudah book dan tarok deposit untuk semua kamar yang dipakai oleh tetamunya yang menginap di lantai 3.

"Lhoh...Kmu byr? Tak urus-e.. Kmu hrsnya nda byr. Sdh msk itunganku.... Wah.... Tlg no ac mu ya, hrs dikembalikan uangmu... Tlg ya ksh no ac-mu, lg kuurus soalnya."

Pihak receptionist hotel rupanya sudah berinisiatip sendiri, sengaja memberi saya kamar di lantai 1, bukan di lantai 3 yang sudah di-book oleh teman saya, dan untuk itu, mereka pikir dapat income tambahan pula dari saya.

Mereka gak 'ngeh' sudah bikin malu teman saya kalau begitu ya?






PS: *) Kecoak mendapat julukan die hard, atau film Die Hard terilhami si kecoak(?), karena bener-bener mereka susah dibunuh - kalau anda cuma menginjaknyanya begitu saja, mereka bisa hidup lagi, merayap dengan badan gepeng sekalipun, anda mesti memisahkan kepala mereka dari badannya barulah mereka bener-bener mati. Racun seranggacuma bikin mereka teler sebentar, tak lama mereka akan bangkit lagi dari 'kematian'nya dan ngeloyor pergi menyusup di sela-sela lemari dapur yang lembab dan pengap. Kagak percaya? Cobalah sendiri, jeh!

Gambar poster iklan film Die Hard, diambil dari sini.


July 02, 2010

Yunnan Baiyao - Skinny Is Good For You, Jeh!

Waktu ke Temanggung kemaren itu, ngobrol-ngobrol dengan mami-nya OHT, tuan rumah yang saya inapi. Karena beliau masih get connected dengan nyonyah saya, maka kani cukup ber-enci (kakak) kepadanya, walau beliau sepantaran dengan mami mertua saya.

Beliau cerita bahwa pernah suatu kali beliau sakit di lutut, pas tengah malam, gak ada yang bisa dimintai bantuan. Untunglah ada Yunnan Baiyao Spray. Beliau semprotkan spray tsb ke lututnya, memang tidak berasa apa-apa, t hanya dingin karena siraman spray obatnya. Tapi, ternyata 'mandi' (manjur) juga, beskonya sudah terasa enak lagi lututnya.

Ingat akan hal ini, waktu mampir di toko obat keponakan saya di Solo, saya langsung ajah minta ketika keponakan saya, Aseng, biilang mereka ada stock-nya. Si Dede cuma terdiam, dan bertanya ketika sudah di mobil.

"Koq, enak ajah minta sebotol (kaleng) Yunnan Baiyao?"
Saya cuma tersenyum, bilang: "Itulah namanya sodara, kan dia manggil saya 'a-kiu' - oom, paman, jeh!" Si Dede cuma senyum diam saja, manggut-manggut.

Saya baru tahu kalau Yunnan Baiyao sudah ada bentuk sediaan spray yang praktis begitu. Dulu mereka cuma menerbitkan seri kapsul dalam blister, isi 20 kapsul + 1 butir pil kecil warna merah. Keterangannya, itu pil kecil cuma diminum kalau keadaan darurat sekali, sebagai pertolongan pertama. Untuk mengobati luka-luka luar berdarah-darah atau luka dalam, cukup minum kapsulnya.

Yunanan Baiyao dipercaya merupakan obat bekal TPR - Tentara Pembebas Rakyat maju perang di RRT. Dulu termasuk strictly classified dan tidak boleh dibawa keluar RRT. Lama-kelamaan aturan itu dicabut, Yunnan Baiyao berdear ke mana-mana, termasuk ke Indonesia. Saya selalu sedia di rumah, mulai jaman kapsulnya dibotolin, sampai pake blister. Selalu saya sedia, walau mesti dibuang kalau sudah expired dan diganti stock yang baru.

Saya ingat pernah sekali mesti menggunakan pil itu untuk keadaan gawat darurat. Pil-nya mesti digerus pakai pantat sendok tehg di atas sendok besar, lalu dituangi sesendok teh arak, baru diminumkan.

Setting lokasi di Pontianak. Saya masih bujangan. Setting waktu sekitar 1980-an, pas ketika ada kapal KMP - Kapal Motor Penumpang bernama Tampomas (kenapa nama-nama kapal suka pakai nama-nama gunung ya? Mungkinkah ini penyebab kapal-kapal suka tenggelam?) terbakar dan tenggelam di peraian sekitar Masalembu di laut sekitar Madura-Kalimantan.

Jadi, saya baru pindah kerja di Pontianak. Sebuah perusahaan distributor farmasi cabang dari Jakarta. Saya dikasih tempat tinggal di ruang di lantai 3 sebuah ruko di Jl. Tanjungpura, Gg. Hijaz, seberang mesjid. Lantai 1 untuk gudang, dan lantai 2 untuk kantor.

Karena bujangan, saya langganan makan (sudah ada ceritanya di sini) di satu resto. Menggaji asisten cuci-bebersih yang pulang sore hari. Sementara, saya dipinjami asisten muda sekitar 15 tahunan, amoi dari kampung yang bekerja di rumah sebelah. Si encim pemilik rumah sebelah, juga encek-nya baik kepada saya. Saya sering diajak maksibar atau pun sarapan di rumahnya, gratis.

Si encim dan si encek - entah apa kerjanya, lupa, berbadan kurus kering, kerempeng. Memang bawaan katanya, bukan karena kurang makan. Sebab mereka cukup makan dan tanpa beban. Sudah cukup lanjut usianya, mereka memungut 2 orang anak lelaki, satu masih SMP, satu masih SD, kemungkinan besar masih bersodara, mungkin anak keponakannya atau bagaimana. Keduanya tidak bisa berbasa Indonesia dengan baik dan benar, jadi selalu disisipi basa Tiociiu dan Guoyu (Mandarin) kalau berkomunikasi interaktip dengan saya dalam keseharainnya.

Pontianak jaman itu mesti punya sumur tadah hujan, air PAM juga cuma mengocor dari pagi sampai sore, kadang-kadang siang sudah berhenti. Sementara air sumurnya mestilah payau, sebab kondisi kota berada di atas (bekas) rawa-rawa dan dikelilingi rawa-rawa.

Rukonya masih sederhana, lantai loteng dari papan kayu belian - jenis kayu tenggelam yang tidak boleh keluar dari Kalimantan, katanya. Kamar mandi ada di lantai 1 dan 2, berada di bagian belakang ruko - bagian teras, dengan pintu tersendiri. Antara satu ruko dengan sebelahnya dibatasi dinding tipis, kami bisa saling menengok dan berbincang di teras loteng. Bisa bertukar makanan dan barang kalau perlu. Asisten rumah sebelah, kalau mau bebersih kamar tidur saya, suka juga lewat loteng belakang itu. Caranya merambat dengan berpegangan dan kakinya bertumpu pada tembok pembatas (langkan) teras.

Sekali waktu, mungkin karena siangnya ada yang buka keran tapi air tidak mengocor, lantas tidak dimatikan lagi kerannya. Malam-malam nenjelang dini hari, rupanya air PAM mengocor dengan deras, airnya meluap dan menggenangi kamar mandi, sampai keluar ke lantai teras. Rupanya si encim sebelah mendengar suara air deras dari keran di rumah saya, jadi dia berusaha menggedor-gedor tembok membangunkan saya.

Saya yang tertidur lelap tidak sadar.

Tahu-tahu paginya saya diberitahu bahwa encim sebelah - sudah anggap saya seperti anak sendiri, katanya semalam jatuh dari lantai 2 rumah, karena berusaha merambat ke kamar mandi ruko saya untuk mematikan keran air. Tentu saja saya kaget dan langsung bergegas ke sebelah.

Benar, si encim cengar-cengir kesakitan. Kedua tangan, siku, lutut dan kaki-nya sudah pada besot, bagus cuma luka permukaan. Sudah dikasih hYaogin (obat gosok dan oles luka tradisionil RRT juga), ada yang diperban. Pipinya luka-luka sedikit baret-baret.

Segera saja saya ke Pasar Barito mencari Yunnan Baiyao, naek Vespa inventaris kantor. Lalu saya kasih minum kapsulnya, dan saya gerus pil-nya sebagai tindakan berjaga-jaga. Si encim jatuh dari lantai 2, tingginya sekitar 3 meteran tuh. Tapi, kenapa kedua kaki dan tangan si encim, juga mukanya penuh baret-baret?

Hehehe..... syukurlah, atau untungnya(?) di belakang ruko itu ada bangunan rumah penduduk (kampung), cukup deket hampir menempel ruko. Bangunan kampung di Pontianak umumnya berdiri di atas rawa-rawa, jadi untuk masuk ke dalam kampungnya mesti melewati 'gertak' - semacam landasan papan yang biasa dibuat menjorok ke laut di pelabuhan itu, yang mengelilingi kampung seperti gang, tapi ini merupakan 'jembatan' di atas rawa. Dan bangunan rumahnya dibuat dari bilik (gedek) dengan atap sirap (bahan kayu, tipis).

Jadi, untunglah semalam ketika terjatuh, si encim cuma 'merosot' di antara dinding ruko dengan dinding bilik rtumah belakang. Itulah sebabnya beliau dapat banyak luka-luka beset-beset di permukaan saja. Jatuhnya pun ke dalam rawa dangkal, jadi tidak mencederai kakinya. Plus badannya yang kerempeng ceking tidak membebani kakinya, jadi selamatlah si encim karenanya, jeh!

So, skinny is good for you 'kan?

July 01, 2010

Deng-de-reng-deng-deng.......

Sound effects-nya kayak anak-anak maen genderang, bunyinya pan 'deng-de-reng-deng-deng.....' syair selanjutnya: aya ucing nyolong dengdeng! Ada kucing mencuri dendeng. Ini, tentu saja bukan donegng ttg si Kancil anak nakjal, sukanya mencuri mentimun.

Kucing mencuri dengdeng?

Iya. Itu kiasan orangtua untuk merujuk ke orang dewasa, lelaki..... sudah berrumah tangga, beristeri yang masih suka 'jajan' walau sudah dikasih makan kenyang di rumah. Ibaratnya, katanya tu kucing walau sudah dikasih makan ikan peda atau cuwek sekenyangnya sekalipun, kalau menampaki sepotong denmgdeng seksye yang ditarok sembarangan, diler begitu saja, ya diembat juga tuh, jeh!

Agak vulgar memang mengumpamakan orang dengan kucing, apalagi dengan dendeng yang nan tyak berdaya - tergelatak dan diler begitu saja di tampah ketika dijemur ya.

Ooops, sorry, mesti jalan dulu nih... to be continued nanti ya...


IT'S WORLD TIME: